Hari ini hari libur. Pagi-pagi sekali aku sudah harus bangun untuk belanja sayuran ke pasar. Aku membuka mata, kemudian duduk di tepi ranjang. Memicingkan mataku sejenak. Tetiba sebuah bayangan hitam terbentuk di jendela kamarku.
Aku medekat, membuka jendela, dan mencari-cari siapa itu.
"Tck,"
Aku berderap menuju dapur dan mengambil kantong keresek untuk wadah sayuran.
"Ini yang harus kau beli, Ranti." Kata Bude Sarah sambil menyerahkan secarik kertas.
"Hanya ini, Bude? Ada lagi yang harus dibeli?" Tanyaku manis.
"Tidak. Hanya itu."
Aku mengangguk kemudian berlalu.
Jalanan pagi ini tak begitu ramai. Banyak manusia lalu-lalang membuat kepalaku pening. Aku memang suka keramaian, tapi bukan pasar.
Di seberang sana nampak wanita tua tergopoh membawa belanjaannya. Beberapa kuli panggul bisa saja menabraknya kalau saja mereka tak hati-hati. Dan,
BRUK!
Wanita itu tak sengaja menabrak pedagang sayuran yang juga terburu-buru.
"Piye to, bu?"
Bukannya meminta maaf atau membantu membereskan belanjaan, pedagang itu malah memaki wanita tua itu. Aku berlari kecil menghampiri wanita tua itu. Dengan cekat aku punguti sayuran lalu kumasukan kedalam wadahnya.
"Ini, bu." Kusodorkan sayurannya sambil tersenyum.
Ia balas tersenyum. Garis garis wajahnya berkerut menampakkan wajahnya yang telah dipenuhi keriput. Wanita ini sudah sangat tua, tapi buatku ia masih sangat cantik.
"Terima kasih, nak."
Manik hitamnya yang berkilau membuat jantungku tersentak.
'Wanita ini benar-benar cantik.' batinku.
"Mau aku antar cari becak, bu?" tawarku.
"Terima kasih, nak. Tapi aku sudah dijemput cucuku." wanita itu memegang pergelangan tanganku.
"Kau cantik sekali, nak." katanya lagi.
Tiba-tiba saja lengkungan itu terbentuk. Lengkungan kesukaanku; senyum.
Wanita tua itu berlalu meninggalkan aku. Langkahnya memang nampak berat. Ya, karena dia sudah tua.
Aku melanjutkan pekerjaanku untuk berbelanja sayuran. Hanya beberapa wortel, kentang, dan sawi untuk pagi ini. Mungkin Bude Sarah tidak akan masak banyak hari ini. Tak apa.
Usai belanja sayuran aku langsung saja pulang ke rumah. Menyusuri gang demi gang. Besar maupun kecil. Sampailah aku di sebuah gang sempit yang hanya selebar badan truk. Banyak anak kecil yang bermain pagi itu. Permainan-permainan sewaktu aku kecil masih saja dilestarikan.
Nampak bocah laki-laki kecil lari kecil tak beraturan. Mungkin suasana hatinya sedang sangat baik pagi ini. Sangat lucu, menggemaskan. Begitu aku menggambarkannya.
Suara motor menggema dari ujung gang. Semakin dekat. Melintas cepat di gang sempit ini sampai-sampai hampir menabrak bocah laki-laki itu.
Aku mengampirinya kemudian mendekapnya.
"Kau tak apa, dik?"
Ia mengangguk. Napasnya tak beraturan. Sepertinya ia masih kaget. Aku membawanya duduk di bangku yang ada di tepi jalan. Kuperiksa tubuhnya. Tak ada luka. Pandangannya kini kosong. Ia pasti benar-benar ketakutan.
Tetiba sebuah motor vespa berhenti tepat di depanku. Syahrir!
"Iwan," Syahrir memanggil nama bocah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Membunuh Logika
FantasySebuah cerita tentang semua hal yang tidak dapat dicerna dengan logika. Rebah tubuhmu, ambil cemilan, dan baca cerita ini hingga fantasimu meliar.