Sepuluh menit perjalanan, kami tiba di sebuah pusat perbelanjaan. Kahlil terlihat senang, berjalan manja disamping Adam. Bu Aminah gantian menggamit Kahlil, tinggallah kami berjalan beriringan.
Mimpi apa kau Fatimah, berjalan bersamanya, menikmati romansa pengobat rindu. Sesekali memandang wajahnya yang tersenyum, akankah dia juga memiliki perasaan sama sepertiku?Adam memilihkan gamis berwarna peach untukku, dan jilbab berwarna navy. Setelah membelikan Kahlil mainan yang diminta kemarin, tak lupa Adam membelikan pakaian seragam untuk Bu Aminah dan Ustadz Ma'ruf, juga untuk keluargaku.
Setelah sholat Maghrib, makan malam di restoran, bersenda gurau sejenak, kami putuskan untuk pulang. Karena besok Kahlil harus sekolah, hari ini makin melengkapi kebahagiaanku sebagai seorang calon pengantin.
"Besok, Abror akan menjemput Bapak dan Emak, sekalian mengurus keperluan surat menyurat berkas pernikahan kita. Biar semua Abang yang urus ya, Fatimah istirahat yang cukup, jangan lupa ta'lim dan membantu Bu Aminah."
"Iya Bang."
"Abang pulang dulu, mau mengantar Kahlil kerumah mamanya, mari Bu Aminah, saya titip Fatimah."
"Iya Dam, Hati-hati dijalan ya."
"Iya Bu, assalamu'alaikum"
Aku dan Bu Aminah menjawab salam Adam secara bersama-sama, ku tenteng tas berisi belanjaan kami tadi. Lalu masuk kamar, lumayan lelah. Tapi aku sangat bahagia, Adam benar-benar sosok yang mengagumkan. Fatimah jatuh cinta padamu Bang, pekikku dalam hati.
Persiapan menjelang pernikahan pun mulai terasa, setelah tiga malam berada di kampungku, Abror pun datang membawa Bapak, Emak dan Fauzi adikku. Ustadz Ma'ruf dan Bu Aminah benar-benar baik, mau direpotkan dengan persiapan pernikahanku dan Adam.
Esok adalah hari pernikahanku, suasana rumah makin ramai, memang hanya akad nikah, namun semua warga Pesantren ikut sibuk. Ponselku berbunyi, kali ini sebuah panggilan masuk, Adam.
"Assalamu'alaikum, Fatimah."
"Wa'alaikumsalaam, iya Bang, ada apa?"
"Jangan lupa berdoa, untuk kelancaran akad nikah besok ya. Mudah-mudahan Allah memberkahi rumah tangga kita kelak, aamiinn. Selamat tidur, Fatimah."
"Iya Bang, selamat tidur juga."
Fatimah meletakkan ponselnya diatas meja, mematikan lampu, dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Ia ingin segera bangun keesokan harinya, dan segera menjadi Nyonya Adam."Saya Terima nikah dan kawinnya Fatimah binti Mas'ud, dengan mas kawin cincin dan gelang emas seberat lima belas gram, dibayar tunai...
Sahhh...
Riuh suara warga Pesantren, ketika Adam usai dengan lancar melafazkan ijab qobul. Jantungku berdebar, mendengarkan dari ruangan terpisah, emak mengelus bahuku, rona bahagia terpancar dari wajah senjanya.
" Anak emak, sudah jadi istri sekarang. Semoga bahagia ya Mah." Emak memelukku erat, tangis haru pun pecah, bahu kami berguncang larut dalam tangis.
"Lho, ijab nya lancar, koq yang di dalam malah nangis."
Ucap Bu Aminah, namun ia juga turut dalam haru, memelukku.
"Jadilah istri yang baik ya Mah, nurut sama suami, karena surgaNya istri, terletak pada ridho suamimu. Ayo keluar, para tamu sudah menunggu."
Emak dan Bu Aminah menuntunku menuju ruang ijab qobul, menyandingkan aku dengan Adam, suami ku. Ustadz Sahid memberikan tausiyah singkat mengenai pernikahan, lalu dilanjutkan dengan acara sungkem, kepada orangtua dan Paman Adam, karena kedua orangtuanya telah meninggal.
"Mari, hadirin dipersilahkan menikmati hidangan." Suara Ustadz Sahid mempersilahkan tamu undangan untuk makan. Adam mengambilkan semangkuk bakso, lengkap dengan sambalnya, dua buah sendok terendam dalam kuah kaldu nya dalam mangkuk.
Aku tersipu, ketika Adam menyuapiku, malu. Tapi, kenapa harus malu, dia suamiku sekarang. Perlahan kubuka mulut dan menerima suapan dari sendok ditangannya, ia tersenyum, Emak memandangi kami dengan mata berkaca-kaca.
"Nanti Emak ikut kami kerumah ya, bermalam dirumah." Ucap Adam sambil memegang tangan Emak, mertuanya.
"Besok saja, kami kerumah. Malam ini biar kami bantu-bantu Bu Aminah bersih-bersih Nak."
"Baiklah, kalau mau Mak seperti itu. Tapi besok, emak dan Bapak harus kerumah ya."
"Iya Nak."
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam, warga Pesantren mulai beranjak ke asrama masing-masing.
"Adam, kau bawalah istrimu pulang!! Biar sisanya kami yang urus, lagipula sudah ada yang mengurus pembersihan tempat ini." Ustadz Sahid memberi perintah.
"Baik Ustadz, biar Fatimah siap-siap dulu."
Setelah mengambil beberapa lembar pakaian, aku pun berpamitan untuk pulang kerumah suamiku. Ku salami satu persatu, Orang-orang yang berjasa dalam hidupku. Adam menggamit tanganku menuju parkiran mobil, tanganku berkeringat karena gugup.
Dalam perjalanan aku lebih banyak diam, kubiarkan Adam tetap memegang tanganku.
Mungkin, dia ingin menunjukkan sikap romantisnya sebagai suami. Tak sampai tigapuluh menit, mobil yang kami tumpangi memasuki sebuah kompleks perumahan, suasana lengang, karena hampir tengah malam.
Mobil berhenti, dihalaman rumah tanpa pagar. Tampilan rumahnya sederhana, asri. Adam pasti cukup secara finansial saat ini, sementara aku, hanya orang desa. Adam membukakan pintu mobil, kemudian kembali menggamit tanganku.
"Selamat datang, Nyonya Adam. Mari silahkan masuk, inilah rumah kita."
Pintu terbuka, dan mengeluarkan aroma segar dari pengharum ruangan. Adam mengunci pintu, dan membawaku kesebuah kamar berukuran besar. Menata gamis-gamisku di lemarinya, aku hanya mematung.
"Nyonya Adam, sudah sholat isa?"
"B-belum Bang."
"Sholat lah dulu, petunjuk kiblatnya lihat ke plafon ya. Abang mau bikin susu dulu, sudah kebiasaan sebelum tidur."
Aku mengangguk, sepeninggalnya, aku mengganti pakaian, mengambil air wudhu, dan sholat isa. Cukup lama aku tumpahkan kebahagiaanku diatas sejadah, hingga tak menyadari bahwa Adam sudah duduk dibelakangku.
Adam mengecup pipiku, ketika usai melipat mukenah. Bibirnya lembut menyentuh kulit wajahku, nafasnya begitu dekat. Aku menunduk, tak kuasa memandangi manik matanya yang hitam.
"Mau minum susu kah Dek?" ucapnya, seraya menuangkan air panas kedalam gelas.
"Gak usah, buat Abang saja."
Aku duduk di sebuah sofa didekat dipan, perabotan yang ada dikamar ini semua nya mewah. Beda sekali dengan isi kamarku dikampung, Adam duduk disampingku, mungkin dia sadar bahwa aku sedang mengamati isi kamarnya.
"Mana Kahlil Bang?"
"Kahlil dirumah mamanya, hak asuh tidak jatuh ke Abang, jadi dia hanya berkunjung sebentar. Jangan kaget ya, jika nanti kamu direpotkan oleh Kahlil."
"InsyaAllah tidak Bang, kan ada Abang yang bantu Fatimah." Suaraku terdengar manja, aku sampai malu sendiri.
Adam kemudian membelai wajah, membuka jilbab ku. Aku lupa, jika Adam sudah sah jadi suamiku. Untuk pertama kalinya dia melihatku tanpa jilbab, aku tertunduk malu.
"Abang tahu, Fatimah cantik. Tapi ternyata Fatimah lebih cantik, InsyaAllah Abang beruntung menikahimu."
YOU ARE READING
FATIMAH
RomanceSudah berhari-hari aku mengikuti suamiku, rasanya lelah. Belum juga membuahkan hasil, apalagi usia kehamilan yang sudah memasuki usia tujuh bulan. Malam itu, aku minta ijin untuk menginap di rumah seorang sahabat. Jiwa ini perlu nasihat, seorang Ust...