002

7 2 0
                                    

[BAGIAN DUA]

Kembali ke apartemen dingin ini lagi. Sendirian kembali. Gara menatap ruang sebesar 4×4 meter di depannya dengan kosong, kemudian berjalan lunglai ke kamarnya. Kamar yang didominasi warna abu-abu dan putih itu menampilkan kesan maskulin.


Gara segera membuat susu karamel kesukaannya dan menuju ke piano kesayangannya. Tak banyak yang mengetahui, Gara pandai bermain piano. Setidaknya, ketika bermain piano, dia bisa melupakan sejenak kemelut dalam hidupnya. Jiwanya larut pada permainan jari-jarinya di atas tuts pianonya.

Dering ponsel yang berbunyi beruntun, mengganggu konsentrasi Gara bermain piano. Ketika mengecek ponsel, senyuman menghiasi wajah Gara.

"Hal--" Belum selesai ia menyapa, suara di seberang telepon telah menginterupsi.

"Woi, entar malem lu ikut gak?" Potong suara kelewat antusias, siapa lagi kalau bukan Mesi.

"Kemana?" Gara berujar dengan sedikit was-was. Wajar saja dia waspada, temannya yang satu ini agak konslet otaknya.

"Tempat biasa, tenang gua macem macem kok." Ucap Mesi menenangkan, meski terselip sedikit nada mencurigakan. Kemudian melanjutkan ucapannya, "Sama Johan dan Romeo."

"Oke."

Gara langsung mematikan telepon dan tersenyum. Setidaknya, malam ini ia tidak akan sendirian lagi.

×××

Di meja belajar itu, terhampar beberapa buku. Sedangkan sang empunya buku, terlihat sedang berpikir keras. Bukan, bukan mikirin pelajaran yang ada di depannya, tetapi tentang cowok yang tadi sore mengantarnya.

Gara.

Satu nama yang sukses mengisi seluruh pikiran Bulan malam ini. Bulan menggigiti pulpen dan benaknya tergambar bagaimana wajah Gara saat makan tadi. Sedikit menggemaskan. Oke itu bohong, banyak bahkan sangat menggemaskan. Polos polos unyu gitu.

Ini kayaknya Bulan jadi aneh, kenapa dia jadi deg-deg an kalo sama Gara? Bukannya harusnya debaran ini untuk Baskara?

"Bulan, Bunda mau pergi ke tempat bude dulu ya." Suara Bunda mengangetkan Bulan yang sedang senyum senyum sendiri.

"Iya bunda."

×××

Suara musik remix yang disetel kuat-kuat memenuhi kepala Gara. Lantas ia berteriak mencoba mengalahkan suara musik, "Woi, Mes, setres ya lu!"

"Alah, seru gini kok. Ya gak, Rom?" Mesi menyahut sambil menyenggol Romeo yang sedang minum sodanya.

"Heh bego, tumpah nih oncom!" Seru Romeo greget.

Sumpah ya, kalo Mesi bukan teman mereka, Gara akan gebukin dia di sini. Bagaimana tidak, rumah Johan yang bapaknya merupakan Pendeta Katolik, diubah menjadi diskotik. Johan hanya menatap pasrah kegilaan teman-temannya.

"Pokoknya gua gamau tau, jam tiga nanti, semuanya harus beres dan rapi." Ujar Johan bersungut-sungut.

Terdengar ketukan pintu yang cukup kasar dari ruang depan. Johan segera mencabut kabel sound dengan sedikit panik. Mesi dan Romeo yang belum sadar keadaan pun menatap protes. Gara menyuruh mereka diam.

"Jo! Jo! Buka pintunya!" Terdengar ketukan kasar dari ruang depan.

Mereka berempat saling berpandangan mampus-kita-malam-ini. Dan lari menuju ruang depan, karena sepertinya sang tamu sangat tidak sabaran.

"Hei, kalian tau tidak sekarang jam berapa?" Ujar pria berambut cepak dengan wajah menahan amarah. Ini kakak Johan, Bang Jeff namanya.

"Tau bang." Jawab mereka berempat serempak seperti anak kecil yang ketahuan nyolong mangga milik tetangga.

"Jangan setel musik kenceng-kenceng, ganggu orang kawin aja. Ku lapor Papa, mati kau!" Bang Jeff memberi peringatan sambil menunjuk Johan. Kemudian berbalik ke rumahnya yang berada tepat di sebelah rumah Johan.

Gara, Johan, Mesi dan Romeo hanya menggangguk-angguk saja. Mana berani mereka melawan, Bang Jeff ini seorang tentara yang galaknya minta ampun.

Waktu dulu jaman SMP, ada kegiatan kemah di sekolah yang pembimbingnya adalah Bang Jeff. Saat itu mereka bolos saat upacara di sore hari dan berakibat di injak sepatu PDL tentara. Padahal saat itu, mereka tidak mengenakan alas kaki. Bayangkan seberapa sakitnya. Ah, jadi nostalgia masa lalu.

"Eh gimana kalo kita nonton film horor aja?" Usul Romeo dengan semangat bahkan sampai mengacungkan tangan segala.

"Bacot, bersihin dulu bekas diskotik kalian." Johan bersungut-sungut, nyawanya hampir melayang karena hampir dilaporkan papanya. Bisa kena kutbah dua minggu dia.

Melihat mood Johan memburuk, akhirnya mereka membersihkan semuanya dengan tenang. Mungkin, orang-orang mengira geng 4G adalah anak-anak nakal yang doyan miras dan rokok juga dugem. Padahal mereka masih takut sama mama-papa. Jelas sekali, apa yang dikira terkadang bukan yang sebenarnya terjadi.

Johan dan Gara telah berteman sejak mereka duduk di bangku TK. Kala itu, Johan sering kencing dicelana dan semua orang menjauhinya, kecuali Gara. Anak itu selalu menempel dengan Johan dan menjadi satu-satunya teman Johan, tentu alasannya karena Johan punya komik-komik keren yang bisa dibaca gratis oleh Gara. Ternyata pertemanan mereka berlanjut hingga sekarang.

Sedangkan dengan Mesi, mereka bertemu ketika SD. Mesi dipalak oleh kakak kelas 6 dan Gara dengan gagah berani melawan kakak kelas itu. Meski pulang bonyok, Mesi merasa senang ada yang membelanya dan mereka pun berteman dan sering bersama.

Dan terakhir, Romeo. Cowok antah berantah ini, Gara menemukannya di rental PS langganannya. Berawal dari Romeo yang mengajarkan Gara, Johan dan Mesi bermain game Point Blank dengan keren dan takjub. Mereka berempat pun sering bermain PS bareng dan menginap di rumah satu sama lain.

Akhirnya, pertemanan absurd mereka terjalin hingga saat ini. Kadang, Gara juga berpikir mereka aneh. Semuanya memiliki sifat yang beda, seperti Gara yang emosian, Johan yang sabar, Mesi yang gila dan Romeo yang lemot. Tapi, mereka saling melengkapi. Gara juga bersyukur, di tengah-tengah hidupnya yang sedang kacau, ia memiliki teman yang sangat setia dan selalu ada di sampingnya.

Di tengah nostalgia bagaimana bertemunya kelompok kecil ini, notifikasi pesan masuk berbunyi di saku celana yang dikenakan Gara. Matanya hanya menatap datar pesan yang dibaca, tanpa ada niatan membalas. Ia lelah, Gara hanya ingin melupakan semuanya malam ini.

+628790xxxxxx
Mau sampai kapan kamu kabur?
Kapan kamu bakalan belajar dewasa?

Sebuah pesan kembali masuk. Tapi kali ini, Gara memutuskan untuk tidak membuka pesan itu. Ia tidak ingin terlihat sedih di depan teman-teman. Gara hanya ingin menonton film Annabelle di depannya. Namun, rasanya film ini jadi tidak mengerikan lagi. Diam-diam, Johan memperhatikan wajah Gara dan tersenyum miris.

×××

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 27, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Blurry FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang