Dedaunan kering mulai berjatuhan dari tangkainya. Pertanda bahwa tak ada lagi harapan untuk melanjutkan tugasnya. Seperti ciri khas makhluk bumi, 'Mati setelah tiada kehidupan."
Seorang gadis berambut sebahu itu tersenyum lebar kala menginjakkan kakinya pada bagian depan bangunan yang terlihat berdiri kokoh di antara bangunan modern lainnya. Manik hitam itu asyik menatap penuh binar saat melihat sekitar.
"Anak-anak, ayo masuk!" serunya kemudian.
Langkah tergesa dari dalam bus kota usang di depan pagar tak bisa dihindari. Suara ribut dari belasan pasang kaki terdengar bersautan. Berlomba-lomba memasuki bangunan yang nantinya akan mereka sebut sebagai 'Rumah'.
Yah, setidaknya bangunan panti yang baru dikontrak ini lebih besar dan layak untuk anak-anak tinggali, pikir gadis itu yang sekarang tengah meladeni bayi kecil dalam gendongannya.
Dia adalah Naya Aryani Borealis. Entah bagaimana nama itu berada dalam kardus bersama dirinya yang masih bayi.
Kalau kalian berpikir bahwa Naya adalah donatur atau pemilik panti asuhan, kalian salah besar. Gadis itu juga anggota panti. Termasuk anak-anak yang sedang berputar-putar penuh semangat menelurusi setiap detil rumah yang akan mereka tempati.
"Kamu masuk jam berapa, Nay?" Gadis itu menoleh, menemukan Ibu kesayangannya tengah menaruh tas besar di depannya.
Wanita itu bukan ibu kandung Naya. Dia adalah ibu pemilik panti. Ibu sambung semua anak di panti, termasuk dirinya. Anak-anak biasa memanggilnya Ibu Ajeng. Walaupun lebih nyaman jika cukup dengan sebutan Ibu saja.
"Mungkin agak sorean, bu. Naya udah izin bakal telat hari ini."
"Ya sudah. Sebelum masuk, jangan lupa bantuin ibu beberes barang dari bus dulu ya." Naya mengangguk, lantas bergegas menuju kamar di ujung lorong. Menidurkan si Cempluk, bayi gembul yang sudah terlelap sambil menghisap ibu jarinya.
"Sstt... Iman! Sini dong," Bocah dengan kulit sawo matang yang tengah asyik memainkan kipas angin di kamar depan menoleh. Mendapati namanya yang terpanggil dengan suara bisikan.
"Ada apa to, Mbak Nay?"
"Jagain Cempluk tidur ya, Le. Mbak Naya mau bantuin Ibu dulu. Nanti pulang kerja Mbak belikan cupa cup deh."
"Wokey, siap mbak!" Iman mengacungkan kedua ibu jarinya sambil tersenyum lebar. Mau tidak mau membuat Naya ikut menyunggingkan senyumnya juga.
Kepala Naya bergerak mencari di mana keberadaan wanita paruh baya yang tadi hendak ia bantu. Kemudian netranya menangkap siluet orang yang dicarinya tengah berada di dapur.
"Ibu, Naya cari di luar ternyata malah di sini."
"Hehe, ibu haus, Nay. Mau minum air dingin lupa kulkasnya belum dipindahin."
Naya menggelengkan kepalanya. Lalu ikut mengambil air yang entah dari kapan sudah berada dalam teko plastik dari panti lama.
"Apa tidak apa-apa kita pindah ke panti yang baru ini, Nay?"
"Maksudnya?"
"Yah, kamu tau 'kan. Panti ini biaya sewa kontraknya jauh lebih besar dari panti kita dulu."
Naya tersenyum tipis. Menaruh gelasnya yang sudah kosong lalu beralih menatap Ibunya dengan teduh.
"Ibu tenang aja ya? Naya yang bakal usahain untuk cari uang dan yang lainnya. Ibu cukup jagain adek-adek dan terus berdoa buat Naya, semoga selalu dikasih kelancaran. Oke?"
"Iya deh, kamu memang yang paling bisa kalau ngeyakinin ibu. Dasar anak perawan!" jawab ibu Ajeng sembari memeluk anak kesayangannya.
"Iya, Naya emang anak perawan. Satu-satunya anak perawan Ibu!" Naya tersenyum dan langsung membalas pelukan Ibu asuhnya.
Mengenai masalah anggaran. Sebenarnya, gadis itu pun tidak tahu harus bagaimana. Memang tagihan kontrak panti di ambang kemampuannya. Ia hanya tidak ingin membebani keluarga besar terkasihnya itu jika mereka mengetahui apa yang terjadi. Biarlah orang menyebutnya pengecut.
Kepribadiannya seperti buku. Keras di bagian covernya saja. Terlihat kokoh diluar. Namun, ada ratusan-ah ralat- ribuan ketakutan yang disembunyikannya sendiri. Bukannya ia tidak mau membagi keluh kesahnya, Hanya saja ditinggal hidup sendiri sedari kecil membuat pribadinya menjadi lebih tertutup.
Dalam prinsipnya, selagi masalahnya bisa ia atasi maka tidak perlu melibatkan orang lain. Walau harus tertatih sekali pun.
_________________________________________________
Hiruk pikuk di sebuah restoran cepat saji dekat jalan besar itu tak terlihat akan berkurang. Malah semakin malam semakin ramai akan pengunjung. Pelayan dan koki bergerak cepat memasak dan menghidangkan aneka pesanan yang sudah dinanti hidangannya,
"1 Ayam Katsu dan 2 Cola besar meja nomor 20!" Seru Naya di pintu dapur. Tangannya menempelkan nota pesanan di tempatnya. Kemudian segera kembali ke kasir sambil terus melayani pengunjung.
Menit demi menit dilalui Naya tanpa mengeluh, Gadis berparas manis itu wara-wiri mengantarkan pesanan, Sesekali ikut membersihkan meja bekas pengunjung untuk membantu temannya yang lain.
Tepat pukul 11 malam, restoran itu akhirnya sepi. Menyisakan sedikit keramaian di dalamnya yang berisikan beberapa pegawai dan para koki yang tengah beristirahat sebelum toko ditutup.
"Ah, kakiku rasanya mau patah." Naya menepuk-nepuk pahanya yang terasa amat pegal.
"Malam Minggu memang membunuhku! Bukannya bisa leluasa pacaran malah terjebak melayani manusia kelaparan," timpal Destine, salah satu teman Naya.
"Ey, Jomblo sepertimu memang ditakdirkan untuk melayani para bucin berkelebihan duit seperti pelanggan kita."
"Aish, gadis ini! Kamu pikir, kamu adalah wanita bersuami?!"
Naya tergelak. Memang temannya ini akan langsung naik pitam jika menyangkut masalah status hubungan.
"Hah~ rasanya aku harus menikah dengan pria kaya, deh. Tanpa bersusah payah langsung jebret! Semua penderitaan ini akan berakhir."
Destine memukul kepala belakang Naya, "Ngimpi!"
Yah, apa salahnya bermimpi 'kan?
Sabar Naya. Semoga kelak suamimu punya aset yang menjanjikan sehingga urusan keuangan tidak perlu sampai repot memikirkannya.
Ya, pasti!
Ia akan mencari jodohnya. Malu juga diumurnya yang menginjak angka 25, dirinya masih berstatus lajang. Mau dikatakan gadis sudah tidak pantas. Dikatakan wanita juga tidak cocok karena dirinya yang masih perawan. Yang jelas untuk saat ini, ia harus mencari pacar terlebih dulu.
.
.
.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Longer
RomanceSeringkali sebuah harapan tak sesuai dengan realita. Benar terkabul, tapi tidak sepenuhnya. Bagaimana cara untuk mendapatkannya? Terlebih, untuk seseorang yang sangat menantikan kebahagiaan walaupun hanya secercah. Naya untuk Chandra saat itu, "You...