"Cut .... " Pengeras suara dari sutradara mengakhiri syuting dini hari itu. Semua kru film menarik nafas lega. Seharian berkutat dengan peralatan shooting sangat melelahkan. Hari ini harus mengulang adegan berkali-kali. Semua artis dan kru sudah kelelahan.
Luna Anggita, sang bintang utama merebahkan tubuhnya di Alphard kesayangan. Masih cling karena baru beberapa bulan mengisi garasi. Wajahnya begitu lelah. Baru sebentar memejamkan mata suara ketukan di pintu kaca datang mengganggu.
"Luna ... Luna ... buka, sayang!"
"Aku mengantuk, Mah, bisa nggak ganggu," jawabnya dengan malas. Membalikkan tubuhnya membelakangi sang mama yang tak henti mengetuk kaca mobil.
"Ya, Tuhan. Bentaran doang, sayang. Kamu lupa minum multivitamin dan suntik vitamin C. Buka! bentaran kok. Nanti wajahmu loyo dan nggak fresh. Kagak enak dilihat di kamera. Buka! Cepat!"
Luna menggaruk kepala tak gatal. Kesal. Kapan bisa tidur dengan tenang. Mendengus kesal. Membuka pintu dengan wajah cemberut.
"Aih, jelek tahu kalau muka merenggut begitu," goda sang mama.
Seorang asisten yang juga berprofesi sebagai perawat pribadi datang membawa kotak obat. Segera menyuntikan vitamin agar Luna bugar. Beberapa pil juga diulurkan pada Luna yang sudah muak meminum pil pembuat fresh tubuhnya. Dengan tatapan marah sang bunda, pil itu berhasil masuk ke tenggorokan.
Luna sudah merebahkan kembali raganya. Alphard keluaran terbaru itu dimodifikasi sedemikian rupa agar bisa jadi rumah kedua dan peristirahatan terbaik bagi Luna. Sebagai seorang artis yang tengah hits.
Aktivitas Luna sangat padat. Hanya bisa beristirahat sejenak dalam setiap syutingnya. Itupun merebahkan diri di mobil kesayangan dari satu shooting ke tempat shooting lainnya.
Rumah megah jumlah tiga menjadi bukti kesuksesan, untuk apa? Sekedar ciri? Bukti? Tanda kesuksesan yang di kejar sedari kecil. Padahal jarang bisa nyaman terbaring di ranjang empuk rumah.
Lantas milik siapa rumah megah dan mewah dengan harga nan wah? Miliknya? Bukan, hanya hitungan jam bisa memasuki atau menikmati fasilitas didalamnya. Rumah itu sejatinya milik asisten rumah tangga. Mereka yang menempati dan mengurus rumah itu. Menghabiskan seluruh waktu di sana. Bukan Luna Anggita.
Luna selalu iri dengan mang Karya. Asisten rumah tangga yang menempati salah satu rumah megahnya. Mang Karya, istri dan anaknya yang sebaya dengan Luna tinggal di sana.
Mang Karya selalu tampak bahagia walau hanya mendapat receh dari hasil kerja kerasnya. Dapat tidur pulas hanya beralas tanah dan beratap langit, tertidur pulas di taman sehabis dibersihkan.
Kasur empuk dengan king size dan branded kalah nyaman dengan koran alas selonjoran. Susi, anak perempuan sebayanya juga tampak selalu menebar senyum di wajah. Padahal sahabatnya hanya pemulung dan anak sesama asisten rumah tangga sekitar komplek.
Berbeda dengan Luna semua orang yang dikenalnya adalah artis papan atas dan kru shooting yang menjadi idola masyarakat.
Seolah semua memandang hidupnya dikelilingi oleh orang yang super hebat dan sempurna. Luna malah selalu merasa jika hidupnya hanya sebatas barang perasan bagi manusia yang berkepentingan dan menjadikannya mesin pencetak uang. Lelah. Selalu merasa jadi budak, tak merdeka.
********
"Benar harus bed rest, Dok?" tanya mama Luna meyakinkan.
"Ya, minimal selama seminggu. Jika memungkinkan harus rawat inap di rumah sakit. Tapi ... "
"Tapi kenapa, dok?"
"Luna tak mau dirawat di rumah sakit. Bisa, sih, hanya dirawat di rumah saja. Tidak perlu peralatan medis juga, hanya mungkin memakan biaya lebih. Luna tak mau mencium bau rumah sakit dan merasakan suasana di sana. Katanya, trauma dengan rumah sakit. Almarhum Papanya lama di rawat di sana, jadi takut dengan suasananya," jelas dokter Kusuma.
KAMU SEDANG MEMBACA
KUMPULAN CERPEN ISLAMI
Cerita PendekCerita pendek tentang berbagai persoalan hidup. Berasal dari curhatan sahabat atau pengalaman hidup untuk memotivasi diri, pengingat diri. Catatan kecil tanpa ucapan next atau lanjut.