[1] Riska Athayaputri

388 69 51
                                    

Welcome to RECTO

---

Saat umur 5 tahun, sebuah keajaiban terjadi dalam tubuh kecil Riska

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat umur 5 tahun, sebuah keajaiban terjadi dalam tubuh kecil Riska. Tidak ada yang bisa menjelaskan persisnya apa dan bagaimana, pun si pemilik tubuh. Tapi yang dia tahu, dadanya memberikan detakan lain begitu melihat banyak orang, dan kepalanya mulai menggemakan angka-angka yang entah untuk menghitung apa.

Dengan kondisinya, Riska tidak tahu apa-apa. ada angka 100, 85, 70, 50, bahkan 10. Dan angka 10 itu menyusup ke dalam kepala dan menyelimutinya begitu Riska melihat kedua orang tuanya. Hal itu mengejutkan, memberi rasa panik yang sayangnya tidak bisa dibagi karena orang tuanya sibuk adu mulut dengan masing-masing peluru makian yang diletuskan pada satu sama lain.

Dulu, Riska tidak begitu mengerti. Tapi sekarang dia mengerti. Dia tahu betul. Itulah yang terjadi ketika dua orang yang kurang cocok—atau mungkin bisa dibilang tidak berjodoh meskipun kesannya lebih kasar—disatukan dalam sebuah hubungan. Usaha untuk bersatu dalam harmoni memang dibutuhkan, namun apa gunanya jika pada akhirnya ketidakcocokan itu merupakan hal yang mutlak?

Cocok dan tidak cocok itu ada di sekitar. Begitu banyak. Bisa ditemukan di mana saja. Tapi sepanjang 17 tahun hidupnya, Riska lebih sering menemukan kata “tidak” dalam tiap hubungan, yang nampaknya kurang disadari pihak yang bersangkutan.

Contohnya, seperti saat ini. Riska bahkan baru saja tiba di koridor selatan sekolah dan menemukan dua muda-mudi sibuk dengan percakapan yang melibatkan suara tinggi pencekik leher.

“Duh, pagi-pagi gini udah berantem lagi aja. Pikir sekolah nenek moyang apa?”

Suara itu membuat Riska berhenti melangkah, tubuhnya berbalik dan mendapati teman sebangkunya, Nando, tengah berjalan sambil geleng-geleng kepala. Butuh beberapa detik hingga tatapan Nando teralih pada Riska.

“Eh, pagi, Ris,” sapanya. “Tumben berangkat pagi.”

“Kayaknya lo yang tumben berangkat pagi,” Riska sedikit memiringkan bibir. “Mau nyontek PR siapa?”

“Astagfirullah, Ris, menuduh pagi-pagi itu tidak bagus.” Telunjuk Nando bergerak ke kiri dan kanan. “Kali ini gue punya kegiatan yang lebih berfaedah. Gue mau siap-siap buat siaran pagi,” kata Nando lagi. “Kemarin gue resmi jadi anggota radio sekolah.”

“Radio sekolah?”

“Iya.”

Ada informasi yang sering mengejutkan dari temannya hari ini. Dari yang Riska tangkap, Nando kelihatan lebih bersemangat hari ini. Temannya yang pemalas ini ikut ke dalam kegiatan ekstrakulikuler pagi? Mungkin ada keajaiban yang sedang terjadi, pikir Riska. Sesaat, matanya mencoba lebih memperhatikan Nando lebih saksama, merasakan perubahan-perubahan kecil bahkan dari aura yang memancar.

85.

Angka itu berbisik pelan, menyelinap dalam kepalanya, membuat Riska mengerjap sesaat. Angka yang sebelumnya dia rasakan dari Nando berubah. Kalau tidak salah, kemarin angkanya masih 45. Ada perkembangan pesat.

Meski tidak begitu mengerti, ada satu asumsi yang bisa Riska buat. Nando mungkin bertemu dengan orang baru, tengah atau akan menjalani hubungan dengan tingkat kecocokan yang lebih baik dengan mantan pacarnya yang lalu.

Good for you, then, Do.

Satu senyuman kecil terukir di bibir Riska, tanpa mengatakan apa-apa langsung berbalik, kembali berjalan menyusuri koridor dengan Nando yang nampak keheranan namun ikut melangkah, menyejajarkan posisinya dengan Riska.

Betewe, Ris, baca grup semalam?”

“Nggak. Kalian rusuh.”

“Padahal lagi rame lho.”

Riska menolehkan kepala, melihat Nando yang memampangkan cengiran. Baginya, sosok Nando ada sebagai ketuk palu untuk pemikiran kolot seperti gosip yang biasanya disangkutpautkan dengan perempuan. Nyatanya, Nando yang laki-laki pun lebih antusias dengan gosip ketimbang dirinya. Gosip itu seperti darah dalam daging, tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin seseorang.

“Katanya hari ini ada anak baru. Di kelas kita,” Nando melanjutkan. “Pindahnya tiba-tiba banget, tanggung lagi.”

Sambil membuka pintu kelas, Riska bertanya, “Sekolah memang terima anak pindahan kelas 3?”

“Nah, itu. Semester kemarin aja kan, ada yang nggak diterima masuk sini. Ini kok semester 2 malah diterima?” balas Nando. Dia meletakkan tasnya tanpa duduk di kursi. “Kata Sera sih kemungkinan anak berduit. Kemarin Sera lihat ada cowok keluar dari ruang kepala sekolah, terus pulangnya naik BMW. Orang kaya pasti tuh.”

Riska hanya diam, mencoba menanggapi dengan anggukan kepala seadanya. Kasihan juga, pikirnya. Anak baru yang bahkan belum memijak kelas dan dikenal tapi sudah menjadi topik pembicaraan. Mungkin, apa yang dibicarakan di grup kelas semalam bisa lebih liar dari kata-kata Nando sebelumnya.

Tapi, hal itu juga jadi alasan yang lebih mudah dipercaya. Karena pada dasarnya, manusia dengan lembar-lembar uang yang dikantunginya bisa lebih mudah mengendalikan dunia, kan?

Riska menjatuhkan tas di meja, menempatkan diri di kursi sementara kepalanya bersandar pada tasnya. “Kalau dia pindah ke sini, memangnya mau duduk di...”

Kata-kata itu menggantung di bibirnya sendiri. Karena tanpa menyelesaikan pertanyaannya pun, sudah ada jawaban yang diberikan tepat di samping kanan Riska. Bangku di samping kanannya itu selalu kosong.

Dan itu hanya berarti satu hal. []

---

° T O ° B E ° C O N T I N U E D °

° T O ° B E ° C O N T I N U E D °

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pendek pendek doeloe gais. Anggap aja perkenalan. 👌

RECTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang