Preambule

527 85 32
                                    

Adu mulut itu sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan kenapa angka yang berbisik dalam benaknya hanya masuk dalam rentang dua puluh. 23.

Selagi berdiri di pinggir jalan menunggu angkot yang lewat, telinga gadis itu seakan menjelma menjadi sebuah teknologi canggih yang menyelip di antara dua sejoli dengan perdebatan mereka di meja cafe bagian luar. Sekalipun ingin menutup pendengaran, telinga seolah berontak, terus menyaring percakapan yang seharusnya tidak terdengar siapapun. Kemampuan ini sering menyulitkannya, secara tak terduga begitu peka pada percakapan tiap pasangan secara acak. Tapi tahun-tahun yang dilewati membuatnya terbiasa.

"Kenapa kamu baru bilang sekarang, sih? Setelah kita bahkan udah cetak undangan? Gila kamu, ya?"

Dada gadis itu berdetak kuat. Sekali lagi, angka yang sama berbisik dalam kepalanya. 23. Kadar kecocokan rendah. Bersatu dalam hubungan dengan label apapun ibarat membangun jurang untuk berdua. Yang menanti hanya kehancuran. Angka itu mutlak. Kenyataannya tetap. Kedua orang itu tidak cocok satu sama lain. Tapi mereka bahkan sudah merencanakan pernikahan? Nekat betul.

Gadis itu menghela napas. Oh, sekali lagi pasangan yang tidak berjodoh akan segera mengambil jalannya masing-masing. Berdasarkan pengalaman, beberapa skenario berubah menjadi dugaan-dugaan yang dia simpan sebagai prediksi akan apa yang terjadi dalam beberapa detik.

Entah mungkin teriakan, minum mengucur bak pancuran yang membasahi lawan bicara, atau mungkin…

"Brengsek!"

Oh, rupanya tebakan kedua yang terjadi. Kepala gadis itu berbalik, mendapati bagaimana si laki-laki yang tengah duduk sudah basah kuyup, bahkan ada ceri utuh yang jatuh di rambut tebalnya. Semua orang kelihatan terkejut. Terkecuali sang gadis. Matanya menatap datar, sudah menduga apa yang sekarang menjadi bahan omongan orang sekitarnya. Gadis itu melihat sekitarnya tak acuh.

Ini akibat kalau jodoh dipaksakan. Itu kesimpulan yang dia percaya, dan peristiwa yang tercatat dalam pengalamannya hari ini tidak lain ada untuk menguatkan kesimpulan dalam benaknya.

Sambil memalingkan kepala kembali ke arah jalan, tangannya bergerak merogoh saku. Dia ingin memusatkan perhatiannya pada hal lain, bukan pada pasangan yang sibuk ribut, ataupun orang-orang di sekitarnya yang sibuk membicarakan padahal angka kecocokan mereka dengan hubungan yang mereka jalani bersama pasangan--atau mungkin calon--tak kalah rendahnya. Baru saja ponselnya dinyalakan, satu sentakan terasa dari belakang. Ada tenaga tiba-tiba yang membuatnya sedikit terhuyung ke depan, nyaris menjatuhkan ponselnya.

"Eh, sorry."

Hanya kata-kata itu yang dia dengar, terucap begitu terburu-buru dari seorang laki-laki dengan jaket hitam dan topi yang berlari begitu saja, menghilang di tengah kerumunan pejalan kaki.

Tak lama setelah itu, suara lain terdengar dari belakangnya. Dua orang berlari dan berteriak dengan napas tersenggal, "Itu yang nyuri tadi!"

Laki-laki berjaket hitam itu tidak membuat otaknya menggemakan angka. Tidak ada yang bisa gadis itu rasakan. Tidak ada angka. Hanya satu sosok yang pergi bak sambaran kilat.

Sesaat gadis itu tercenung, mencoba mencerna sedikit peristiwa unik sekilas yang baru saja terjadi, namun beberapa detik kemudian kepalanya menggeleng. Mungkin karena laki-laki itu terlalu cepat berlalu membuat matanya tak sempat menangkap jelas sosok itu untuk dibaca.

Ah, nggak penting juga. Batinnya. Gadis itu menghela napas. Toh, seorang Riska Athayaputri terlahir bukan untuk melihat kadar kecocokan tiap orang dari hubungan pribadi mereka yang sama sekali tidak perlu dia urusi.

*

Catatan kecil:

Welkam tu de janggel, mentemen sekalian. Kali ini aku mau kenalin Riska dan Erga, dua dede dede gemes yang bakal jadi tour-guide kalian di sini.

Aku mau coba balut kisah anak remaja jaman now dengan cara yang sedikit lebih magis. Di sini, tokoh Riska aku buat bisa ngerasain kadar kecocokan seseorang dengan angka yang dia dengar di kepala. Kenapa nggak kayak liat angka aja di dekat orang itu? Hng, aku rasa itu terlalu mencolok(?). Aku mau coba eksekusi dengan cara yang lebih rasional sekalipun ada sedikit unsur magisnya. Mungkin, ketimbang beberapa teenfic pada umumnya, bahasa yang aku pake nggak ringan. Tapi aku berharap tetap bisa berbagi gimanapun eksekusi cerita ini ke depannya.

Aku masih tunas muda di tanah teenfic, jadi mohon bantuannya ya.

Salam,

Anak yang malas
pramuka, Arata

RECTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang