[8]

9 0 0
                                    

Gadis itu masih termenung, menyaksikan orang-orang yang ia kenal berbondong-bondong memasuki rumah kecilnya. Ia masih bergeming menyaksikan setiap orang tertunduk lesu dan menampakkan raut sendu. Ia hanya tak percaya dengan apa yang baru dialaminya. Tetangga yang tak pernah ramah dengannya kini terlihat memendam empati. Ia dapat melihat dari matanya. Bukankah mata tak pernah berbohong?

Rumah kecil itu dipadati manusia hanya dalam hitungan beberapa jam. Seorang gadis kecil berambut keriting datang memeluknya dengan sesegukan. Tak banyak yang dapat ia katakan. Hanya terdengar seperti gumaman lantaran ia lebih mengutamakan isaknya. Gadis itu hanya termenung, dilihatnya gadis berambut keriting yang memeluknya dengan pilu. Ia membalas pelukan gadis kecil itu. Gadis kecil itu mulai tenang dan tak terdengar isak tangisnya.

"Ester"

Gadis itu mendongak saat pelukannya dilepas secara sepihak. Ia hanya mengusap rambut keriting si empunya suara.

"Mereka bilang mommy pergi ke surga dan aku tak boleh ikut"

Gadis itu hanya tersenyum dengan mata sayu menyimpan sejuta makna.

"Ester, aku ingin ikut mommy" gadis kecil itu merengek

"Erica, dengar. Kau bisa menyusulnya nanti setelah kau dewasa. Jika kau ikut mommy sekarang, tentunya kau akan kepayahan. Karena perjalanan mommy sangat panjang. Mommy ingin kau menemani aku dan dady disini."

"Aku tak akan merepotkan mommy"

"Mommy tak akan merasa direpotkan. Tapi kau akan gugur di perjalanan jika ikut sekarang. Bekalmu belum cukup."

"Aku akan membawa bekal lebih banyak"

"Jika kau ingin membawa bekal lebih banyak, kau tidak bisa menyusul sekarang mommy sayang"

"Baiklah aku tidak akan ikut mommy sekarang."

"Anak pintar."

"Tapi kenapa banyak sekali yang datang kerumah kita Ester? Bahkan bibi Lou datang. Dan mommy terus tidur."

Ester hanya tersenyum kecut. Pandangannya mulai memburam. Erica masih terlalu polos untuk mengetahui hal ini.

"Kesinilah. Aku ingin memelukmu" pintanya tiba-tiba.

Erica mendekat dan memeluk erat Ester.

"Tidurlah Erica. Aku akan berjanji pada mommy untuk selalu menjagamu. Sekarang tidurlah, karena mommy akan bangun sebentar lagi, ia akan marah jika melihatmu tak tidur siang."

Erica membenamkan diri di pelukan Ester mencari posisi ternyaman untuk tidur. Matanya yang sembab tertutup rapat dan tak lama lagi ia akan berkelana di bawah alam sadar. Ester mengencangkan pelukannya dan memejamkan mata.

"Mommy, aku berjanji" setetes air bening turun dari manik indahnya.

*

"Ester, tolong akuu...."

Ester tersadar dan segera berlari menyusuri sumber suara. Ia sangat mengenal suara itu. Namun, tak dilihatnya seorang pun disana. Hanya puing-puing bangunan menyeramkan yang ia dapati. Ia mulai merinding.

"Esterrr"

Suara itu semakin dekat dengan tempatnya berada. Telinganya berdengung hebat.

"Esterrr"

Suara itu dengan mudahnya mengacaukan kinerja syaraf otaknya. Ia seperti merasakan vertigo hebat. Kepalanya terasa hampir pecah. Ditutupnya telinga rapat-rapat.

"Esterrrr"

Suara itu semakin kuat dan mendengung dikepalanya. Setetes cairan merah segar mengalir dari telinganya.

Tak lama, suara itu menghilang. Tempat yang ia pijaki sunyi kembali seakan tak pernah terjadi sesuatu yang menimpa dirinya. Ester menenangkan dirinya. Cairan merah yang mengenai tangannya begitu nyata.

Dibalik sebuah dinding tak jauh dari tempatnya, sesosok gadis yang sangat ia kenal tengah menatapnya sendu. Ia menangis.

"Erica"

"Ester. Hiks hiks" Erica terus menangis sembari memegang dadanya. Ia terlihat sesak. Namun ia tetap bergeming dan tak mendekati Ester.

"Erica, hey aku berhasil mendapatkan inhaler untukmu."

"Ester..." Erica melepaskan tangan yang menempel didadanya. Terlihat darah segar mengucur dari bekas telapak tangan mungil itu.

Ester merasakan tubuhnya bergetar. Entah ia merasa takut, kasihan, atau bahkan sedih, ia tak tau. Ia tak dapat mendefinisikan pikiran dan perasaannya. Matanya membulat melihat Erica berjalan mendekatinya. Tanpa ia sadar, satu langkah Erica mendekatinya, satu langkah pula ia berjalan mundur. Ia menangis, entah itu tangisan untuk apa, ia tak tau, ia hanya ingin menangis. Erica terus berjalan mendekat. Darah di dadanya semakin deras. Hampir seluruh bajunya berwarna merah meresap cairan anyir itu.

"Ester, sadarlah Ester" Erica terus mendekat

Suara itu membuat telinganya berdengung lagi, bahkan lebih hebat dari sebelumnya.

"Ester, sadarlah. Sadarlah dan tolong aku Ester."

Ester menutup telinganya lebih kuat. Suara itu kembali merusak pendengaran dan pikirannya. Matanya mulai berkunang-kunang. Ia menatap buram sekelilingnya. Dilihatnya sesosok Erica yang kabur dari pandangannya berada tepat didepannya.

"Ester, sadarlah. Tolong aku. Kau berjanji pada mommy untuk menjagaku. Sadarlah Ester. Sadarlah"

"Erica"

"Sadarlah ester"

"Erica" pandangannya semakin kabur dan kepalanya semakin terasa berat.

"Sadarlah Ester"

"Ericaaaa" kini yang ia lihat hanyalah hitam.


THE INSURGENT : The Failure of GenomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang