15

54 8 4
                                    

"Jadi begitu ceritanya." Bella menatapku lekat. "Berapa mantan lagi yang harus diperbaiki?" Aku membelalakan mata, sementara Bella terkikik.

"Mereka manusia, La, bukan panci!" gerutuku. "Enak aja perbaiki."

"Apa bedanya? mereka kok mau-maunya baper sama elo!"

"Bukannya bangga punya adik laku!" gerutuku kesal. Syukurlah, suara ketukan di pintu membuatku menghentikan perdebatan sia-sia dengan Bella, dan berlari menyongsong pintu ruang tamu. Padahal, aku baru saja meminta pendapat dan pandangannya tentang cowok. Secara dia lebih tua dan lebih berpengalaman dariku. Sayangnya, Bella malah sibuk menggodaku.

"Nick? Mau beli nasi goreng ya?" tanyaku. Nick memang masih tak banyak bicara. Aku sendiri tadi pamit pulang duluan dari warung Pizza karena Bella menelepon.

Sebenarnya Bella tidak menyuruhku pulang, dia hanya tanya apa aku lihat di mana ear phonenya. Tapi aku sudah bete duluan. Bagaimana tidak? Aku nggak bisa berdekatan dengan Nick, tidak enak sama Kimmy. Aku juga nggak bisa banyak bicara dengan Aska, apalagi dia sudah menyatakan cintanya pada Mia. Aku kan jadi seperti bawang goreng di atas sup.

"Bukan. Aku hanya ingin ajak kamu ke suatu tempat, semacam kafe gitu."

"Pergi sono, Re! lo butuh refreshing. Gue tanggung jawab kalau si Mamih nanyain. Good luck ya!"

Dengan perasaan nggak keruan, aku membuntuti Nick, naik ke motornya, dan membiarkannya membawaku entah ke mana. Tapi, sepertinya aku jadi sangat canggung. Jangankan merangkulnya seperti biasa, menyapa saja aku tidak enak.

"Re, sebenarnya kamu kenapa? Sepertinya kamu menghindar terus," ujar Nick saat kami sudah duduk dan memesan kentang goreng.

"Aku nggak apa-apa kok. Gimana kabar Kimmy?" tanyaku tak acuh.

"Kok tanya Kimmy ke aku. Tanya sendiri sama orangnya!" tukas Nick ketus.

"Apa Kimmy sudah bilang sesuatu? Seperti ... Dia suka sama lo," bisikku.

Nick menatapku tajam. "Jadi, itu masalahnya sampe kamu jauhin aku? Masalah Kimmy?"

"Kimmy bilang sama gue kalau dia naksir lo."

"Tapi bukan berarti aku harus suka Kimmy kan? Itu urusanmu dengan Kimmy. Urusanku dengan kamu beda."

"Maksudnya?" tanyaku bingung. Nick menatap meja sambil memainkan garpu pelastik. Pria itu terlihat gelisah, hingga meminum birnya seperti meminum teh manis. Aku menatapnya lekat, mencoba menebak apa arti dari tatapannya.

"Kimmy mungkin suka aku, tapi aku nggak suka Kimmy," ujar Nick perlahan. "Dia bukan typeku. Aku lebih suka perempuan yang mandiri, lucu, dan baik seperti kamu."

Aku tertawa. Nick pasti bergurau. Seluruh sekolah tahu kalau Kimmy termasuk salah satu dari klub cewek kece sekolah. Sementara prestasiku hanya karena sempat dekat dengan Aji. Itu pun karena aku mengalahkannya saat pertandingan. Buktinya, hanya beberapa bulan saja aku diputuskan Aji.

"Lo tahu, siapa cowok terakhir yang mau gue temuin?" tanyaku perlahan. "Aji"

"Aji? Mantan ketua Osis yang pintar itu, ya?" tanyanya. Aku mengangguk. Maklum, semua guru memang menyukainya, tentu Nick juga. Aji bukan hanya tampan dan berkarisma, dia juga pintar dan ramah. Saking ramahnya, aku memandangnya sebagai playboy! Entah bagi ceweknya yang lain.

"Bagaimana dia di kelas?" tanyaku masih tak acuh. Minuman bersoda dengan racikan aneh yang barusan lewat di tenggorokan rasanya jadi sedikit terasa hambar, seperti perasaanku setiap mengingat Aji.

"Dia ramah, baik, dan sepertinya ada cewek yang dia taksir di kelas, tapi cewek itu selalu menghindar dari dia."

"Siapa?" tanyaku penasaran. "Mila, ya!" ujarku tak sabar.

Nick menjentik hidungku dan tertawa. "Siapa sebenarnya cowok yang kamu suka? Dari kemaren, segala macam cowok yang dekat denganmu beda-beda. Semua mantanmu punya masalah, nggak ada yang sama."

Aku menarik napas dan tertawa. "Gue juga nggak tahu. Pokoknya, siapa aja yang baik ke gue ya gue baikin lagi, kan?" seruku.

"Jangan jodoh-jodohin aku sama siapapun lagi, ya! Aku sudah bilang sama Kimmy kalau aku cuma anggap dia teman, nggak lebih."

Aku menatap Nick dalam, berusaha membaca arti dari tatapannya yang selalu sulit diterjemahkan.

"Kalau lagi gini, rasanya gue ingin jadi Lara Croft. Bisa pergi kemana aja yang gue suka, punya uang banyak, pinter, percaya diri, jagoan, dan segala yang nggak dipunya cewek lain," gumamku sambil tersenyum.

"Kenapa bilang gitu? Apa karena omonganku bikin kamu ngerasa jadi jagoan?"

"Bukan!" Aku kembali menatap Nick lekat. Bukan hanya rambut pirang dan mata birunya yang membuat Nick terlihat menarik. Bulu matanya yang cukup panjang, bibir merah, hidung mancung dan kulit putih kemerahan dengan bulu-bulu yang cukup banyak itu juga perlu diperhitungkan. Untung badannya cukup tegap dan berotot, membuatku sadar kalau dia cowok betulan. Cowok itu balas menatapku, lalu perlahan mendekat dan mengeluarkan sebuah kotak dari kantongnya.

"Happy birthday, sweety," bisiknya. "Maaf kadonya telat."

Aku terperangah, dan segera membuka kotak kecil dengan corak batik dan pita merah muda itu.

"Jam tangan?" Aku menatap benda itu dan Nick bergantian. "Maksud lo supaya gue inget waktu, ya?" tanyaku lirih.

"Ini Smartwatch, selain buat ingetin kamu bahwa waktu itu berharga, jam tangan ini juga bisa mengukur kalori, dan menelepon."

"Maksudnya bisa telepon kayak Hand Phone gitu?"

"Iya. Daripada kamu susah dihubungi," tukasnya lagi. Apapun alasannya, aku senang. Sama senangnya dengan anak kecil yang dapat mainan.

"Lo ngasihnya ikhlas, kan?" gurauku sangsi. Nick hanya tersenyum dan memainkan garpu.

"Asal kamu janji!" tukasnya sambil memijit hidungku.

Entah bagaimana, suasana hatiku jadi ikut mencair. Seolah-olah keceriaanku kembali setelah mengetahui kalau Nick tidak naksir Kimmy. Apakah aku jahat atau egois?

 Apakah aku jahat atau egois?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Nick & Tere (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang