Pagi ini Ata belum menyentuh sarapannya sama sekali akibat harus bolak balik toilet. Perutnya mules nggak berhenti-henti. Pasti ini karena kue semalam, bisa jadi Ila mengambilnya tanpa tahu kalau itu kue dua bulan lalu.
"Masih sakit Ta?" Mami Winda ikut cemas. Ia menunggui Ata di depan pintu. "Kamu makan apa emang semalem?"
"Kue di kulkas Mi."
"Ya ampun Ata, kalo laper bilang aja, bangunin Mami kan bisa."
Setelah mendengar bunyi flush, Ata keluar dari toilet dengan perasaan lega.
"Hari ini nggak usah sekolah dulu ya?"
"Jangan deh Mi, nggak enak sama gurunya." Ata memang bukan murid yang teladan-teladan banget, sampai diberi piagam penghargaan. Tapi, dia paling anti kalau harus nggak masuk sekolah apalagi cuma karena masalah sepele.
"Daripada di sekolah kamu masih sakit perut, libur dulu aja ya nak. Sehari aja, nggak ngaruh apa-apa kok, Ila aja masih naik kelas." Memang beda antara Ata dengan Ila. Ila setiap ada kesempatan pasti kalau bisa nggak masuk sekolah. "Nanti Mami hubungin sekolah, kamu naik aja ke kamar, nanti Mami buatin minuman biar perutnya agak enakan."
"Ata minum jamu-jamu aneh aja deh, nggak apa-apa, daripada nggak masuk sekolah."
"Udah nggak usah bandel, cepetan masuk kamar." Kata Winda menyentak. Mau nggak mau Ata menurut.
Di depan kamarnya Ata berpapasan dengan Ila. "Ata mau ambil tas? Udah aku taro di depan tuh."
"Nggak jadi sekolah." Ata putar balik, ke ruang depan hendak mengambil tasnya kembali.
Ila menatap Ata curiga. "Lho kenapa?"
"Sakit perut, karena kue kamu semalem." Ata menekuk wajahnya dalam-dalam. Sudah dapat diare pagi hari ditambah nggak jadi sekolah, duh bete.
"Ya maaf Ta, niat aku kan baik." Ila sedikit prihatin, tapi iri juga. Andai yang kena sakit perut itu dia, pasti sudah mengumandangkan lagu kejayaan karena nggak usah masuk sekolah.
"Udah sana sekolah," kata Ata seakan mengejek Ila.
Ila berlalu sebal. "Mami licik ih, masa Ata dibiarin nggak sekolah, giliran aku aja dipotong deh uang jajannya." Suara Ila menggema di seluruh ruangan.
"ILA! Cepet berangkat sekolah!" Teriak Winda nggak kalah kencang. "Nanti Papi telat."
Ila cepat menghampiri Hadi yang selesai memanaskan mobil. Ila memang biasanya berangkat bareng Papinya, karena jalannya yang searah. Baru deh pulang di jemput Ata. Ya Tuhan, kapan sih Ila punya kendaraan sendiri, biar nggak ribet hidupnya. Eh, Ila punya motor ding, tapi tetap aja belum boleh mengendarainya.
"Nanti, aku pulang sama siapa?"
"Nanti aku jemput, bawel." Ujar Ata yang mulai merasakan melilit lagi di perutnya.
--
Jam pertama di kursi kesayangan—karena letaknya strategis jarang dijangkau guru-guru— nggak ada yang lebih menyenangkan selain... selain baca fan fiction bias kesayangan, sambil dengar lagu. Semua orang asik sendiri. Cowok-cowok milih kabur daripada mengerjakan selembar tugas, kalau yang cewek-cewek berkumpul jadi satu di meja Meka. Meka memang orang yang paling cepat mendapat informasi atau lebih jelasnya Meka itu biang gosip. Semua hal dibicarakan, termasuk kenapa tukang sapu sekolah nggak mau lagi menyapu di bawah pohon dekat gerbang. Tinggal Beby sendiri duduk di belakangnya.
Kalau tahu nggak ada guru yang masuk kayak gini, mending Ila di rumah aja tadi. Sebel.
"Widiiih, baca apaan sih La." Ponsel Ila ditarik Gaga yang baru datang dari kantin. "Sehun menahan Sohye, Sohye tak mampu berbalik tak ingin memperlihatkan air matanya. Sohye berontak kemudian berlari. Sehun menatap nanar kepergian gadisnya." Gaga bercerita dengan dramatik kontan membuat semua pandangan tertuju kepadanya. "Apaan sih La, kayak gini kok dibaca."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lacuna
Teen FictionHuuuuft. Ila nggak bisa bayangin gimana rasanya kalau dia nggak nge-dance dalam satu hari. Tapi Ila jauh nggak bisa bayangin kalau jauh dari Ata.