Kembalinya Kebahagiaan

34 4 5
                                    

Bersama waktu yang bergulir semua luka dan kesedihan pasti akan berakhir.

~Ikhsanudin~

****

"Heii, apakah kamu tidak akan memotret?" Aku melepaskan pelukannya.

"Ah, iya." Edel mengeluarkan kamera dari tas pinggangnya.

Setelah mengambil beberapa gambar sunrise, Edel berkata bahwa dia ingin memotretku dengan latar pemandangan sunrise. Aku hanya mengangguk mengiyakan. Kemudian Edel mengambil beberapa gambar diriku. Setelah itu Edel memintaku untuk mengambil gambar dirinya. Aku mengambil kamera dari tangan Edel, dan mulai memotretnya.

"Sekali lagi Edel," kataku di sela-sela mengambil gambar.

Setelah beberapa kali memotret Edel, dia menyuruhku untuk menyudahinya. Kemudian dia menghampiriku dan mengambil kamera dariku. Saat asyik melihat-lihat hasil foto, dia berkata, "Aku mau selfie sama kamu," katanya sambil menarik lengan jaketku sehingga aku menjadi lebih dekat dengannya.

"Kamu kok ekspresinya kaku banget sih?" katanya cemberut.

"Euhh, aku tidak biasa selfie Edel. Maaf, he he," kataku sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal sama sekali.

"Askaaaaa, aku lama-lama geli tau setiap lihat kamu salah tingkah terus. Berhenti menggaruk kepalamu yg tidak gatal itu,"—dia berkata sambil menghentikan gerakan tanganku yang sedang menggaruk—"Sini kita selfie sekali lagi. Sekarang, kamu usahakan untuk tidak memasang ekspresi kaku."

Kemudian kita berdua selfie beberapa kali. Kali ini aku tidak kaku, ekspresi wajahku bahagia, begitu juga dengan Edel. Kemudian di foto terakhirnya, dengan tiba² dia mengecup pipiku. Aku melongo, tidak menyangka akan mendapatkan ciuman itu. Edel yang melihat ekspresi wajahku di kamera, seketika itu pula langsung tertawa puas. Aku hanya tersenyum melihatnya. Aku suka tawanya.

Setelah selesai memotret, kami berdua lantas berjalan-jalan untuk melihat-lihat pemandangan dari sudut lainnya. Selama berjalan, kami berdua hanya diam saja. Edel sibuk dengan kameranya, memotret berbagai macam hal, dari mulai burung elang yang sedang tawaf ngincer mangsanya, sampai bayangan tubuh kita berdua pun tak luput dari jepretannya.

"Duduk di sini aja, ya, Del," kataku mencoba memulai percakapan.

Dia hanya mengangguk tidak banyak bicara, kemudian duduk sambil masih mengotak-atik kameranya.

"Tumben kamu tidak banyak bicara," aku kembali berbicara.

"...."

"Kamu sudah naik gunung berapa kali?" kataku.

"...." Edel masih sibuk dengan kameranya.

"Edel," aku memanggil namanya, tapi dia tetap saja tidak merespon.

Kemudian aku memanggil namanya beberapa kali lagi, tapi masih tetap saja, dia masih sibuk memotret sana sini. Karena kesal dengan kelakuannya, aku mencoba mengambil kameranya. Karena kaget aku tiba-tiba merebut kameranya, dia berkata, "Iihh, Aska apaan sih? main rebut-rebut aja."

"Edel, dengerin aku. Mengambil momen boleh, tapi jangan sampai keterusan, jangan sampai kamu sendiri nggak menikmati momen saat ini. Aku dari tadi manggil-manggil nama kamu, tapi kamu malah sibuk terus sama kameramu," kataku. "Sebenarnya yang sedang menikmati keindahan ini tuh, kamu atau kameramu?" aku bertanya.

"Yaa, aku hanya ingin mengabadikan momen ini Aska. Biar ada buat kenang-kenangan nanti kalo udah tua," katanya.

"Iya, boleh saja. Tapi apa harus sampai lupa menikmati dengan mata kamu sendiri?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 06, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RESTU SEMESTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang