4 . 0

239 6 3
                                    

Aku ketiban sial lagi.

Pagi ini benar-benar menyebalkan. Saat petir mulai terdengar besahutan bersama rintik hujan yang semakin deras membanjiri kolongan tanah.

Aku mendesau kurang suka. Dengan rambut yang sama sekali belum disisir serta selembar roti menggelambir di antara bibirku.

"Makanya kalau disuruh bangun jangan mengelak." Mama yang menegurku sudah lebih dari puluhan pagi ini benar-benar membawa kekesalanku ke puncak ubun-ubun.

Tidak, kepalaku malah makin pusing kalau begitu.

Sehingga aku memejam untuk menetralkan rasa tidak enak di badanku, "Ma, bukannya aku berniat malas-malasan tapi sepertinya aku terserang demam," aku dengan suara parauku jujur ke mama yang sekarang berhenti dari kegiatan membilas pantat panci.

Dengan kedua mata lebarnya, mama menginvasi setiap ujung tubuhku. Mama nampak melepas sarung tangan karetnya dan berjalan mendekat. Mendudukkan diri di kursi samping dengan tangan menempel pas di dahiku.

"Oh, memang sakit sungguhan." mama benar-benar sesuatu.

Lantas memulai dengan mencari obat penurun demam dan menyerahkannya padaku. Hingga aku meminumnya dan diminta untuk beristirahat kembali di kamar.

"Mama akan menitip surat izin sakitmu ke sekolah pada Junho nanti."

"Kenapa harus ke Junho, ma? Jangan Junho." aku dengan sisa tenaga menentang.

Junho dilarang tahu kalau aku sakit hari ini.

"Memang kenapa? Hujan begini, yang memungkinkan untuk membawakan suratmu tentu saja Junho. Mama sedang sibuk, tidak akan sempat ke sekolahmu. Junho kan hanya tinggal di samping rumah, jadi lebih mudah."

"Apapun alasannya jangan Junho, ma."

"Memangnya kenapa? Sejak kecil juga bersama setiap saat."

"Junho sibㅡ"

Sayang, aku malah tak sadarkan diri.

Begitu aku kembali membuka mata pening menyergap kewarasanku secara kuat. Mendorong diriku untuk mengerang sedikit hingga aku sadar kalau Junho sudah tiduran di sampingku dengan badannya yang terkatung-katung di ujung kasur.

"Kau membolos?" kalimat pertamaku padanya menghakimi secara cuma-cuma.

Tapi Junho malah terkikih. Memainkan jemarinya pada pipiku yang mungkin masih sepanas tadi pagi, aku pingsan berapa jam ya?

"Aku tidak rela dimusuhi Kakak seminggu lebih hanya karena satu hal seperti ini."

Giliran aku mendengus mendengar penuturannya. Aku berpindah waktu Junho merentangkan tangan menawari pelukan.

"Jadi kau tidak bolos sekolah tapi bolos latihan, iya kan?"

Oh, aku merasakan anggukannya. Secara cepat aku mendecak. Mencubit pinggangnya hingga Junho mengaduh kesakitan, "Sama saja. Kau membolos."

"Kak Erum bisanya memarahi Uno terus. Lihat sisi khawatir Uno sekali bisa tidak, kak?"

Bisa tidak ya?

ㅡend.

Sweet Climax - Cha JunhoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang