Pagi itu ketika embun pagi masih menyelimuti dedaunan, aku berjalan menyusuri jalan menuju ke sekolah. Sendirian. Dengan langkah yang sangat santai aku berjalan.
Aku melihat seorang laki-laki di seberang jalan, ia mengenakan seragam yang sama denganku. Tapi aku belum pernah melihat laki-laki itu di sekolah. Wajahnya asing. Apa mungkin dia murid baru? Dari mana asalnya?
Aku kemudian berhenti sejenak di warung Bu Suli untuk membeli sebotol air. Dan memperhatikan laki-laki itu. Setelah membayar, aku duduk di bangku panjang yang ada di depan warung. Laki-laki itu nampak berbincang-bincang dengan ibu pengemis tua. Entah apa yang mereka bicarakan, kadang suaranya terdengar sampai ke telingaku meski samar.
"Ini untukmu, bu." Kata laki-laki itu sambil menyodorkan bekal makannya.
"Terima kasih, nak." Pengemis itu menerimanya dengan mata yang berbinar.
Laki-laki itu tersenyum. "Mengapa ibu disini? Dimana rumah ibu? Biar aku antar." Katanya lagi.
Beberapa kalimat mulai bisa ku dengar.
"Aku tidak punya rumah."
Tiba-tiba raut wajah laki-laki itu berubah. "Lantas dimana suami ibu?" Lanjutnya.
"Entah," mata pengemis itu mulai berkaca-kaca. "Dulu aku anak orang kaya. Hartaku lebih dari cukup untuk hidup sampai aku mati. Namun ketika orang tuaku mati, ternyata mereka meninggalkan hutang yang membuat rumah dan aset berharga milikku harus disita."
Laki-laki itu masih terus menyimak kata demi kata yang keluar dari bibir hitam si pengemis.
"Suamiku bilang, dia mau pulang ke kotanya untuk melihat keadaan rumah disana, siapa tahu bisa kami tempati itu hidup. Tapi kenyataannya sampai sekarang dia tidak kembali. Sudah bertahun-tahun dia meninggalkan aku." Sambung pengemis itu dengan air mata yang tak mampu ia bendung.
"Bu, maaf jika aku menyakitimu." Ucap laki-laki itu dengan wajah penuh rasa bersalah.
"Tidak. Kau anak baik. Terima kasih telah mau mendengar ceritaku." Balas pengemis itu sambil menyeka air matanya.
"Tinggallah di warung itu." Sambil menunjuk warung Bu Suli. "Sepulang sekolah nanti aku akan menjemputmu. Ibu boleh tinggal di rumahku. Aku tinggal bersama nenekku, nenek pasti akan senang jika punya teman."
"Tidak, nak."
"Bu, izinkan aku berbuat baik untukmu." pinta lelaki itu.
Kemudian lak-laki itu bangkit, menuntun pengemis itu menuju warung Bu Suli. Aku mendadak gugup dan mencoba pura-pura memilih makanan agar ia tak sadar bahwa sedari tadi aku memperhatikannya. Ia bicara beberapa patah kata kemudian pergi mengendarai skuter birunya yang manis.
Aku menghela napas lega.
"Itu tadi anak baru ya, neng?" Tanya Bu Suli membuat aku terbelalak.
"Ih, Bu Suli." Balasku dengan nada yang sedikit meninggi.
"Aduh, maaf neng."
"Gak apa-apa. Maaf, aku tadi agak ngelamun." Balasku. "Aku ke sekolah dulu ya, bu."
Aku bangkit dari tempat duduk. Dari jarak 200 meter aku melihat Pak Subarjo (satpam sekolah) perlahan menutup gerbang sambil berteriak keras menyuruh murid-murid untuk segera masuk. Aku bergegas menuju gerbang dengan tenagaku ya baru ku isi dengan sebotol air tadi.
Namun tiba-tiba,
BRAAKKK!!!
Seseorang menabrakku hingga kakiku terkilir.
"Eh, maaf." Suaranya terdengar samar. Kulihat dia terus berlari agar sampai sebelum gerbang ditutup.
"Bukannya ditolongin." Gerutuku.
Aku mencoba berdiri dengan berpegangan pada pohon yang ada di samping jalan. Rasanya sangat sakit. Langkah demi langkah aku berjalan. Namun rasanya kakiku sudah benar-benar tidak sanggup menopang beban tubuhku.
Secara tiba-tiba seseorang merangkul aku. Ia tersenyum padaku. Laki-laki bertubuh tinggi itu membantu aku berjalan. Matanya kecoklatan. Dia tampan dan tidak ada yang bisa menolak dia sebab senyum manisnya.
Dia Jingga. Andrian Jingga Pambudi. Laki-laki paling tampan di sekolah. Kapten team basket di sekolah. Semua perempuan mungkin suka padanya. Termasuk Bu Nancy, guru Bahasa Inggris. Sudah bertahun-tahun dia selalu saja mengejar-ngejar Jingga. Tapi tidak denganku. Buatku Jingga tampan dan baik, tapi aku sama sekali tidak tertarik dengannya. Buatku hanya butuh satu kata untuk mendeskripsikannya-agresif.
"Biar aku bantu." Katanya manis.
"Tidak, Jingga. Aku bisa sendiri." Balasku dengan senyum yang sebenarnya sangat terpaksa ini.
"Pak Subarjo pasti akan menghukummu kalau kau terlambat."
"Dia pasti juga akan menghukummu." aku mulai berani.
Jingga tertawa kecil. "Tidak. Percayalah."
Buat apa aku percaya padamu! Omelku dalam hati.
"Ayo, biar kubantu kau berjalan." Ucap Jingga sambil memapahku menuju gerbang sekolah.
Dengan santainya ia melewati gerbang sekolah. Kemudian ia menyapa Pak Subarjo dengan senyum dan tawanya yang khas. Bagaiamana bisa dia terlambat tapi tidak dihukum? Ah, pasti dia pakai sogokan!
"Apa kubilang. Kita tidak akan dihukum." Bisiknya tepat di telingaku.
Jingga terus memapah aku melewati sepanjang koridor. Nampak banyak siswa yang sedang berolahraga di lapangan. Mereka semua melihatku dengan tatapan yang mengintimidasi. Bahkan beberapa rela menintip keluar jendela untuk melihat Jingga memapahku. Telingaku menangkap beberapa kalimat yang sangat membuat telingaku panas.
"Dasar cewek kegatelan!"
"Ih, kok Jingga sama dia."
"Pasti dia cuma cari sensasi!"
Dan bla bla bla!
Sebentar lagi aku akan jadi bahan bully-an fans-fans Jingga. Dasar gila! Jingga pasti memang sengaja membuat aku jadi makanan fansnya.
Aku mencoba menyingkirkan tangan Jingga yang masih merangkulku. Dia menatapku heran.
"Sudah, sampai sini saja. Kelasku sudah dekat." Kataku singkat.
"Kau yakin?"
"Iya, yakin. Terima kasih." Balasku dengan senyum tipis.
Aku melihat laki-laki itu, laki-laki tadi pagi. Duduk di depan kelasku sambil memegangi kemoceng bulu. Ia nampak menghitung jumlah bulu yang menempel pada kemoceng tersebut. Helai demi helai dihitungnya. Tiba di helai terkhir ia meniup kemoceng itu perlahan. Mataku tiba-tiba saja melebar melihat bulu-bulu kemoceng itu berterbangan.
Bagaimana bisa dia melakukannya? Apa jangan-jangan dia pesulap? Mungkin memang bulu-bulu itu memang tidak menempel sempurna. Tapi apa benar tadi dia meniupnya? Mendadak aku begitu penasaran dengan laki-laki itu.
"Ranti?" Panggil Jingga yang sedari tadi masih berdiri di depanku.
"I...iya?"
"Aku masuk ke kelas dulu, ya?"
"Iya." Balasku dengan mata yang masih tertuju pada laki-laki itu.
Aku berjalan dengan kaki pincang. Laki-laki itu diam saja. Sama sekali tidak melirikku. Ia masih fokus dengan kemocengnya. Aku masuk kelas dengan santai. Aman. Belum ada guru.
Aku duduk di bangku nomor 2. Kemudian mengeluarkan beberapa buku pelajaran yang setiap malam selalu kubaca, sampai aku bosan. Atau bahkan aku bisa gila karena selalu menjejali otakku dengan banyak materi. Beberapa temanku nampak lelah dan lesu. Bukan fisiknya, tapi otaknya. Mata mereka nampak berkantung seperti kanguru. Mungkin juga di dalam kantung mata mereka ada anak kanguru.
Tidak. Aku hanya bercanda, hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Membunuh Logika
FantasySebuah cerita tentang semua hal yang tidak dapat dicerna dengan logika. Rebah tubuhmu, ambil cemilan, dan baca cerita ini hingga fantasimu meliar.