[5]

11 0 0
                                    

Upacara bendera, hari senin. Di bawah teriknya matahari pagi aku berdiri. Di tengah kerumunan manusia yang tak banyak aku kenal. Beberapa guru mulai mengatur kami untuk segera baris dengan rapih.

"Cepat baris kalau ingin cepat selesai!"

Kalimat yang setiap hari senin kudengar. Turuti sajalah apa yang guru-guru katakan. Jangan menetang.

Kumainkan bola mataku. Perlahan mencari sebuah raga yang akhir-akhir ini muncul di mimpiku. Cukup lama kucari, tapi tak berhasil. Dimana dia?

"Mencari aku?"

Tiba-tiba suaranya terdengar. Aku tersipu tanpa menoleh ke belakang. Zulfa yang tadinya berdiri tepat di samping kananku sekarang berpindah entah kemana. Aku tetap menguasai diri dan tetap melakukan instruksi yang keluar dari mulut Pak Joko-Guru Bahasa Indonesia.

Tiba-tiba seseorang berdiri di sampingku. Menghalangi sinar mentari yang sebelumnya sedikit menyengat kulitku. Aku tidak menoleh, masa bodoh dengan semua ini. Sampai akhirnya aku merasakan seseorang menggenggamkan tangannya padaku. Sontak aku menoleh dan keterkejutan menghamburiku.

"Jingga." Ucapku tanpa suara.

Jingga tersenyum. Masih menggenggam, malah lebih erat. Aku menatapnya dengan marah seakan aku adalah kobaran api yang siap melahap Jingga. Tapi semuanya reda seraya hujan turun membasahi lapangan sekolah. Semuanya murid lari tak beraturan mencari tempat untuk berteduh. Memang hujannya cukup deras, dan aku bersyukur bisa lari dari laki-laki kebanggaan gadis sekolah.

Aku beranjak menuju kamar mandi. Melewati lorong-lorong sempit dan licin yang jika tidak hati-hati akan terpeleset. Membuka keran air dan membersihkan wajah yang nampak sedikit kusam. Terdengar seseorang berdeham dari dalam bilik kamar mandi. Satu persatu keran air terbuka, suara air yang menyerang bak nampak begitu bergemuruh. Aku menutup keran air di wastafel, dengan jantung berdebar mulai berlari kecil keluar kamar mandi. Tapi pintu dengan tiba-tiba terkunci rapat. Empat pintu bilik kamar mandi terbuka dengan air yang tetap mengucur deras. Muncul Veronica dan tiga dayangnya, wajah mereka bak kucing yang siap pesta besar sambil menyantap tikus panggang.

"Mau kemana?" Tanya Veronica manis dan seraya mendekatkan wajahnya padaku.

"Mau keluar." Kataku.

Aku sudah terpojok di tepi wastafel. Ingin teriak tapi aku tahu tak akan ada yang mendengarku. Suara kecilku akan kalah dengan suara hujan lebat di luar yang dikomposisikan dengan kucuran empat keran air.

"Tidak bisa. Karena pintunya sudah dikunci." Ucapnya diikuti tawa dayang-dayangnya.

"Kau mau apa, Veronica?!" Tanyaku dengan seluruh keberanianku.

"Aku punya penawaran menarik untukmu." Katanya sembari memegang daguku agar wajahku nampak.

"Kau jauhi Jingga atau mati disini?" Sambungnya.

"Dengar! Aku sama sekali tidak pernah mendekati Jingga. Bahkan aku tidak pernah meminta dia untuk mendekatiku!" Kataku.

Veronica sontak menamparku lalu meremas kerah seragamku. Wajahku terlempar ke arah kanan. Temannya yang berambut pirang menjambak rambutku untuk menghadapkan wajahku ke Veronica.

"Kau akan mati hari ini perempuan jalang!" Pekik Veronica.

Dua orang temannya memegangi tanganku, yang berambut pirang masih terus menjambak rambutku. Veronica brutal menampar kedua pipiku berulang-ulang. Aku pasrah saja, tidak bisa bergerak pun tak bisa teriak. Kancing bajuku berceceran, sekarang yang aku kenakan tak lagi mirip seragam. Ia mulai lagi dengan memukul dada dan perutku. Sesak rasanya, aku ingin bilang cukup namun bibirku sudah tak mampu berkata. Berulang dan terus menerus pukulan mereka menghujani tubuhku. Sampai di akhir Veronica berhenti sejenak dan menatap aku yang sangat berantakan.

"Selamat beristirahat jalang!"

Kemudian ia mencekik leherku pelan, wajahku begitu bahagia. Aku pasrah. Siap menerima jika ini adalah hari kematianku. Aku memejamkan mata. Tapi telingaku menangkap suara dari luar pintu.

"Pak, ini kenapa kok keluar banyak air dari kamar mandi?" Tanya seseorang.

Aku baru sadar jika air kamar mandi sudah menenggelamkan pergelangan kakiku.

"Kamu ngapain disini?" Aku tahu ini suara Pak Subarjo.

"Pak Subarjo!" Pekik seorang teman Veronica.

Veronica dan para dayangnya bergegas keluar. Meninggalkan aku yang terkapar di lantai kamar mandi. Bajuku basah kuyup oleh air bak yang mulai memerah terkena darah. Aku masih sadar dan masih mendengar suara mereka. Namun tak mampu berbuat apa-apa. Seseorang masuk dan nampak sangat terkejut.

"Ranti!"

Ia mendudukkanku. Sejenak membetulkan pakaianku yang tak pantas di pandang orang, ia menutup dada dan membenarkan posisi rokku. Tangannya terasa begitu dingin. Mataku samar-samar dapat melihatnya.

"Syahrir," gumamku.

"Iya, ini aku. Aku harap kau kuat, Ranti." Katanya sembari membopongku.

Aku tak tahu di bawa kemana. Hanya bisa mendengar hiruk-pikuk yang menyumpal lubang telingaku. Entah setelah itu apa yang terjadi. Rasanya seluruh tubuhku begitu sakit meski tak bergerak sedikitpun.

Veronica mungkin sedang dihukum mati-matian oleh Pak Subarjo. Jika ketahuan. Tapi jika tidak, mungkin kejadian ini akan berulang atau bahkan lebih parah.

Perlahan aku merasakan sentuhan di lengan kananku. Aku mencoba membuka mata namun berat. Tapi masih kucoba lagi dan lagi. Sampai akhirnya nampak gambaran laki-laki yang sama. Aku memicingkan mataku sejenak. Memejamkan sekali lagi dan agak lama kemudian kubuka lagi. Beruang itu berdiri di belakang tubuh Syahrir.

"Ranti." Ucap Syahrir dengan wajah khawatir.

Pandanganku belum begitu jelas tapi dengan cepat sesuatu mendesak masuk ke dalam dadaku. Rasanya sangat sakit hingga tak bisa aku gambarkan. Jauh lebih sakit dari tamparan dan pukulan Veronica. Semakin lama semakin panas seakan merontokkan susunan tulang rusukku yang berjajar rapi. Aku mencengkram kuat-kuat tepi ranjang dan berteriak namun anehnya suaraku tak muncul. Pandanganku mulai jernih detik itu, memandang Syahrir yang nampak seribu kali lebih khawatir dari sebelumnya. Aku mengisyaratkan padanya untuk segera menolongku. Beruang itu memberikan sesuatu padanya, dan Syahrir dengan cepat menggenggamkan tangannya bersama dengan bongkahan batu kecil berwarna hijau tadi.

Rasa panas dan perihnya mulai berkurang. Namun seseorang seakan berusaha keras mencabut nyawaku dari atas ubun-ubunku. Genggaman tangan Syahrir menguat ketika rasa sakitku makin dahsyat. Tubuhku rasanya melayang-layang tak beraturan. Namun Syahrir dengan kuat mendekap tubuhku tanpa melepas genggamannya. Di detik berikutnya seisi ruangan seakan terhempas keras. Tubuhku berangsur mendingin dan mulai waras lagi.

Aku membelalak. Napasku termengah-mengah. Kulirik Syahrir, keringatnya bercucuran.

"Kau baik?" Tanyanya sambil memegang keningku.

Ia melepas genggamannya. Tangannya nampak menghijau karena serpihan batu hijau yang kami genggam tadi. Entah itu batu apa, aku tidak tahu. Tapi nampak sangat cantik dan berkilau.

Aku mengangguk lemas untuk membalas pertanyaan Syahrir. Ia membuang napas lega kemudian diakhiri dengan senyuman termanisnya. Karena tidak mau ketinggalan, aku pun menyusul senyumnya.

Aku melihat bayang-bayang itu di jendela. Laki-laki tinggi bertubuh tegap. Wajahnya tak nampak jelas, hanya sekilas namun posturnya cukup jelas. Syahrir mengangkat alisnya, isyarat bertanya 'Ada apa?'.

"Tidak apa." Ku akhiri dengan senyum.

"Nona," panggil beruang itu.

Aku menoleh. Beruang itu tersenyum dan berucap sedikit.

"Sebut namaku jika kau membutuhkanku. Aku pamit." Ucap beruang itu bersamaan dengan tubuhnya yang mulai memudar.

Syahrir menatapku lirih. Aku balik menatapnya dengan gumpalan air mata yang tiba-tiba mengalir bebas di pipiku.

"Aku tidak akan diam, Ranti." Katanya.





[Jangan lupa suport ay ayyy😂lanjut besok yakkk]

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 23, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Membunuh LogikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang