Bagian 7

130 4 0
                                    


Lambaian tangan kecil Kahlil, mengiringi langkah Adam. Ia mantap menghentikan taksi untuk mengantarnya menuju terminal bus, ia akan berangkat ke kampung halaman Fatimah.

Adam sudah tidak sabar ingin segera sampai, di kampung halaman Fatimah. Ingin segera menatap wajah polos, yang kerap mencuri pandang pada dirinya.

"Adam sudah dalam perjalanan kemari Mah, nanti Abror yang akan menjemput di perbatasan desa."

Jantungku berdegup kencang, mendengar penjelasan Bu Aminah. Emak memandangku sambil tersenyum...

"Anak Emak ini, sedang jatuh cinta rupanya ya."

"Sepertinya iya Bu, makanya kami mempercepat perjodohan nya dengan Adam."

Emak dan Bu Aminah tertawa ringan, rasanya, wajahku memerah mendengar gurauan mereka."Assalamu'alaikum bang... "

".... "

"Oh, Abang sudah di sampai di depan gapura desa. Sebentar saya jemput ya."

Suara Abror menerima telepon dari seseorang, mungkin Adam. Karena Abror langsung berpamitan pada Ustadz Ma'ruf, debaran jantungku makin tak karuan. Aku segera menuju kamarku, dalam hati ku lafaz kan istighfar berkali-kali.

Aku duduk di tepi dipan, memandang keluar jendela kaca, rasanya rindu ini begitu menggebu. Ingin segera bertemu dengan pencuri hatiku, Adam. Azan zuhur berkumandang, segera kuambil wudhu dan menunaikan sholat. Adam dan Abror belum juga tiba, mereka pasti singgah di Masjid.

Usai sholat, mataku terasa berat. Kuputuskan untuk tidur sebentar, hingga telingaku mendengar suara pintu mobil ditutup. Segera ku intip dari jendela kaca, Adam.

Di bahunya bertengger ransel hitam, mengenakan jaket berwarna abu-abu, celana kain cingkrang dan sandal gunung yang setia di kakinya. Kali ini sebuah topi hitam, menggantikan kopyah rajut yang biasa dipakainya. Suara beratnya terdengar gagah ketika mengucapkan salam, ahh aku rindu...

"Assalamu'alaikum... "

"Wa'alaikumsalam... "

Adam merangkul Ustadz Ma'ruf dengan hangat, mencium tangan Bapak, ta'zim. Bapak terlihat mengusap Bahu Adam, aku hanya mampu mengintip dari jendela kamarku. Lamat-lamat kudengar Bapak berbincang ringan dengan Adam, terdengar akrab dan hangat, padahal mereka baru saja bertemu dan kenal.

Bapak menempatkan Adam dan Abror dirumah adiknya, Paman Syukur. Hanya terpisah pekarangan rumah saja, ustadz Ma'ruf tetap tinggal bersama kami. Ba'da Maghrib, Ustadz Ma'ruf, Bapak, Adam dan Abror kembali berkumpul diruang tamu. Aku, Bu Aminah dan Emak mendengarkan pembicaraan mereka diruang tengah.

"Terima kasih, Bapak mau menerima saya, dengan semua latar belakang dan masa lalu saya. Mohon maaf jika berkesan buru-buru, karena sesuai anjuran Ustadz Sahid dan Ustadz Ma'ruf, jika memang sudah setuju, lebih baik disegerakan."

"Alhamdulillah jika ingin disegerakan, Bapak berharap, kamu bisa membimbing Fatimah, maklum dia masih terlalu muda."

"Nah, Adam kapan kira-kira akad nikahnya?"

"Menurut Ustadz Ma'ruf baiknya kapan?"

Terlihat Ustadz Ma'ruf berfikir sejenak, perasaanku tak karuan, menunggu Ustadz Ma'ruf menyebutkan waktu pernikahan kami.

"Semua hari dan tanggal itu baik, bagaimana jika tepat satu bulan setelah tanggal sekarang. Baiknya pernikahan dilaksanakan di pesantren, kan kalian bertemu di pesantren. Jika Bapak setuju."

"InsyaAllah Bapak setuju, alhamdulillah, kelak akan ada yang membimbing Fatimah. Ajari dia ilmu agama dam, saya sebagai Bapak, merasa kurang dalam hal pengetahuan agama."

Suara Bapak lirih, seperti mengandung banyak penyesalan.

"InsyaAllah, kita akan bersama-sama belajar agama Pak. Saya juga baru saja merasakan manisnya iman, Mudah-mudahan bisa Istiqomah, aamiin."

Percakapan yang mengalir dengan akrab, membuat siapa pun yang mendengar pasti terharu. Malam semakin larut, Paman syukur membawa Adam dan Abror pamit pulang, aku pun beranjak ke kamar. Karena besok, akan kembali ke Pesantren.

Mataku, sudah tak kuasa menahan kantuk. Ponselku berbunyi, sebuah pesan singkat, dari Adam.

"Jangan lupa berwudhu, berdoa, selamat beristirahat, calon istriku."

Sambil tersenyum, aku berbaring. Mendekap ponsel, rasanya melayang membaca pesan singkatnya. Kuputuskan untuk tidak membalas pesannya, menyimpan bahagia berharap menghiasi alam mimpi.

Aku memeluk Emak, erat. Meskipun dua minggu lagi Abror akan menjemput mereka, rasanya berat untuk berpisah lagi. Emak melambaikan tangan, ketika perlahan mobil yang kami tumpangi, berjalan perlahan. Aku duduk dibelakang supir, Abror. Sementara Adam duduk disebelah supir, sesekali pandangan kami bertemu di spion, sebelah Adam duduk.Aku tertunduk malu, Adam melemparkan senyum ke arah lain. Sendi-sendi hatiku terasa hangat, seuntai doa ku lafaz kan dalam hati, berharap Adam adalah jodoh terbaik dari Allah, yang kelak bisa membimbing menuju keridhoan-Nya.

FATIMAHWhere stories live. Discover now