SAKIT ARSA DATANG DARIKU

6.2K 194 5
                                    

Saat dihubungi Arsa tidak sedang dalam keadaan sehat. Anggara segera datang ketika beberapa kali meneleponnya, tetapi malah tidak sama sekali dijawab. Timbul inisiatif untuk mendatanginya saja ke rumah.
Anggara terkejut saat melihat Arsa dalam keadaan mengenaskan. Kini tubuhnya kurus kering hampir tiada berdaging, hanya kulit yang menutupi tulangnya. Pemuda itu heran, padahal semalam Arsa sehat tidak sekurus ini. Tubuhnya juga berisi.

"Apa yang terjadi denganmu Arsa? Kenapa bisa begini?" tanya Anggara pada Arsa yang sedang melamun di atas ranjang dan menghadap jendelanya.

"Vanesa," ucap Arsa lirih, hampir tidak terdengar oleh Anggara.

Anggara mendekatkan dirinya agar dapat mendengarnya. "Kenapa gadis itu?" tanya Anggara dengan hati diliputi rasa penasaran.

"Vanesa, Vanesa," Ia hanya mengulang nama itu dengan gumaman dan pandangan semu ke luar jendela.

Anggara menghela napas, wajahnya terlihat iba. Melihat sahabatnya yang pucat pasi dengan keadaan tua renta, akhirnya tidak tahan jua untuk segera menelepon dokter. Dokter yang dipanggil pun datang. Ia memeriksa Arsa dengan dahi berkerut beberapa kali. Diperiksa tekanan nadinya. Dokter pun menggeleng dan memandang Anggara.

"Bagaimana, Dok?" tanya Anggara penasaran.

Dokter menghela napas dan berdiri. "Penyakit sejenis ini ..." Dia tampak ragu untuk bercerita.

"Apa Dok?" kejar Anggara dengan tidak sabaran.

Dokter berjalan maju, sehingga membelakangi Anggara. Pemuda itu segera maju untuk mendekati dokter itu.

"Saya bukan seorang yang terlalu percaya dengan mistis, tapi ... dulu saya juga pernah merawat pasien seperti ini, waktu bertugas di pedalaman suku Dayak," kata dokter itu sembari memandang Arsa yang sedang berbaring di ranjang. "Nadinya lemah, pikirannya menerawang, ia selalu menyebutkan nama, sekarat dalam waktu sekejap, tubuh berbau amis," jabarnya.

"Itu apa, Dok?" Anggara mendesak dokter agar secara gamblang menyebutkan jenis panyakitnya saja.

"Kalau dibilang AIDS juga bukan, itu perlu proses. Apakah Anda percaya dengan virus guna-guna?" Dokter bertanya balik pada Anggara.

Anggara tertawa canggung. Antara percaya dan tidak. Ia belum ada kepikiran ke sana. "Maksud Dokter teman saya disihir begitu, mana mungkin Dok, setahu saya Vanesa nama orang yang disebut teman saya itu seorang dokter, jadi masa dia mainnya begituan."

"Begini saja, kalau tak percaya tak apa, awalnya saya pun tertawa dan bereaksi sama sepertimu. Kemudian saya sendiri yang menangani kasus ini, saran saya bawa dia untuk di-ruqiah," nasehatnya. "Oh ya, agar kamu tahu, taruh daging mentah di dekatnya, kalau dia memakannya dengan lahap. Itu tandanya," tambahnya lagi. Dokter segera membereskan peralatan medisnya dan akan segera pergi.

"Tunggu Dok, kalau memang ia sakit, lalu penyakit apakah ini?" tanya Anggara saat dokter itu sudah membuka pintu untuk ke luar.

Dokter hentikan sejenak langkah kakinya. "Virus kuyang, sahabatmu pernah meminum darah kuyang," kata dokter itu kemudian pergi.

Anggara tersentak saat mendengar ucapan dokter tadi. Tiba-tiba ia merasakan panas-dingin di seluruh tubuhnya, tanpa sadar ia memandang Arsa yang sedang bergumam dan menyebutkan satu kata. Kata yang sangat mengerikan untuk didengar."Darah, darah, darah ...." Arsa tiba-tiba duduk dan memandang Anggara dengan tatapan tajam dan bibir yang tersenyum sembil berkata, "Aku mau darah," katanya dengan suara serak.

Anggara terlonjak ia segera keluar dan mengunci pintu itu dari luar. Jantungnya seakan baru saja berdetak kembali. Ia memandang di koridor tidak seorang pun berada di tempat itu. Anggara pun heran, biasanya banyak yang lalu lalang, entah itu sibuk berangkat bekerja, ke sekolah. Atau para ibu-ibu rumah tangga yang sedang menyapu di depan pintu kamar kontrakan.

Anggara pelan-pelan berjalan melewati pintu-pintu kost. Kriet. Pintu tiba-tiba terbuka. Anggara yang tadinya melewatinya kini terdiam sejenak. Ia mengendus bau amis yang keluar dari kamar tersebut. Pekerjaannya membuatnya terbiasa untuk mencari tahu sesuatu yang dianggapnya misteri. Didorongnya pintu itu perlahan. Setelah pintu terbuka Anggara hanya mampu mematung di tempat.

Pemandangan mengerikan terpampang jelas di matanya. Mayat lima orang perempuan tergeletak tidak beraturan. Perutnya koyak menganga lebar dengan ari-ari berhamburan. Diduga mereka semua dalam keadaan mengandung, dan janinnya yang diambil secara sadis oleh pembunuhnya.

******

Pada pukul 12:00 siang, Anggara masih merenung tentang kejadian pagi tadi. Saat ini dia sedang berada di Rumah sakit. Alidin datang dengan membawa dua cangkir kopi instan buatannya.

"Cobalah untuk santai," nasehatnya sembari menyerahkan kopi yang dibuatnya pada Anggara.

Anggara menghela napas kemudian memandang Alidin sembari menerima kopi itu. Kini pandangannya semu kembali, kopi tadi hanya dipegang saja di pangkuannya.

"Kita bukannya tidak pernah menangani kasus seperti ini, tapi yah, berat juga kalau teman sendiri," kata Alidi sembari mengambil posisi duduk di sebelah Anggara.

Anggara memandang Alidi sekilas, kemudian beralih memandang pintu kamar rumah sakit. "Aku hanya tidak percaya saja, saat Arsa sakit ... ternyata ada kejadian seperti ini," ucap anggara dengan lirih hampir tidak terdengar oleh Alidi.

"Sudahlah, tenangkan hatimu." Alidi menepuk bahu sahabatnya. "Kamu akan bersaksi nanti, jadi kuharap jangan terlalu banyak melamun. Entar ditanya lain, dijawab lain juga," candanya.

Anggara tersenyum simpul dengan pandangan tertuju pada kopinya.
Ia menerawang saat pertama kali bertamu di tempat Vanesa, gadis itu memang semakin cantik dan terkesan berkharisma ketimbang perempuan lain. Jadi wajar saja kalau Arsa menaksir padanya, tapi untuk hal mistis itu, pemuda itu masih ragu untuk memercayainya.

Tidak lama dokter keluar, Anggara segera berdiri.  "Bagaimana Dok?" tanyanya.


"Vanesa itu siapa?" Dokter Deva malah bertanya balik.

"Dia orang yang ditemui kami beberapa hari yang lalu," jawab Anggara.

"Sepertinya Vanesa sangat penting bagi pasien, bisa kamu bawa dia ke sini," pinta Dokter Deva.

"Entahlah, dia sulit ditemui, apalagi ia juga seorang dokter seperti Anda," jawab Anggara.

Deva memandang ke belakang, kemudian menatap Anggara lagi. "Upayakan Pak, siapa tahu pasien bisa diselamatkan dengan kedatangan gadis itu," nasehatnya. "Saya tinggal dulu, Pak." Deva permisi.

Anggara hanya mengangguk. Setelah Deva pergi ia mendekati pintu kamar di mana Arsa dirawat. Dengan hanya memandang dari kaca saja ia bisa merasakan suasana yang lain daripada yang lain. Meremang hingga hatinya berdesir ngeri.

Alidi menghampirinya dengan menepuk bahu Anggara. "Telpon saja dia, siapa tahu orang yang bersangkutan bisa datang ke sini," nasehat Alidi. Kemudian pemuda itu pergi seraya meminum kopinya.Anggara memandang kepergian Alidi. Ia menghela napas pasrah.


Di waktu bersamaan di rumah Vanesa. Vanesa memandang dapurnya dengan marah. Ia geram bukan main. Bagaimana tidak ada darah di mana-mana.


"Apa ini? Semalam aku ngapain aja?!" umpatnya marah. "Sampai kapan dia menumpang hidup denganku begini. Hah!" keluhnya.

"Vanesa ...." Sebuah suara mengagetkannya.

Gadis itu tersentak dan memandang ke belakang. "Siapa kau??" tanya gadis itu penasaran saat melihat arwah berbaju putih dan berwajah sangat rupawan.

Dia tidak menjawab, Vanesa yang penasaran segera menghampirinya. Namun roh itu menghilang secara perlahan, kemudian lenyap sama sekali.

"Siapa dia?" gumam gadis itu. "Ah! Sial harus segera kubereskan ini!" umpatnya setelah sadar kembali dengan keadaan rumahnya.



TITISAN PUTRI KUYANG(revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang