2. Siblings

19 2 4
                                    

"Apa kau yakin yang kemarin adalah dosen mu Lucy?" Tanya seseorang, ia menyenderkan bahu kirinya di pintu, "ia lebih cocok menjadi teman mu atau p--," belum sempat menyelesaikan kalimatnya itu sudah di bantah oleh Lucy.

"Oh kak, apa kau masih tak percaya dengan ku?" Tanyanya balik.

Gadis yang di panggil kakak itu pun hanya tertawa, "tapi aku serius, ia terlalu muda untuk menjadi seorang dosen."

"Entahlah mungkin ia awet muda," jawab Lucy sambil terkekeh pelan.

"Ahh .. sebaiknya aku kekamar ada tugas yang harus diselesaikan," ia berjalan keluar dari kamar Lucy.

"ATAU JANGAN-JANGAN KAU SUKA PADANYA CAMIE?" Teriak Lucy dari dalam kamar.

Camie hanya menggelengkan kepalanya mendengar pertanyaan adiknya itu, ia berjalan kearah kamar miliknya, tepat di depan pintu kamar, ia mendengar seseorang memanggil namanya dari belakang. Camie pun yang merasa bterpanggil langsung menoleh kearah sumber suara.

"Camie, nanti ibu akan pulang telat, jaga rumah dan adikmu baik-baik ya," seorang wanita yang menyebut dirinya 'ibu' menghampiri Camie yang masih berdiri di depan kamarnya, ia masih terlihat muda dan sulit di percaya bahwa ia sudah menjadi seorang ibu dari dua orang anak gadis.

"Baik bu, seperti biasa rumah akan aman terkendali," jawab Camie sambil berpose sebagai prajurit yang diperintah atasannya.

"Oke, ibu berangkat dulu, kalau ada sesuatu kabari ibu segera ya."

"Sip."

Camie langsung membuka pintu kamarnya dan masuk kedalam kamar, ia langsung duduk di kursi yang berada di depan meja belajarnya. Camie mengambil sebuah buku bersampul kulit berwarna coklat tua yang terlihat sangat kusam layaknya buku tua, ia membuka buku tersebut dan membuka setiap halaman yang ada.

"Ini dia," Camie tersenyum sumringah saat melihat isi dari halaman buku tersebut.

Tak lama setelah ia membuka dan membaca isi halaman tersebut, Camie mengangkat kedua tangannya sejajar dengan buku tua tersebut, kemudian ia mengucap kan mantra-mantra yang ada di buku tersebut.

Cahaya putih bersinar di sekeliling rumah Camie membentuk pelindung tak kasat mata, Camie masih mengucapkan mantra yang ada di buku, setelah pelindung itu sudah terbentuk dengan sempurna, ia berhenti mengucapkan mantranya dan tersenyum penuh kemenangan.

Ia menaruh kembali buku tua itu kedalam rak buku, ia tak tahu harus melakukan apa lagi karena semua tugasnya sudah selesai.

"Mengerjakan pekerjaan rumah? Clear, membuat pelindung rumah? Itu baru saja ku kerjakan," Camie mendengus pasrah ia merasa bosan, tiba-tiba ia teringat sesuatu, "ah aku ingat," ia memukul kepalan tangan kanannya ke telapak tangan kirinya.

Camie langsung menghampiri meja belajarnya lagi dan membuka laptopnya, ia mengetikkan sesuatu di keyboard laptopnya.

"Benar dugaan ku," Camie menatap lekat-lekat ke arah layar laptop, "semuanya sama,berarti ... Lucy akan berada dalam bahaya kalau tetap sekola--"

"Apanya yang bahaya? Apanya yang sama? Dan kenapa aku akan berada dalam bahaya?" Tanya Lucy bertubi-tubi.

"Aa-tidak, everything is fine Lucy," Camie reflek menutup laptopnya, dan itu berhasil membuat Lucy curiga.

"Apa yang sedang kau kerjakan?" Lucy mengangkat sebelah alisnya.

"Ini hanya..."

"Hanya?"

"I-ini hanya ... t-tugas kuliah," jawab Camie gelagapan, "ah ngomong-ngomong ngapain kamu kekamarku?" Tanya Camie mengalihkan topik pembicaraan.

"Yaa...tadinya aku bosan dan aku pikir kau juga merasakan hal yang sama, jadi aku ke sini," jawab Lucy.

The DavinsonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang