Sambil membaca komik Doraemon di ruang tengah, Anna menguping pembicaraan Darren dan Lea. Ia tidak fokus pada alur cerita komik, pikirannya justru berkelana ke mana-mana. Perbincangan kakak dan ayahnya sangat membosankan, ah ... lebih tepatnya menyakitkan.
"Papa tahu 'kan apa impian terbesar Lea?" ucap Lea sembari menyandarkan kepala di pundak Darren. Matanya terarah pada film romance di layar TV.
"Tentu, Sayang. Sejak kecil kau selalu ingin menjadi penari balet terkenal di seluruh dunia. Selangkah lagi kau akan meraih impianmu."
"Pa, sebenarnya juga Lea memiliki satu impian lagi."
"Biar Papa tebak. Ehm ...." Darren menatap lampu kristal di langit-langit ruangan. "Menjadi artis Hollywood?"
Lea terkekeh. "Itu terlalu tinggi, Pa. Lea tidak terlalu pandai berakting."
"Cepat katakan. Papa akan membantu mewujudkan mimpi-mimpimu."
Anna menyandarkan kepala di punggung sofa. Matanya memanas. Papa selalu berusaha mewujudkan semua impian Lea, tetapi tidak pernah sekalipun mendukung impian Anna.
Anna tidak pernah meminta pada Darren untuk mencarikannya seorang maestro hebat sebagai guru melukis. Berbeda halnya dengan Lea yang selalu mendapatkan fasilitas terbaik. Sekolah balet serta modeling terbaik di Indonesia.
Keinginan Anna sederhana. Dia hanya membutuhkan izin dari Darren untuk belajar melukis secara autodidak. Pernahkah Darren mengizinkannya? Sama sekali tidak. Seolah, Anna hanya seorang gadis bodoh yang tidak pantas memiliki mimpi.
"Yakin Papa mau membantu?" Lea memandang wajah ayahnya penuh harap, matanya mengerjap manja.
"Tell me!"
"Menikah dengan Kak Charless."
Benar dugaan Anna, kakaknya akan meminta dukungan dari Darren. Bisa ditebak, keinginan Lea akan segera terkabul dalam hitungan menit. Atau mungkin, detik ini juga Darren akan menelepon Charless dan memintanya untuk segera melamar Lea.
Poor Anna! Tangisi kekalahanmu! Barangkali nasib baik tidak pernah berpihak padanya. Seolah ia terlahir hanya untuk mengalami penderitaan.
"Serius? Sejak kapan kau mencintai Charless?" Darren memasang wajah terkejut.
"Sejak Lea masuk SMA."
"Ini sulit, Sayang. Cinta tidak bisa dipaksakan."
"Kak Charless juga mencintai Lea. Tadi sore dia memberi buket mawar atas kesuksesan Lea di kompetisi balet," papar Lea, kemudian ia menoleh pada adiknya. "Kau melihatnya 'kan, Anna?"
Anna hanya bergumam malas. Matanya masih berpura-pura menekuri halaman komik.
"Ia memberi buket bunga sebagai ucapan selamat, bukan ungkapan cinta. Lagipula usia kalian terpaut sepuluh tahun. Ayolah, My Princess! Tidak bisakah kau mencari pria yang usianya paling tidak terpaut lima tahun?"
"Lea yakin, Pa. Kak Charless bahkan berjanji akan datang dan menonton kompetisi balet di London nanti. Dia pengusaha sibuk, tetapi rela meluangkan waktu untuk memberikan dukungan. Lagipula cinta tidak mengenal usia. Please, Pa!"
"Oke! Papa akan berusaha memberikan yang terbaik untukmu."
"Thank you! I love you, Pa!"
"Love you more, My Princess."
Selalu yang terbaik untuk Princess Papa! Anna menutup komiknya, lantas pergi. Terlalu lama mendengarkan perbincangan mereka, membuat hatinya semakin terluka. Untuk saat ini ia tidak ingin mendengar nama Charless. Anna sedang berusaha melupakan pria yang sebentar lagi akan menjadi milik kakaknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Salju Pertama di New York
Roman d'amourMenjadi putri seorang pengusaha ternama, tidaklah membuat Anna merasa bangga. Gadis berdarah seni itu tidak menyukai popularitas. Terlebih ayahnya selalu membanding-bandingkan Anna dengan prestasi kedua kakaknya, membuat Anna semakin benci terlahir...