VANESA

9.7K 255 29
                                    

TITISAN PUTRI KUYANG


25 tahun kemudian

    G A D I S   berusia dua puluh lima tahun, cukup matang dengan bibir yang ranum dan pipi yang bulat seperti apel namun kecil dan mungil. Dengan rambut dicepol asal-asalan, berpakaian putih dan sedang memandang pasien yang sedang terbaring di ruang operasi dengan sedikit liar.

Gadis cantik itu menelusuri setiap lekuk tubuh pasien itu dengan mata liarnya. Saat sebuah tangan menyentuhnya ia baru sadar akan keterpanaannya.

"Hey, Van, apa kita bisa memulai operasi ini?" tanya seorang pria bertubuh sedikit gemuk dan memakai kaca mata.

"Tunggu! Saya keluar sebentar, udara di sini sedikit gerah," ujar Vanesa.

Gadis itu keluar dan segera menuju kamar kecil. Ia membasuh wajahnya dengan air sebanyak-banyaknya kemudian memandang pada cermin cukup lama.

"Aku merasakan hal yang sama seperti itu," gumamnya.

"Kenapa tidak kaunikmati saja dia?" Wajah di cermin mirip dengannya bertanya.

"Tidak! Aku bukan kamu!" teriak gadis itu.

"Hihihi ...  mau tidak mau kau juga harus melakukannya, hihihi ...." Wajah di pantulan cermin itu berubah menjadi sesosok Kuyang berkepala buntung dengan jeroan yang menjuntai di lehernya.

Prang!! Suara kaca cermin pecah.

"Tidak lagi!" Vanesa segera keluar setelah memecahkan kaca cermin kamar kecil itu dengan tangannya.

Vanesa segera berlari ke ruangannya. Ia mengambil kotak P3K untuk merawat tangannya yang terluka akibat pecahan kaca. Namun belum sempat ia menyeka darah, sebuah lidah terjulur panjang menjilati lukanya. Vanesa terkejut, ia terlonjak dan segera menghindar sembari menutupi lukanya.

"Pergi!" usirnya.

"Kenapa kaututupi luka itu Vanesa, Aku sangat lapar? Ingin makan," ucap Kuyang itu sembari mendekati Vanesa dengan cara melayang setinggi pinggang orang dewasa.

"Aku bukan makanan, bukan pula budakmu. Pergi jangan lagi merasukiku!" Vanesa segera mundur dan ternyata ia tertubruk meja dan terjatuh.

Kuyang itu merendahkan terbangnya sehingga usus yang menjuntai terseret ke lantai dan menyisakan darah segar.

Vanesa mundur perlahan dan mencoba bangkit berdiri. "Mau apa kamu?!" Vanesa berteriak ketakutan.

"Vanesa kamu kenapa?" tanya sebuah suara yang Vanesa sudah akrab dengan suara itu.

"Kak!" Vanesa berteriak dan segera berlari keluar.

"Kamu kenapa, Van?" tanya Gina.

Vanesa memandang ke dalam ruangannya, tidak ada lagi iblis itu di sana. Kemudian ia memandang Gina perempuan bertubuh sintal yang sangat manis itu dengan tatapan terima kasih.

"Kamu kenapa Van, kok berteriak?" tanya Gina lagi seraya memandangi gadis itu dengan heran.

"Ah, it-itu ... tidak apa. Saya hanya terjatuh," jawab Vanesa gugup.

"Ya sudah, bukannya hari ini kamu ada operasi, kenapa lama di sini? Yang lain sudah menunggumu."

"Baik, saya akan ke sana," jawab Vanesa sembari mengambil baju operasi di kursinya.

~~°°*°°~~

Operasi dilakukan dengan tenang dan teliti. Sesekali Vanesa berkeringat, tetapi Anton asistennya selalu menyeka keringatnya.

"Tolong gunting bedah ukuran sedang," pinta Vanessa pada Anton.

Pemuda berusia dua puluh empat tahun itu dengan sigap menyiapkan sepaket peralatan steril yang akan dipakai oleh Vanesa.

Gadis itu memilih sendiri gunting yang ingin ia gunakan. Dengan menghela napas dulu sebelum melakukan pengguntingan. Ia berusaha menetralkan gejolak rasa laparnya karena melihat darah segar yang kini berada di hadapannya.

"Apa bisa kita mulai Dokter Vanesa?" tanya Hariadi. Pemuda yang mengenakan kacamata bening dan berwajah tampan dengan kemilau kulit yang bersih terawat.

"Iya, kita lanjutkan," jawab gadis itu sembari mengenakan masker dan menggulung lengan bajunya ke atas untuk memudahkannya melihat dengan jelas.

"Kamu yakin, dengan memotong bagian ini tidak berbahaya untuk pasien?" tanya Anton ragu. Walaupun ia hanyalah asisten tapi sedikit banyaknya ia tahu soal operasi.

"Kalau begitu kau sajalah yang kerjakan." Vanesa merajuk. Ia bahkan membuka masker dan memberikannya pada Anton.

"Eh, bukan begitu maksud saya," jawab Anton kelabakan.

"Ini sebenarnya ada apa? Mau kita operasi atau kita bunuh saja pasien ini. Kalian malah menekan kematian pasien begitu cepat," tegur Hariadi dengan nada tegas.

Vanesa melotot pada Anton sebelum merampas maskernya. "Sini!" ucapnya sinis.

Hariadi geleng-geleng kepala. Ia kembali fokus dengan pekerjaannya. Vanesa yang tadinya haus darah akhirnya bisa fokus juga. Diam-diam ia juga berterimakasih pada Anton yang tadi sudah mengalihkan perhatiannya.

Setelah semua beres, Vanesa keluar dari ruang operasi dengan lega. Ia melakukan perenggangan otot tangan dan lehernya. Vanesa menyadari sesuatu dan tak sadar mengusap lehernya yang tergores sedikit. Gadis itu meraba-raba hingga ke seluruh lehernya.

"Ini pasti perbuatan iblis itu!" gumamnya perlahan.

Vanesa yakin Kuyang itu sudah merasukinya dan menyebabkan ia harus memutus kepala dari badannya. Sudah pernah berobat ke dukun dan ustad sekalipun, tapi tidak satu pun berhasil. Ada yang bilang ia memang terlahir sebagai Kuyang sejati. Tetapi menurut pengakuan kedua orang tuanya, ia bukan keturunan dari penganut ilmu sesat, tapi mengapa Kuyang itu malah memilihnya? Inilah yang jadi pertanyaan Vanesa sedari dulu.

Sempat ingin bunuh diri tapi ia ingat Tuhan dan ingat orangtuanya. Menjadi dokter juga bukan kemauannya, hanya cita-cita ibunya yang mulia yang perlu diwujudkan. Ia tahu itu sulit bila harus berhadapan dengan darah dan ia pun tidak punya pilihan untuk membahagiakan mereka yang sudah berkorban merawatnya sedari kecil. Bagaimana menderitanya mereka ketika harus bolak-balik ke Rumah sakit, ke dukun, ke tabib. Hanya untuk membuat Vanesa diam dan mau makan. Orang tua mana yang tidak cemas melihat bayinya tidak makan dan minum dan kerjanya hanya menangis tiada hentinya? Itulah Vanesa sekarang gadis yang dulunya sewaktu bayi sempat dihampiri Kuyang dan telah terbiasa melihat arwah halus di dekatnya.


TITISAN PUTRI KUYANG(revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang