Aku menatap wajah suamiku, yang tengah terlelap, lalu kuraba wajahnya, wajah pria yang begitu kucintai.
"Apa yang kau sembunyikan dariku Bang? Kenapa semua terasa begitu ganjil." Aku bergumam dalam hati, Adam menggeliat, menarikku dalam pelukannya.
"Abang, sangat mencintai Fatimah. Demi anak kita, Abang bersumpah. Namun ada beberapa hal yang memang belum saatnya diceritakan, Abang janji suatu saat pasti akan ceritakan pada Fatimah."
Bisiknya lembut, lalu menggigit lembut cuping telingaku. Aku kembali tenggelam dalam pelukannya, sambil meraba tato yang ada dibahu suamiku.
"Tidurlah sayang, katanya besok mau kerumah Bu Aminah?" Aku pejamkan mata, dalam pelukannya, menghidu aroma tubuh yang bagai candu bagiku.
Sebuah kecupan lembut dibibir, dan usapan di rambut, membangunkanku.
"Sebentar lagi Azan subuh sayang, ayo mandi, air hangatnya sudah siap." Aku menggeliat malas, bayiku menendang, lalu kuusap lembut bagian perut yang berkedut. Adam membantuku duduk, menyodorkan segelas air putih.
"Jangan mikir yang berat-berat sayang, Abang gak mau kamu kenapa-kenapa. Ya?" Aku menyunggingkan sebuah senyuman padanya, meredam kegelisahan hati, tapi, aku Fatimah Bang, pantang diam jika belum terpuaskan oleh fakta.
Aku beranjak menuju kamar mandi, tak lupa meraih handuk ditangan Adam. Air hangat dari shower membasuh kepala dan tubuhku, sejenak menenangkan raga.
Usai sholat subuh, Adam bersiap mengantarku ke Pesantren Ustadz Ma'ruf. Sebuah tas berisi beberapa helai gamis ditentengnya, aku hanya membawa tas selempang. Aku pasti akan sangat merindukanmu Bang, tapi saat aku sedang memerlukan orang yang bisa mengerti kegelisahan ku saat ini.
Aku lebih banyak diam, sepanjang perjalanan menuju Pesantren. Adam masih terus memegang erat tanganku, kebiasaan ini tidak berubah selama satu setengah tahun pernikahan kami.
Kadang-kadang malah tangan usilnya menggelitik telapak tanganku, dia pria romantis, yang membuatku jatuh cinta hanya dengan melihat senyumannya.
Sebuah gapura besar ditepi jalan raya, menyambut kami dengan gagah. Tempat ini begitu bersejarah dalam hidupku, pelukan hangat menyambut kedatangan ku, Bu Aminah.
"MasyaAllah, makin cantik kamu Nak."
"Kan istrinya Adam Bu" Ucap Adam sambil terkekeh, aku tersipu.
"Saya titip Fatimah ya Bu, dia bilang rindu sama Ibu dan Pesantren. InsyaAllah lusa saya kemari, rindu juga suasana di sini."
"Iya Dam, InsyaAllah Ibu akan menjaganya dengan baik. Ibu juga rindu sama dia, rindu kecerobohannya kalau didapur." Kami semua tergelak, ya, aku memang ceroboh jika sedang memasak.
"Sayang, Abang berangkat kerja dulu ya. Jaga diri baik-baik, jangan lupa jalan pagi ba'da subuh." Adam mencium kening, dan mengusap lembut perutku.
"Abang sayang Fatimah." Aku mengangguk, kemudian mencium tangannya.
Sepeninggal Adam, aku memasuki kamar yang dulu ku tempati, semasa awal hijrahku. Tidak ada yang berubah, kuletakkan tas diatas dipan, membuka jendela, di sini aku sering menanti kedatangan Adam, mencuri pandang dari jauh. Ahh Abang, pesonamu meluluhlantakkan hatiku. Bu Aminah mengelus bahuku, dan duduk diatas dipan.
"Ibu tahu, ada yang mengganggu pikiranmu Mah."
"Iya Bu, Abang akhir-akhir ini banyak berubah. Waktunya selalu dihabiskan di depan laptop, anehnya laptopnya di password sekarang." Aku menarik napas berat, rasanya beban hatiku sedikit berkurang.
"Sebenarnya Ibu tahu penyebabnya Mah, tapi Ibu memilih bungkam kemarin. Sekarang Ibu akan menceritakan sama kamu nak, karena Ibu tidak ingin kau berburuk sangka sama suamimu."
Aku menatap wajah Bu Aminah dengan seksama, penasaran, apa yang beliau ketahui tentang Adam.
"Ada perempuan lain yang sedang mengganggu Adam, Mah." Seketika nyeri melanda hatiku, mendengar pengakuan Bu Aminah.
"Siapa perempuan itu Bu?" Mataku memanas, seluruh sendi-sendi terasa lemas.
"Kuatkan hatimu Mah, perempuan itu adalah mantan istri Adam, Sintia." Bu Aminah mengeluarkan ponselnya dari saku gamis, lalu menunjukkan foto seorang wanita, bergamis dan berjilbab lebar seperti diriku.
"Dia juga berhijrah, saat tahu Adam menikah denganmu, satu tahun dia mondok di makassar, makanya Kahlil sering dititipkan pada kalian. Karena neneknya kewalahan mengasuhnya."
"Adam tahu, perubahan Sintia Bu?"
"Tahu, tapi dia sudah menolak Sintia Mah. Di sini, dua bulan lalu. Tapi sepertinya Sintia terus meneror Adam, makanya kamu merasa seolah Adam menyembunyikan sesuatu. Mah, Adam itu sangat menyayangimu, makanya dia berusaha menyelesaikan semua masalahnya seorang diri."Mataku berkaca-kaca, mengapa semua ini harus dirahasiakan dariku? Aku memeluk Bu Aminah, sesenggukan didalam dekapannya.
"Harusnya Fatimah kemari lebih awal Bu, Fatimah cemburu Bu."
"Iya nak, Ibu mengerti. Sabar ya, tanyakan baik-baik pada suamimu, InsyaAllah ada jalan keluar."
Aku berusaha menenangkan diri, menyeka airmata, menarik napas dalam-dalam. Haruskah aku kalah dengan cinta dimasa lalu suamiku? Bukankah suamiku bilang sangat mencintaiku? Aku akan berjuang demi kamu nak, mama tak akan biarkan kebahagiaanmu direnggut oleh siapa pun, termasuk Ibunya Kahlil.
YOU ARE READING
FATIMAH
RomanceSudah berhari-hari aku mengikuti suamiku, rasanya lelah. Belum juga membuahkan hasil, apalagi usia kehamilan yang sudah memasuki usia tujuh bulan. Malam itu, aku minta ijin untuk menginap di rumah seorang sahabat. Jiwa ini perlu nasihat, seorang Ust...