Zainuddin Tarmidzi

550 9 0
                                    

Senja kembali memamerkan pesonanya kepada siapa pun yang memandang, tak terkecuali kepadaku. Aku bergegas menuju bukit berbekal semangkuk senyum manis yang hampir tumpah dari bibir mungilku.

Dan sesampainya di sana, mataku enggan berkedip memandang pertunjukan Maha gembira ini, bibirku benar-benar menumpahkan senyum seisinya, mataku semakin tajam menatap elok jingganya, aku benar-benar terpenjarakan oleh pandangannya.

Lama,..
Cukup lama aku duduk terkatup memandang, hingga tersadar cahya jingganya semakin meredup ditelan maghrib menjelang.

Tiba-tiba..
"Assalamu'alaikum, apa yang kamu lakukan di sini?"ucap pemuda itu.
Sontak aku pun berdiri dan terkejut.

"Wa'alaikumsallam, si...siapa kamu?"jawabku gugup.

"Aku Zainuddin,"ucapnya sambil menyodorkan tangan mengajakku bersalaman.

"A...aku Kadeeja, panggil saja Deeja,"jawabku tetap gugup dan menolaknya dengan sopan untuk bersalaman.

"Boleh duduk di sini?"ucapnya.

Aku hanya mengangguk, tanpa berani menatap matanya.

"Baru kali ini aku melihatmu, apa kamu asli penduduk sini?"tanyaku penasaran.

"Aku asli penduduk sini, kamu kenal dengan Ibu Saras?"ucapnya.

"Bu Kades maksudmu?"tanyaku.

"Iya, aku putranya, sejak usia sepuluh tahun aku sudah di pesantren, jadi wajar kalau jarang kelihatan, hehe.."jawabnya dengan sedikit tawa.

"Oh seperti itu, pantas saja,"ucapku.

"Tapi aku sering melihatmu, hanya saja baru kali ini berani menghampirimu,"ucapnya.

"Apa benar? Katamu---,"tanyaku dan tiba-tiba ia memutus pembicaraanku.

"Maksudnya, aku sering melihatmu hanya setiap kali aku pulang ke rumah, seperti sekarang ini,"sahutnya.

Pertemuan sekaligus perkenalan itu adalah sesuatu yang sangat berkesan bagi kami berdua.

===============================================

Mas Zainuddin adalah sosok yang begitu sopan, sangat menghargai wanita, dan dewasa, terlihat dari caranya berbicara dan bersikap. Dan dari situlah aku mulai merasa ada yang lain ketika memaknai hadirnya.

Namun, seketika bahagiaku menjelma dilema yang luar biasa, sebab Mas Zain harus terbang ke Kairo Mesir untuk melanjutkan Studynya di Universitas Al-Azhar.

Sebelum keberangkatannya, ia sempat mengajakku bertemu untuk sekedar berpamitan. Seperti biasa, dengan semangkuk senyum yang hampir tumpah ruah dari bibirku, aku bergegas menemuinya.

"Jaga dirimu baik-baik Deeja, aku akan merindukan ini semua,"ucapnya.

"Gombal deh, apaan sih rindu-rindu,"jawabku malu-malu.

"Bukan kamu yang kurindukan, tapi tempat ini,"ucapnya meledekku.

"Oh yasudah,"jawabku dengan wajah sedikit cemberut.

"Utututu..Deeja bisa cemberut,"ledeknya lagi.

"Besok aku akan berangkat pukul sembilan, kamu ingin ikut mengantarkanku?"lanjutnya.

"Tidak mas, aku malu dengan keluargamu,"jawabku.

"Kenapa harus malu Deeja?"tanyanya.

"Tidak apa mas,"jawabku seadanya.

"Yasudah, aku pulang dulu, kamu tidak apa-apa di sini sendirian? atau kita pulang bersama saja?"ucapnya.

"Tidak mas, mas saja dulu,"jawabku singkat.

"Baiklah, aku pulang dulu,"pamitnya dan tiba-tiba dia mengelus kepalaku yang terbalut kerudung.

"Iiiihh berantakan nih kerudungku,"ucapku dengan nada kesal.

"Nggak papa, sekali ini saja, besok-besok sudah tidak ada yang meledekmu bukan? Ohya, ini ada selembar surat untukmu, baca ketika aku sudah berangkat besok ya, dan titip salamku untuk ibumu, Assalamu'alaikum Deeja,"ucapnya sekaligus salam terakhir yang kudengar dari mulutnya.

"Wa'alaikumsallam Mas,"jawabku sedih melepas kepergiannya.

Aku tak dapat berkata-kata dan menatapnya lagi, perihal surat dan juga salam untuk ibu, pandanganku terlalu lemah untuk berlama-lama menyaksikan keberanjakannya.

Ia akan tinggal lama di kairo, lalu bagaimana nasib cintaku padanya yang sudah tertanam dan tumbuh ini?

===============================================

"Bu, Mas Zain menitip salam untuk Ibu, besok ia akan pergi ke Kairo Mesir untuk melanjutkan studynya,"ucapku pada Ibu.

"Wa'alaikumsallaam, Masya Allah hebat sekali nak Zain,"jawab Ibuku dengan bahagianya.

"Iya bu, beruntung sekali kedua orang tuanya, memiliki anak seperti Mas Zain, pula beruntung ia memiliki kedua orang tua yang selalu menyayangi dan berbuat baik padanya,"ucapku sedikit sedih sebab mengingat keluargaku yang sudah tidak utuh lagi.

Ayah dan Ibu bercerai sejak usiaku menginjak sembilan tahun, aku hanya tinggal bersama Ibu di desa, sedangkan Ayah di kota bersama keluarga barunya.

"Deeja, setiap manusia sudah memiliki porsi dan tempatnya masing-masing, tapi percayalah sebesar apapun keberuntungan yang diberikan Allah kepada hambaNya adalah senantiasa tanda bukti kekuasaan dan kasih sayangNya kepada kita, sudah sana kamu masuk kamar saja,"ucap Ibu, mungkin Ibu merasa tersinggung dengan ucapanku, hingga Ibu mengalihkannya.

I'm DeejaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang