Darren mendongak saat Alesha melempar tas branded-nya ke atas meja. Wajah wanita itu nampak murung dan lelah, seperti ada beban berat yang sedang menghimpitnya. Barangkali ada masalah di wisata taman bunga miliknya
Darren melipat koran yang baru saja dibacanya, dahinya berkerut. "Dari mana? Ini sudah jam tujuh malam dan kau baru pulang. Tidak biasanya kau pergi tanpa izin."
"Dari galeri seni dan menemui Ervan."
"Untuk apa kau menemui seniman-seniman gila itu?"
"Anna pergi berlibur bersama mereka. Jika mereka sudah pulang, lalu ke mana Anna pergi?"
Darren memalingkan wajah. "Kenapa bertanya padaku? Seharusnya kau bertanya pada mereka. Sudah kubilang, bukan? Jangan membiarkan putrimu bergaul dengan seniman jalanan."
"Tatap mataku, Darren!"
Pria itu kembali mendongak, ia menemukan kilatan amarah di mata Alesha. Apa Alesha sudah tahu kejadian yang sebenarnya? Sesuatu yang menyebabkan Anna harus pergi?
"Kau boleh membenci Anna, tetapi kenapa kau tega memberikan pilihan tersulit padanya? Bagaimana mungkin kau tega membiarkan anak gadis pergi dalam kondisi hancur seperti itu?"
Darren menghela napas kasar, lalu berucap dengan nada datar. "Bukan aku yang menyuruh dia pergi. Dia yang mengambil keputusan sendiri."
"Tapi kau memberikan dua pilihan tersulit dalam hidupnya!"
"Dia lebih memilih kebebasan dibanding keluarganya. Apa artinya dia masih memiliki rasa sayang kepada keluarganya? Masih menganggapku sebagai ayahnya?"
"Aku tidak mau tahu tahu, kau harus mencari Anna!" Alesha meraih vas bunga di meja lalu membantingnya dengan kasar. Vas berbahan porselen itu hancur berkeping-keping, sama hancurnya dengan perasaan Alesha. Ia tidak menyangka bahwa orang yang paling ia percaya, tega membohonginya.
Darren menyentuh pundak Alesha, menenangkan. "Albert sedang dalam perjalanan menuju ke sini. Sejak kemarin ia mencari Anna, ia pasti sudah menemukan keberadaan anak itu."
Emosi yang meledak membuat tubuh Alesha kehabisan tenaga. Ia luruh, terduduk di sofa. Darren dengan sigap memeluknya. Pria itu sudah menduga, Alesha pasti akan semarah ini jika tahu yang sebenarnya.
Sepuluh menit kemudian, bel berbunyi. Pelayan membuka pintu, hanya dalam hitungan detik Albert sudah berdiri di hadapan tuannya. Pria itu membungkuk hormat.
"Di mana putriku?" tanya Alesha cepat. Ia menatap Albert dengan wajah memelas, lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Berharap putri bungsunya ada di belakang pria itu. Namun, kenyataannya Albert datang seorang diri.
"Maaf, Tuan, Nyonya. Saya kehilangan jejak Nona Anna." Albert menunduk, tidak berani menatap Alesha. Ia tidak sanggup melihat wanita itu hancur karena putrinya menghilang entah ke mana.
"Apa maksudmu kehilangan jejak?" Alesha menampar wajah Albert. Ya, ini untuk pertama kalinya ia bersikap kasar pada pria yang bertahun-tahun menjadi orang kepercayaan suaminya.
"Alesha, tenang! Biar Albert menjelaskan." Darren kembali memeluk Alesha.
Alesha memberontak, dicengkeramnya kerah kemeja Darren erat-erat. "Bagaimana aku bisa tenang, Darren? Putriku tidak diketahui keberadaannya. Dia pergi dengan hidupnya yang hancur. Apa saat ini dia baik-baik saja? Apa ia punya uang untuk makan? Apa ia punya tempat berteduh? Dunia luar itu kejam, Darren! Anna hanya seorang gadis, mampukah ia bertahan?"
"Percayalah, Alesha! Anna adalah gadis tangguh. Dia berani membuat keputusan, artinya dia mampu melewati semua tantangan itu." Darren semakin erat mendekap tubuh istrinya. Tatapannya beralih pada Albert. "Jelaskan semuanya, Albert!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Salju Pertama di New York
RomantizmMenjadi putri seorang pengusaha ternama, tidaklah membuat Anna merasa bangga. Gadis berdarah seni itu tidak menyukai popularitas. Terlebih ayahnya selalu membanding-bandingkan Anna dengan prestasi kedua kakaknya, membuat Anna semakin benci terlahir...