"Aku ke kelas dulu, ya." ucap Lian saat kami sampai di depan kelasku.
Pagi ini aku berangkat bersama Lian sebab ia tidak ada jam tambahan. Aku memasuki kelas dan duduk di bangkuku. Dahiku berkerut melihat kotak berukuran sedang tergeletak di mejaku. Aku bertanya pada manusia-manusia yang ada di kelas. Tidak ada satupun yang tahu ini kotak milik siapa dan apa isinya.
Perlahan tanganku membuka kotak tersebut. Namun kuurungkan ketika melihat Bu Nancy berjalan memasuki kelas.
"Good morning everybody." sapanya dengan senyuman hangat.
Bibirnya yang tebal dipoles dengan gincu merah, membuat iya nampak dewasa. Walaupun memang sebenarnya dia masih kekanak-kanakan. Bu Nancy termasuk guru muda di sekolah. Usianya kira-kira baru 25 tahun. Penampilannya yang menurutku vulgar membuat banyak siswa selalu menggodanya.
2 jam berlalu. Rasanya hari ini Bahasa Inggris begitu membosankan. Kepalaku masih belum mampu menerima materi karena rasa sakit kemarin masih ada.
Bu Nancy berjalan keluar dengan langkah perlahan. Suara high heels yang ia kenakan terdengar begitu jelas di telingaku. Aku melirik kotak yang kusimpan tadi.
"Buka gak, ya?" Batinku.
"Ranti," panggil seseorang.
"Eh, iya?" Aku sedikit terbelalak.
"Ayo ke kantin." Ajak Zulfa.
"Eee... boleh."
Aku bangkit dari bangku dan berjalan bersama Zulfa menuju kantin. Ia memilih bangku di tengah-tengah. Ia menyuruhku duduk.
"Kamu mau pesan apa?"
"Emmm es jeruk, aja." Jawabku.
"Ok, tunggu sebentar ya." Zulfa kemudian memesan es jeruk dan beberapa makanan.
Aku memperhatikan sekeliling kantin. Kulihat keadaan lebih baik dari kemarin. Tidak ada tatapan sinis. Pembicaraan buruk tentang aku. Dan ucapan-ucapan kotor yang penggemar Jingga lontarkan padaku.
Tiba-tiba seorang laki-laki duduk di hadapanku. Senyumnya mengembang, matanya sedikit menyipit.
"Hey!" Sapanya.
Aku diam. Menatapnya dengan tatapan yang seharusnya dia tahu kalau aku tidak menginginkan kehadirannya. Pergi! Pergi! Pergi!
Tangannya tiba-tiba mengusap rambutku dengan lembut.
"Maaf, Jingga. Aku tidak suka diperlakukan seperti itu." Ucapku dengan amarah yang sangat kutahan.
"Tapi aku suka." Balasnya lalu sedikit tertawa.
"Aku tidak!" Mulai kutekankan suaraku.
"Dasar cewek kegatelan!" Seru seseorang.
Aku yakin itu adalah suara penggemar Jingga.
"Kau dengar?" Tanyaku pada Jingga.
"Dengar."
"Kau mau aku dibakar hidup-hidup oleh para penggemarmu?"
"Tidak. Kau aman denganku."
"Kau benar-benar tidak waras!" Emosiku meledak.
Aku berdiri kemudian berjalan cepat untuk meghindari Jingga. Menyusuri koridor menuju kelasku. Namun kulihat Veronica berdiri tepat di depan kelasku, bersama beberapa perempuan yang sepertinya juga penggemar Jingga. Aku berhenti, mematung di tengah jalan.
"Hey, Ranti! Mau kemana?!" Teriakan Veronica membuat aku lemas.
Aku berlari sekuat tenagaku untuk menghindari Veronica. Sudah 2 kali aku memutari sekolah dan akhirnya dia mendapatkan aku. Veronica dan beberapa perempuan itu menyeret paksa aku menuju lorong dekat gudang yang gelap. Kemudian membanting tubuhku ke dinding.
KAMU SEDANG MEMBACA
Membunuh Logika
FantasySebuah cerita tentang semua hal yang tidak dapat dicerna dengan logika. Rebah tubuhmu, ambil cemilan, dan baca cerita ini hingga fantasimu meliar.