Prolog

546 20 0
                                    

Vey berangkat sore ini. Lo tahu kemana harus mencari Vey kalau lo ingin dia tetap tinggal.

Tangan dan jari-jari Tata bergetar. Dia tahu, begitu pesan itu terkirim dan dibaca oleh Adam, maka ia sempurna telah melanggar janjinya pada Vey. Tapi Tata juga tahu, yang ia lakukan ini adalah yang terbaik untuk Vey, untuk Adam, untuk Ara, dan untuk persahabatan mereka.

"Ta, lo lagi ngapain? Mukanya kenapa tegang banget, sih?"

Bahkan suara Vey saja sukses membuatnya terkejut.

"Vey, kenapa lo nggak ketuk pintu dulu? Gue kan jadi kaget," Tata memberengut.

Dahi Vey berkerut. "Kamar ini kan kamar gue, Ta. Ngapain pakai ketuk-ketuk segala? Emangnya ini kamar lo?"

"Sewot aja lo..."

"Lo yang bikin gue sewot!"

"Gue bakal kangen berantem kayak gini sama lo," kata-kata itu meluncur bebas dari mulut Tata.

"Ta, jangan gini, ah! Kayak gue pergi jauh aja..."

"Emang jauh, kan?"

"Cuma Yogya, Ta. Liburan gue juga bakalan ke sini atau lo bisa datang ke sana," Vey meyakinkan.

"Pas lo masih di sini, lo emang bisa bilang begitu. Tebar janji ke gue. Tapi nanti, pas lo udah nyaman di sana, lo bakal lupa sama gue, sama Adam, sama Ara. Sama kita semua..." Tetes pertama air mata Tata jatuh dan mengalir di pipinya.

Vey menarik napas. Tata harusnya tahu, semua ini juga sulit bagi Vey.

"Ta, kita udah sering bicarain ini. Tujuan gue akhirnya memutuskan pindah itu memang untuk lupain Adam, lebih tepatnya lupain perasaan gue ke dia. Juga untuk lupain rasa bersalah gue ke Ara. Gue nggak akan lupa sama lo. Gue nggak akan lupa persahabatan kita. Lo tenang aja..."

Tata meraih tangan Vey.

"Gimana gue bisa tenang, Vey. Gue ini sedih. Gue akan segera kehilangan. Selama ini kan gue paling dekat sama lo."

"Ta, gue emang pindah, tapi sebenarnya gue tetap ada di sini. Lo bisa telpon gue, kapanpun lo mau."

Tok... Tok... Tok...

"Vey..."

Itu suara ibu Vey.

"Iya, Bu. Sebentar," sahut Vey.

Vey segera membuka pintu kamarnya.

"Vey, di bawah ada Adam. Mau bicara, katanya," ucap ibu Vey.

Wajah Vey tampak keberatan.

"Ibu kan tahu, Vey nggak bisa ketemu dia. Ibu bilang aja, Vey lagi sibuk beberes, gitu," kata Vey.

Ibunya menyentuh pundak Vey.

"Temui Adam sebentar saja, ya?" Ibunya tersenyum.

Kalau sudah begitu, Vey tidak bisa lagi menolak permintaan ibunya. Ia hanya perlu bersiap air matanya akan luruh kapan saja. Dan dengan berat hati, Vey menemui Adam.

"Hai, Vey." Dengarlah, sapaan Adam bahkan terdengar amat kaku.

Vey tersenyum, ia sedang mencoba bersikap santai. "Hai. Ada apa ke sini?"

"Gue denger, lo mau pindah ke Yogya, bener?" tanya Adam.

Vey memutuskan duduk di seberang Adam. Wajah di hadapannya itu tampak lelah, tidak secerah biasanya. Ternyata sosok paling humoris yang selama ini ia kenal bisa selelah ini juga.

Vey mengangguk.

"Bareng nyokap bokap lo juga?"

Vey mengangguk lagi.

"Bukannya lo bilang lo bakalan tetap tinggal di sini, ya?"

Kali ini Vey terdiam. "Iya, dulu gue pikir baiknya begitu."

"Gue berubah pikiran, Dam. Kayaknya lebih baik gue ikut ayah dan ibu. Di sini sendirian rasanya terlalu sepi dan menyeramkan," kata Vey dengan lirih.

Sepi dan menyeramkan apanya? Toh, setiap hari akan ada Tata yang membuat rumahnya terasa ramai dan menyenangkan.

"Dasar bocah..." Adam terkekeh.

"Lo jahat!" Vey melemparkan batu kecil di dalam vas bunga ke arah Adam, tapi lemparannya meleset.

Kekehan Adam berhenti. Wajah lelahnya muncul lagi.

"Tetap tinggal ya, Vey. Di sini. Jangan pernah pergi, bisa?" Suara Adam terdengar lirih. Mungkin sulit baginya menyuarakan pertanyaan itu, tapi dia merasa harus.

"Seandainya gue nggak pernah jatuh cinta sama lo, Dam, gue yakin semua akan baik-baik aja. Gue akan tetap di sini, tanpa air mata, dan tentu saja bersama lo, Tata, dan Ara." Vey pun menangis sambil memeluk Adam.

Tidak ada lagi yang akan membuat Vey memilih menetap. Pergi adalah keinginannya sendiri. Sedangkan waktu bersama sahabat-sahabatnya adalah sesuatu yang harus ia korbankan.

🍩🍩🍩

Rasa Yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang