17. Takdir

41K 4.2K 127
                                    

"Ya ... ternyata mendengar banyak hal dari mereka yang berkeliling dunia itu, menyenangkan!" Aluna tertawa di depan kamera komputernya malam ini.  Seperti biasa, dia sedang begadang dengan Anggara menjaga Mitra dagang dari para pencuri daring. "Aku gak habis pikir, dokter Anne mendedikasikan hidup dia untuk anak-anak kurang gizi dan miskin di setiap belahan bumi. Amazing, Anggara! Dia menginspirasi aku."

Terlihat anggara yang tersenyum tulus pada Aluna. Pria itu bahkan bertopang dagu dengan tangannya. "Aku suka lihat kamu tertawa lepas dan tersenyum cerah seperti tadi. Cantik, Aluna." Tatapan mata pria itu pada sahabatnya, entah mengapa terasa teduh dan hangat. Padahal, rintik hujan sedang membasahi Jakarta malam ini.

Seketika, Aluna menutup mulut dan mengulum senyum pada kamera yang tersambung ke Bandung sana. Ia membenahi letak kaca mata, lantas melanjutkan ceritanya tentang dokter Anne dan projeknya membuat website.

"Ada yang bisa aku bantu? Ah ... rasanya tidak. Website terlalu mudah untuk seorang Aluna," puji Anggara lagi saat mereka tengah membahas konsep situs yang sedang Aluna bangun.

Aluna kembali tertawa lirih. "Belum butuh, Anggara. Aku menggunakan rancangan web yang dulu pernah ku buat saat kita kuliah. Hanya sedikit modifikasi sesuai dengan apa yang Mas Bima dan dokter Anne minta."

"Aluna."

"Ya?"

Anggara menatap Aluna dan hening sesaat. "Kalau aku meminta kamu berada disisiku sekarang, apa kamu mau?"

"Hah?" Aluna mengerjap mencoba memahami pertanyaan yang ia dengar barusan. "Kamu tanya apa tadi, Angga?"

Anggara menggeleng dengan senyum yang justru membuat sejuta tanya tanya pada Aluna. "Tidak. Abaikan saja," jawab Anggara dan Aluna hanya mengangguk lantas melanjutkan obrolan mereka tentang Mitra Dagang.

"Uhm, Anggara."

"Ya?"

Aluna mengulum lagi bibirnya. Kali ini terlihat sedikit gugup. "Apa aku boleh mengakhiri diskusi kita malam ini?" tanya Aluna dengan mata yang melirik pada satu benda di sebelah komputer.

"Sudah mengantuk? Baiklah." Anggara tersenyum. "Jaga kesehatan, Aluna. Aku tidak mau kamu sakit."

Aluna mengangguk dengan mata yang beberapa kali melirik singkat pada satu benda.

"Boleh aku minta sesuatu?" Aluna yang tadinya hendak menutup aplikasi kamera, berhenti. Ia menatap kamera seakan menatap Anggara penuh tanya. "Terus tertawa dan tersenyum seperti tadi. Aku suka melihatnya."

Senyum manis merekah di bibir Aluna. "Pasti. Kita harus bahagia bersama, bukan?"

Anggara mengangguk dan mereka menyudahi aktifitas harian mereka untuk malam ini.

"Halo," sapa Aluna sesaat setelah skype dengan Anggara sudah tertutup. Ponsel yang sejak tadi bergetar dengan lampu yang berkelip, sukses menghancurkan konsentrasi Aluna bersama Anggara.

"Kenapa lama angkatnya? Sudah tidur?"

Aluna melirik jam digital pada komputer. Jam satu dini hari. "Seharusnya sudah, jika Bapak tidak menghubungi saya selarut ini."

Helaan napas terdengar dari seberang sana. Samar, Aluna juga mendengar suara kendaraan dan angin. "Saya ... rindu kamu, Luna."

Bibir Aluna menipis. Ingin ia berkata 'juga', namun ... "Sebaiknya bapak segera tidur. Jangan dekati saya lagi dan," Aluna menghela napas sejenak, "saya tidak ada kepentingan apapun untuk tau perasaan bapak."

Another Rainbow ( Sudah Terbit ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang