Bandara dan Perpisahan

59 5 0
                                    

"Lo serius balik hari ini, Kak?"

Rambu terkekeh pelan, "ini udah ketiga kalinya lo nanya hal yang sama, Vey, dan jawaban gue nggak akan berubah. Kerjaan gue di Jakarta masih banyak, meskipun gue pengen banget nambah sehari lagi di sini," jelas Rambu.

"Padahal gue bakal seneng banget kalau bisa ke Malioboro lagi sore ini, bukannya naik taksi ke bandara begini..." keluh Vey.

Rambu menggeser posisi duduknya, berusaha membuat dirinya nyaman. "Ngomong-ngomong, bentar lagi lo daftar kuliah kan?" Laki-laki itu mengalihkan pembicaraan.

Vey menatap Rambu sekejap, kemudian mengangguk.

"Mau kuliah dimana rencananya?" tanya Rambu.

"UI," Vey menarik napas, "atau mungkin UGM," sambungnya.

Rambu mengangkat sebelah alisnya, "kayaknya lo masih ragu. Kenapa?"

"Sebenarnya UI itu impian gue sejak SMP, Kak. Nggak tau sih kenapa, tapi gue pengeeen banget kuliah di sana," Vey sampai menutup matanya untuk menunjukkan betapa besar keinginannya melanjutkan studi di salah satu universitas terbaik di Indonesia itu, "tapi belakangan UGM tiba-tiba muncul di benak gue, Kak. Ah... Sumpah! Demi apa, Yogya benar-benar membuat gue jatuh sedalam-dalamnya..." Vey bahkan hampir menjerit.

"Lo harus pikirin baik-baik, pertimbangkan matang-matang. Dua-duanya sama-sama pilihan bagus, Vey. Gue tunggu kabar baik dari lo." Rambu mengukir senyum di akhir kalimatnya.

Vey balas tersenyum.

"O iya, nanti teman lo itu jadi jemput lo di bandara, kan?" Rambu teringat sesuatu itu.

"Hm... Sebenarnya Indi nggak bisa jemput gue, Kak," ujar Vey.

"Lho? Terus nanti lo baliknya gimana?" Raut wajah Rambu benar-benar terlihat khawatir sekarang.

"Indi minta Aksa yang jemput," jelas Vey sekenanya.

"Pacarnya?" tanya Rambu.

Vey mengangguk.

"Kayaknya lo keberatan. Kenapa?"

"Lo kenapa bawel banget sih, Kak?" Vey jengkel. Cewek itu memalingkan wajahnya.

"Cerita Vey, perjalanan kita masih lama, kok!" Rambu meraih tangan Vey yang bebas.

Vey menggeleng, "kayaknya nggak ada yang harus gue ceritain ke lo. Kayaknya lagi, lo udah tau apa isi pikiran gue..."

Rambu menaruh telapak tangannya di puncak kepala Vey dan mengacak rambut cewek itu, "semua tergantung sama lo, Vey. Lo nggak bisa terus-terusan lari dan menghindar dari masalah. Mereka akan istirahat sebentar, kemudian kembali mengejar lo, kemanapun lo pergi. Lihat, sekarang lo terjebak lagi dalam masalah yang sama. Dulu, Adam satu-satunya cowok dalam pertemanan kalian dan lo dengan teman lo menyukai dia. Sekarang, pacar teman baru lo yang lo khawatirkan akan membawa lo kembali ke dalam segitiga setan itu. Selesaikan, Vey! Itu satu-satunya cara. Seandainya nanti semua yang lo takutkan itu jadi kenyataan, maka lo harus menyelesaikannya. Lo udah dewasa, lo bukan lagi anak TK yang cuma bisa nurut keputusan papa mama, lo sekarang sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, pilih jalan keluar yang membuat semua pihak bahagia. Jangan lagi membuat keputusan yang akan membuat lo sengsara, cukup ini yang terakhir. Cukup keputusan lo pergi jauh ke Yogya ini aja, Vey. Gue nggak mau ada lagi keputusan konyol yang merenggut kebahagiaan lo. Ngerti, kan?" Rambu menangkup wajah mungil Vey.

Vey pelan-pelan mengangguk. "Iya, gue ngerti," ujarnya.

Rambu menebas jarak dan sekarang Vey benar-benar bisa merasakan hembusan napas editor naskahnya itu. Pikiran cewek itu berkecamuk, sehingga yang bisa ia lakukan hanya menutup mata. Entahlah Rambu akan menganggapnya sebagai apa. Sepersekian detik selanjutnya, Vey merasakan Rambu mengecup dahinya, sekejap saja.

Rasa Yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang