Sintia menyeka airmata, kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain. Ia tidak mengerti mengapa Adam, laki-laki yang selama ini ia cintai, memutuskan untuk segera menikah lagi.
"Aku tidak menyangka, Papa secepat itu melupakan cinta kita. Meskipun aku menggugat cerai, tapi aku masih mencintaimu Pa. Aku terus berusaha meluluhkan hati Papaku untuk menerimamu kembali, kamu tahukan watak mertuamu?"
Suaranya bergetar, sesekali mengusap matanya yang terus berair. Sementara Kahlil, asik bermain wahana anak-anak di sebuah pusat perbelanjaan. Adam memang tak ingin memberitahu Sintia, saat berada dirumah. Ia tahu persis bagaimana Sintia, emosinya meledak-ledak. Adam tak ingin Kahlil melihat ibunya dalam keadaan emosi, ia putuskan mengajak bertemu di luar.
"Aku tahu, ini semua terlalu cepat. Tapi aku merasa telah menemukan orang yang tepat, yang bisa mengerti keadaanku, yang tak punya apa-apa."
"Jadi kau menganggapku tak bisa mengerti dirimu Pa? Sudah kubilang ide nafkah tiga puluh juta perbulan itu ide Papaku, dia mau kamu disegani lagi seperti dulu, bukan pria berjenggot yang selalu tersenyum ketika orang menghinamu."
Emosi Sintia tersulut, ia merasa dianggap tak bisa memahami Adam. Tapi memang, tak dapat dipungkiri, Adam menikahi Sintia saat sedang jaya, Sintia bak ratu ketika itu. Ke mana pun selalu dikawal, karena Adam banyak mempunyai musuh. Mertuanya sangat bangga dengan kejayaan Adam, meskipun jadi bos preman.
"Maafkan aku Sintia, cinta untukmu sudah menjadi hal terlarang sekarang, lanjutkan lah hidupmu. Carilah pria baik, yang bisa membuat Papamu bangga."
Kata-kata Adam bagai sembilu yang menyayat hati Sintia, ia kembali menyeka airmatanya."Kau ingat hari ini Pa, saat kau melihatku seperti ini, terpuruk, mengemis cintamu. Suatu hari nanti, aku akan datang kedalam hidupmu lagi, menjadi sosok yang kau inginkan, tolong bawa pulang Kahlil, aku perlu waktu untuk sendiri."
Sintia beranjak pergi, meninggalkan Adam bersama kenangan indah dimasa lalu. Sintia bertekad akan datang lagi dihidup Adam, kelak.
Adam menggamit tangan Kahlil, bocah SD itu berceloteh riang, ingin membeli robot-robotan. Untung sudah gajian, Adam membatin.
"Mama, ke mana Pa?" Kahlil menyadari jika ibunya, tak ada bersama mereka.
"Mama ada urusan tadi, jadi Kahlil nginap dirumah Papa ya."
"Hore, nanti bacain cerita ya Pa."
"InsyaAllah, eh, gimana kalau kita kerumah Pak Ustadz, yang dulu kasih sarung sama Kahlil.""Ayo Pa, siapa tahu nanti dikasih baju koko juga."
Adam tertawa, mendengar celotehan putranya. Inilah saat yang tepat, mengenalkan Fatimah pada Kahlil.
Aku setengah berlari, ketika mendengar suara pintu mobil ditutup. Suaranya terdengar duakali, aku mengintip dari balik tirai yang ada di ruang makan. Adam, bersama bocah berumur tujuh tahunan. Sudah seminggu, aku tak melihatnya, rindu. Hanya pesan singkat yang kuterima, menjelang tidur dan waktu ta'lim.
Kurapikan jilbab, berkaca di lemari tempat Bu Aminah menyimpan piring dan gelas. Wanita itu menyambut Adam dan Kahlil dengan ramah, karena Ustadz Ma'ruf sedang tidak dirumah.
"Wah, Kahlil sudah besar ya."
"Iya Bu, Pak Ustadz ke mana?"
"Pak Ustadz lagi lihat kebun sayur, sudah perlu dipupuk Dam. Ayo masuk, sebentar Ibu panggilkan Fatimah."
Aku kembali berjingkat menuju dapur, pura-pura tak tahu kedatangan Adam. Langkah kaki Bu Aminah makin dekat, jantungku berdegup dengan cepat.
"Imah, tinggalkan dulu pekerjaanmu. Ada Adam dan Kahlil, Ibu tunggu di depan ya. Buatkan minuman, ada snack juga didalam lemari."
"Iya Bu."
Kutuang air panas dari termos, mencelupkan teh, menaruh gula dalam gelas. Mengambil toples dari lemari, menatanya dalam nampan. Meskipun Adam, adalah calon suamiku, rasa gugup bila bertemu dengannya belum juga hilang. Aku berjalan ke ruang tamu dengan perasaan campur aduk, malu, rindu, ahh Fatimah, ke mana anak gaul yang dulu cuek?
Kuletakkan gelas diatas meja, kemudian membuka tutup toples. Bu Aminah mengisyaratkan untuk duduk disampingnya, Kahlil langsung meminum teh yang sengaja kubuat hangat.
"Kahlil, haus ya?" ucap Adam yang langsung membuat putranya tersipu, Bu Aminah mengelus kepala Kahlil.
"Apa kabar Fatimah?"
Aku kaget, dan spontan menatap wajah Adam. Dia tersenyum, menampakkan gigi putih yang rapi, senyumannya sukses membuatku tertunduk malu.
"Alhamdulillah baik." Aku bingung, harus memanggil dia bagaimana, lebih tepatnya malu.
"Bu Aminah, saya rasa tidak apa-apa jika Fatimah memanggil saya, Abang?"
"InsyaAllah, tidak apa-apa."
"Imah, ini Kahlil. Anak Abang, usianya tujuh tahun lebih, kelas satu SD. Kahlil, ini Ibu Fatimah, teman Papa di pesantren."
Kahlil langsung menyalami, dan mencium tanganku. Adam tidak mengenalkanku dengan embel-embel 'tante', melainkan 'ibu'. Setelah itu, Kahlil kembali sibuk dengan cemilan dalam toples.
"Bu, apakah besok sibuk?"
"Tidak Dam, ada apa?"
"Saya ingin mengajak Fatimah berbelanja, alhamdulillah kemarin saya gajian. Jadi saya ingin minta tolong Bu Aminah untuk menemani kami, jika tidak keberatan."
"InsyaAllah tidak keberatan Dam, Kahlil ikut ya."
Kahlil mengangguk dengan cepat, sepertinya ia menyukai berada ditempat ini, bersama kami, juga aku calon ibu sambungnya. Satu jam, Adam berkunjung, dia pun pamit, sepulang kerja besok, akan menjemput kami untuk berbelanja.
Aku masih mematung, memandang kepergian Adam, hingga mobilnya tak terlihat lagi. Cukuplah mengobati rinduku hari ini, Abang.
Pukul empat sore, Adam menjemput kami. Dia masih mengenakan pakaian kerjanya, kemeja abu-abu dengan logo perusahaan, dan jeans biru dongker yang menampakkan mata kakinya, makin menambah kesan gagah si Abang. Sebuah topi berwarna hitam, setia di kepalanya. Kahlil sudah siap dibagian tengah mobil, Bu Aminah mengunci pintu. Lalu duduk disebelah kahlil, aku?
"Duduklah di depan, Fatimah."Ini pertama kalinya, duduk bersebelahan dengan Adam. Dadaku berdebar, tak diduga gamis yang kupakai juga dominan bermotif abu-abu, Adam tersenyum sambil membukakan pintu mobil untukku...
YOU ARE READING
FATIMAH
RomanceSudah berhari-hari aku mengikuti suamiku, rasanya lelah. Belum juga membuahkan hasil, apalagi usia kehamilan yang sudah memasuki usia tujuh bulan. Malam itu, aku minta ijin untuk menginap di rumah seorang sahabat. Jiwa ini perlu nasihat, seorang Ust...