keluar pesantren

3.6K 158 5
                                    

LULUS!
Yeeaayyy, akhirnya aku lulus. Semua santri khususnya kelas dua belas mereka sangat gembira. Bahkan saling peluk. Akupun juga sama saling berpelukan khususnya dengan Sinta. Andai ada Doni pasti ku peluk juga. Eits, aku lupa kan belum halal, entar aja pelukannya. Doni cepetan halalin aku, ha ha ha apaan sih nggak jelas! Tapi aku juga sedih besok aku sudah pisah sama Sinta. Aku besok sudah mau keluar dari pesantren. Sedangkan Sinta dia juga akan berhenti dan memilih kuliah di ITB katanya Doni juga mau kuliah di ITB bareng Sinta. Biar ku tanyakan ayah bunda aku mau kuliah di ITB nanti, maksudnya biar bisa bareng Doni.
Nanti malam, semua santri yang akan berhenti dari pesantren ini akan berpamitan pada umi dan abuya. Sebenarnya aku juga sedih sih, aku bakalan pisah sama gus Raka. Tapi itu juga bagus bukan? Biar lambat laun perasaan gus Raka terhadapku bisa hilang, begitupun dengan kegelisahanku karena memikirkan perkataan gus Raka benar tau tidak. Mungkin itu jalan keluar agar aku bisa melupakan kejadin itu. Jujur! Sama sekali aku tidak bisa melupakan saat gus Raka menyatakan perasaannya. Tapi, dengan aku keluar dari pesantren semoga semuanya hilang. Cukup sudah pikiran itu menjadi beban di otakku. Aku harap gus Raka cepat-cepat menemukan jodohnya. Dan sampai sekarangpun Sinta tidak tahu sema sekali tentang apa yang terjadi sebenarnya. Ya, aku memilih untuk menutupi semuanya. Itu lebih baik. Biarlah jika kalian berpikir aku egois silahkan, aku ingin melakukan yang mneurutku itu benar.
Jam menunjukkan 18.45 itu menurutku belum terlalu malam. Aku mulai mengkemas semua barang-barangku. Ya, semuanya tanpa ada yang tersisa. Untung aja kemarin pas pulangan aku bawa koper yang besar dan alhamdulillah semua barangku yang mau dibawa pulang muat semua. Tidak terkecuali Sinta dan santri yang lain sepertinya mereka sudah tidak sabar lagi ingin menginjakkan kaki di rumahnya.
“Pengumuman, bagi semua santri yang besok akan pulang harap segera bersiap-siap ke dalem untuk berpamitan pada umi dan abuya, sekali lagi bagi santri kelas dua belas baik SMA ataupun Aliyah harap bersiap-siap ke dalem untuk berpamitan pada umi dan abuya, terimakasih.”
Suara itu menggema di setiap penjuru kamar santri. Dan aku sangat yakin kalau suara itu milik mbak Aisyah, aku sangat mengenalnya. Semua santri berisik, apalagi di kamarku, mereka tertawa karena saking senangnya akan kembali ke rumah tempat mereka semula tinggal dan dibesarkan.
Sebenarnya aku agak berat meninggalkan pesantren ini. Ah, kenapa lagi-lagi gus Raka mengahantui pikiranku. Apakah aku saat iniiiii, oh tidak jangan sampai itu terjadi Maya. Ingat Doni. Okay, hilangkan semua itu, aku harus fokus pada masa depanku dan juga Doni.
Semua santri berbondong-bondong memasuki dalem umi. Entah kenapa aku berharap untuk terakhir kalinya agar bisa bertemu dengan gus Raka. Apakah aku gila? Maya ada apa denganmu sekarang?
Setelah sampai disana terlihat umi dan abuya sudah duduk di sofa panjang berdampingan. Mereka terlihat sangat serasi sekali. Jika bisa aku akan memperlihatkan fotonya pada kalian. Umi dengan selalu gamis hitamnya sedangkan abuya dengan imamah yang selalu melingkar di kepalanya, ya benar macam gus Raka. Ah, lagi-lagi gus Raka. Kapan dia akan hilang di pikiranku? Kenapa gus Raka tidak ada, padahal aku ingin melihatnya untuk yang terakhir kali. Maya sadarlah, apa yang kamu katakan barusan?
Semua santri menunduk mendengarkan fatwa, wejangan yang diberikan umi dan abuya.
“Anak-anaku sekalian, meskipun kalian sudah berhenti dari sini tetaplah menjadi santri yang baik, berakhlaqul karimah, buatlah orang tua kalian bangga dengan prestasi yang kalian raih nanti. Abuya doakan semoga kamu semua jadi orang sukses” kata abuya dengan suara khasnya, aku sangat suka saat mendnegarkan suara abuya rasanya adem.
Semua santri hanya menunduk, dan aku yakin mereka mengucapkan aamiin dalam hatinya, akupun sama.
“Doa umi hanya satu, semoga kalian cepet dapat jodoh” kata umi. Sontak semua santri tersenyum malu, begitupun aku abuya juga. Umi memanag begitu, beliau terkenal dengan sifat humorisnya. Ah, nanti aku bakalan rindu pesantren ini, umi sama abuya. Sama gus Raka rindu nggak ya? Ah, entahlah!
Setelah itu kami semua bersalaman satu persatu pada umi dan abuya. Tiba giliranku umi membisikkan sesuatu pada telingaku. Waktu itu aku kebagian paling belakang setelah Sinta. Kebetulan Sinta sudah keluar dulu mengikuti santri yang lain, sedangkan aku masih ada di dalam.
“Maya, ada salam Raka, hati-hati katanya” bisik umi pelan sekali, tapi aku dengar. Dan aku hanya tresenyum seraya melepas tangan umi yang sudah aku cium berulang kali. Kemudian berganti abuya yang aku salami. Kalian tahu, semenjak aku sering bersama umi, rasanya aku seperti anaknya dan aku sangat dekat sekali. Aku akan merindukan umi, itu pasti.
“Ini ya umi, yang namanya Maya?” tanya abuya pada umi.
“Iya” jawab umi, aku hanya senyum malu.
“Mau lanjut kemana nak?” tanya abuya setelah aku mencium tangannya.
“Kuliah abuya” jawabku menunduk
“Kemana?”
“Belum tahu abuya”
“Jaga sikap ya”
“Insyaa allah abuya” kataku tersenyum.
Setelah aku bersalaman pada mereka, akupun berlalu dan langsung menuju ke kamar. Sebenarnya sekarang masih ada kegiatan yaitu diniyah untuk semua santri. Ini malam terakhirku berada disini sekaligus mengikuti kegiatannya. Aku juga sudah menelpon bunda dan ayah kalau aku mau dijemput sekitar pukul sepuluh. Ayah bilang masih ada tugas di kantor polisi, biasalah. Alamat aku bakalan sendirian di kamar. Sedangkan Sinta katanya orang tuanya mau datang pukul tujuh pasti Doni juga sama.
Setelah ngaji diniyah selesai, kami semua santri kelas dua belas baik Aliyah ataupun SMA punya rencana bakar-bakaran. Bukan bakar pesantren. Tapi bakar jagung, kebetulan tadi pagi Sinta dan juga kawan-kawan selaku panitia pergi ke pasar untuk membeli keperluannya. Jadi sekarang tinggal minta izin pada umi. Mereka nyuruh aku yang izin, tapi aku nggak mau. Mereka sangat memaksa, soalnya aku katanya yang paling dekat sama umi. Awalnya aku kaget, jangan-jangan mereka berpikir yang nggak-nggak. Tapi mudah-mudahan tidak.
“Ayolah May, please!” kata Sinta yang memohon. Semua siswi kelas dua belas tengah berkumpul di depan musholla, itu biasa tempat mereka duduk santai setelah kegiatan selesai.
“Maya ayo dong kamu yang izin sama umi” kata Mira yang berdampingan dengan Sinta. Dia siswi Aliyah.
“Yo mbak May, kapan lagi cobak” timpal Ajeng wanita Yogya itu. dia sangat kental dengan Jawanya. Ajeng juga teman kelasku dia manusia yang paling kocak sepanjang sejarah.
“Okay deh” jawabku dengan muka kasihan pada mereka.
Akhirnya aku langsung menuju ke dalem lagi. Entah sudah berapa kali aku menginjakkan kakiku di ruangan ini. Ah, rasanya kejadian itu mulai membayangiku.
Saat aku mengetuk pintu belum sampai tiga kali, tiba-tiba gus Raka yang buka pintu. Jangan ditanya, aku langsung mundur dari pintu itu. Nggak tahu kenapa, kalau aku melihat gus Raka rasanya ingat kejadian itu lagi. Padahal aku sudah berusaha untuk bertindak biasa-biasa saja, tapi nyatanya aku selalu gugup jika berhadapan dengan gus Raka. Bukankah ini aneh, tapi aku rasa maklumlah namanya juga manusia.
“Gus, umi ada?” kataku dengan mimik wajah tidak seperti biasanya jika berbicara dengan gus Raka.
“Nggak ada, umi tadi langsung mios” katanya. “Ada apa?” tanya gus Raka dengan muka datarnya. Apakah dia sudah melupakan semua kejadian itu, semudah itu? dia selalu menampakkan bahwa tidak pernah terjadi sesuatu. Kenapa Maya apa kamu sekarang berharap sama gus Raka? Bukankah gus Raka punya hak untuk melupakanmu? Bahkan diapun juga berhak melanjutkan hidupnya setelah wanita yang dicintainya sudah menjadi milik sahabatnya sendiri?
“Eeee, ini gus saya mau minta ijin”
“Ijin apa?”
“Mau bakar-bakar”
“Bakar pesantren?”
“Ya bukanlah gus” sanggahku dengan cepat
“Terus?”
“Mau bakar jagung”
“Oh, ya udah jangan lupa aku sisain” katanya.
“Hah?” kataku yang sepertinya bertanya ini gus Raka bener mau minta disisain atau cuma becanda. Batinku.
“Nggak becanda”
“Oh kirain gus, kalau gitu saya pamit assalaamualaikum”
‘Waalaikumussalaam” jawab gus Raka.
Akupun berlalu dari hadapannya. Ingin cepat-cepat lari, aku takut gus Raka melihat ekspresiku yang gugup. Entah kenapa sebenarnya aku masih ingin berbicara dengan gus Raka, nggak tahu kenapa. Aku pikir dia bakalan ngucapin secara langsung kalau aku besok mau keluar dari pesantern, tapi nyatanya nggak.
“Gimana May?” tanya Sinta
“Iya di ijinin” kataku ketika sudah berada dihadapan mereka yang menunggu.
“Bilang apa umi May?” tanay Sinta lagi
“Bukan umi yang bilang tapi gus Raka”
“HAH!” ucap mereka bersamaan, aku yang melihat mereka samapi jijik. Soalnya mulut mereka terbuka bersamaan untung nggak ada lalat buta yang lewat.
“Biasa aja” kataku. “Ya udahla ayo” ajakku pada mereka.
Semua barang sudah siap. Jam menunjukkan pukul setengah sebelas. Jagung mulai dibakar diatas arang yang sudah dihiasi api yang membara. Seperti halnya hatiku yang sempat membara kemudian terbakar karena habis di setrum dengan kata-kata gus Raka tadi pagi. Sinta dan yang lainnya bergantian mengipas. Akhirnya jagung bakarpun siap untuk dihidangkan.
Malam ini akan menjadi malam yang tidak akan pernah ku lupakan. Besok pagi aku akan berpisah dengan kalian. Dan itu rasanya sangat berat, benar kata Dilan aku bakalan rindu kalian. Terimakasih untuk kebahagian yang sekarang.
###
Karena terlalu semangatnya sebelum azan subuhpun semua santri sudah dandan rapi. Tidak terkecuali Sinta dan teman santri sekamarku. Sedangkan aku karena masih dijemput pukul sepuluh, yaaaa aku sekarang masih leha-leha. Biarlah aku menyaksikan teman-temanku dengan kebahagiannya.
Setelah matahari muncul suara mikrofon dari bawah bersaut-sautan. Pengurus saling bergantian memanggil nama-nama santri yang akan keluar dari pesantren. Sedangkan adik-adik kelas masuk sekolah seperti biasanya. Hingga akhirnya tibalah nama Sinta yang dipanggil, ah rasanya aku ingin menangis.
“May aku pamit ya” kata Sinta dengan menggendong tasnya.
“Sintaaaaa” kataku dengan air mata yang mulai mengalir
“Eh, nggak usah nagis atuh kan bisa nelpon” katanya yang memelukku
“Iya, kamu juga jemput Doni?”
“Iya”
“Salamkan ya?”
“Itu mah nggak usah di ingetin” katanya menggodaku
“Ya udah aku pamit ya”
“Iya hati-hati” kataku setelah melepaskan pelukannya
Aku masih melihat Sinta diatas balkon, kemudain Sinta melihat ke atas menatapku seraya melambaikan tangan. Aku tahu rumus dunia, setiap pertemuan pasti ada permisahan dan itu berlaku bagi siapapun. Bukannya itu lagu milik bang H. Rhoma Irama? Kini tinggal aku seorang diri. Dikamar hanya tinggal tiga orang. Dan itu semua adik kelasku. Sementara yang kelas dua belas sudah pulang semua. Sedikit sih, yang mau melanjtutkan di pesantren ini. Tapi aku lebih memilih untuk keluar saja.
“Mbak belum di jemput?” tanya Wika yang sedang tidur-tiduran dikasurnya.
“Belum” sahutku yang juga tidur-tiduran di kasur Sinta. Sinta sudah nggak ada dia udah pergi.
“Sabar mbak” katanya
“Iya ini udah sabar, lebih malah” jawabku, Wika hanya tersenyum.
Sambil tidur-tiduran menunggu ayah datang aku membaca novel dengan judulnya jodoh. Novel ini lucu banget, saking kebeletnya cari jodoh sampai berondong kejar-kejar dia. Tapi sayang dia nggak mau. Cowok yang ditaksir udah punya pasangan, menderita banget sih hidup mbak Dea ha ha ha. Semoga cepet dapet jodoh ya mbak.
“Mbak udah dipanggil tuh” kata Wika yang mengagetkanku. Aku sedang asyik baca novel hingga aku tak menyadari suara mikrofon memanggil namaku. Ayah sudah datang. Yeyayyy, akhirnya aku pulang.
Akupun bersiap-siap memakai jilbab segi empat. Melihat salinan wajhaku didepan cermin. Sip, sudah siap.
“Wik, aku pamit ya”
“Iya mbak, sering-sering kepesantren” katanya seraya memelukku
“Iya insyaa allah, kalau inget” kataku
“Ih, si mbak mah”
“He he he, becanda, aku pulang ya assalaamualaikum”
“Waalaikumussalam”
Akhirnya aku berlalu dari hadapan Wika dan menghampiri ayah yang sedari tadi sudah menunggu. Setelah sampai diluar receptionis belum keluar gerbang pesantren. Aku lihat ayah sedang ngobrol dan itu bersama gus Raka. Aku yakin karena melihat penampilannya mirip dengan gus Raka. Kenapa disaat aku mau pulang makhluk itu selalu muncul, mungkin ini sudah menjadi suratan takdir dari Sang Maha Kuasa.
Sekarang aku bingung mau ngapain, mau samperin ayah atau jangan? Atau aku ngunggu mereka selesai ngobrol. Tapi pasti lama. Kalau nggak disamperin mereka keenakan ngobrolny, sedangkan aku paling benci dengan kata menunggu. Ya udahlah aku samperin aja, apapun yang terjadi itu apa kata nanti.
“Ayah” teriakku pada ayah seraya melambaikan tangan.ayah melihat ke arahku dari jarak yang tidak begitu jauh sekitar 15 langkah dari tempat tadi.. Sedangkan aku melihat gus Raka juga menatap ke arahku. Okay Maya bertindaklah seolah-olah tidak pernah terjadi apapun dengan gus Raka.
Setelah sampai dihadapan ayah dan gus Raka. Aku sedikit gugup nggak tahu kenapa. Tapi sebisa mungkin aku menyembunyikannya.
“Yuk yah” ajakku pada ayah
“Taruk dulu tasnya!” kata ayah
“Siap” sahutku tersenyum seraya berjalan menuju mobil yang ada di luar gerbang pesantren.
“Raka om balik dulu ya” kata ayah sambil memegang pundak gus Raka.
“Ya om” jawab gus Rak tersenyum.
“May, nggak mau pamit sama gus Raka?” tanya ayah padaku yang sudah kembali dari tempat mobil. Kebetulan mobil ayah ada di luar gerbang.
“Hah, i-iya yah” jawabku gugup
“Gus, saya pamit” kataku pada gus Raka yang tidak terlalu lama aku menatap wajahnya.
“Iya hati-hati” jawab gus Raka. Aku membalasnya dnegan menganggukkan kepala.
Akhirnya sebelum aku masuk mobil, aku menatap lekat-lekat bangunan pesantren itu. Melihat nama pondok pesantren Al Hidayah yang tertera di atas gerbang pesantren berbentuk melengkung berwarna putih dengan huruf kapital dan dibawahnya ada tulisan arab, rasanya aku tidak ingin meninggalkan pesantren tercintaku ini. Mataku mulai tergenang, air mata hampir menetes tapi secepat mungkin aku mencegah dia membasahi pipi. Aku masih melihat gus Raka berdiri di tempat tadi. Aku hanya menganggukkan kepala dan sedikit tersenyum, entah dia menyadari atau tidak. Mobilpun melaju meninggalkan pesantren, dan akhirnya waktu yang aku tunggu selama satu tahun lebih sudah tercapai. Aku sudah keluar alias berhenti dari pesantren. Sampai jumpa! Semoga kenanganku yang menyangkut gus Raka hilang bersamaan dengan asap mobil yang melambung ke udara terhempas angin kemudian hilang.
###

Assalaamualaikum semua...masya allah apa kabar kalian?
semoga senantiasa dalam lindungan allah...
eh ya, pada lebaran kemana aja nih...??
lahir batin ya semuanya...
selamat membaca, semoga suka dan maaf chapter ini agak pendek, heheh
"Libatkan Allah dalam segala hal"
wassalaamualaikum...
😊☺😘😘😘

DULU DIA GUSKU (Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang