[2] Laksamana Erlangga

251 45 23
                                    

Welcome to RECTO

---

“Sayang lho, Ga, kamu pindah gitu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Sayang lho, Ga, kamu pindah gitu. Tapi jujur aja aku lebih nggak ngerti lagi sama sekolah yang nerima kamu.”

Kalimat dari Anisa yang diucapkan lewat telepon membuat Erga menggeram, menyandarkan punggungnya di pintu depan sementara menunggu Pak Sarip mengeluarkan mobil dari parkiran. Erga memindahkan ponselnya ke telinga kiri kemudian membalas, “Pasti bokap buat sesuatu sih.”

“Lagian kamu juga, kenapa bisa di-DO gitu sama sekolah?”

“Karena gue maunya begitu.”

“Dasar gendheng!”

Biasanya kalimat itu Erga terima dengan teriakan juga gelengan kepala. Tapi kali ini, dengan suara pelan dan halus ala Anisa, kalimat itu diucapkan beriringan dengan gelak tawa. Bisa Erga bayangkan bagaimana gadis itu di tempat tidurnya geleng-geleng kepala dan malah memamerkan cengiran.

“Harusnya mereka nggak usah repot-repot cari sekolah baru. Harusnya mereka...”

“Erga, mungkin itu berarti kamu harus pakai cara lain,” potong Anisa di ujung sana, membuat Erga tutup mulut seketika. “Nggak harus sampai bikin kamu dikeluarin.”

Dikeluarkan sebenarnya bukan rencana utamanya. Tujuannya pun bukan begitu, bukan untuk dikeluarkan. Jujur, ini bahkan sebuah kesalahan. Namun itu hasil yang harus Erga tuai, dan dia memilih memandang hal tersebut dalam lingkup positif, yang sayangnya kurang memuaskan. Erga pikir dengan dikeluarkannya dia dari sekolah, paling tidak akan ada pertemuan di ruang keluarga. Tapi, tidak ada. Yang ada hanya sebuah omelan singkat yang hanya terjadi selama beberapa detik karena kemudian kedua orang tuanya justru pergi lagi, mengurusi urusan yang menurut mereka penting. Di dua hari berikutnya, tahu-tahu Erga diberitahu du minggu depan dia akan masuk ke sekolah baru.

Sekarang Erga hampir kehabisan ide. Buntu. Buram. Tapi menyerah pun tidak akan mengubah keadaan. Erga tahu karena dia sudah coba menyerah.

Menyerah bukanlah pilihan. Tapi tidak ada gambaran rencana barang secuil pun dalam kepala.

“Terus gue harus pakai cara apa? Mereka kayak melepas tanggung jawab tahu, nggak. Kalau kayak gitu kenapa nggak sekalian titipin gue sekalian aja ke panti asuhan?”

Bagai api yang terus disirami minyak, kalimat Erga sendiri membuat emosinya semakin memuncak. Dia jengkel. Tapi dibanding semua itu, Erga lebih jengkel karena tahu fakta itu mungkin tidak akan berubah. Hingga detik ini, tidak ada apapun yang berubah. Keadaannya masih sama. Seribu cara sudah dia lalui, namun tak satupun berhasil membawanya pada garis akhir bahagia yang dia impikan.

Ada sesuatu dalam dadanya yang bisa meledak detik itu juga, namun air dingin berwujud sahutan pelan mengendalikan amarahnya.

“Tenang, Ga. Emosi nggak akan membantu kamu.”

Erga mencoba mengendalikan pitamnya lewat helaan dan embusan napas teratur sementara mobil yang dibawa Pak Sarip kini terparkir di depan rumah. Punggungnya berubah lurus, kaki dengan tak sabar melangkah mendekat ke mobil, namun terhenti sebelum tangan meraih gagang pintu.

“Gue berangkat dulu, Nis. Nanti lagi, ya?”

“Hati-hati, Ga,” ujar Anisa. “Baik-baik di sekolah. Udah semester dua, jangan pindah lagi.”

Nggak janji, begitu Erga menjawab dalam hati. “Sore nanti gue jenguk lo, oke?”

“E-eh, nggak usah. Aku...”

“Ntar pokoknya gue datang. Oke? Bye.”

Erga langsung mengantungi ponselnya tanpa mematikannya, beranggapan kalau Anisa akan mematikannya. Cuek, Erga masuk begitu saja ke mobil, menyandarkan punggungnya ke kursi sementara kaki mengangkang lebar.

Dengan tangan yang memegang stir mobil, Pak Sarip menoleh ke belakang. “Berangkat ya, Den?”

“Diputar-putar aja jalannya, Pak. Cari jalut macet, biar saya nggak perlu masuk.”

Yang bisa Pak Sarip berikan hanyalah kekehan kecil, sebelum kakinya menginjak pedal dan melajukan mobil keluar dari pekarangan rumah, membawa Erga ke tempat tujuan dengan rute jalan yang sebelumnya sudah dipesankan Pak Hamzah, ayah Erga, tadi pagi.

Ingin rasanya Pak Sarip mencoba mengutarakan pikirannya, berharap hal tersebut bisa sedikit merekatkan tali yang sempat terputus. Sebagai orang tua pun, Pak Sarip tak bisa membantah kalau saja Erga anaknya, dia pasti akan menegurnya. Tapi sebagai seorang anak pula, Pak Sarip tahu apa yang dia inginkan jika saja dia menjadi Erga.

Dalam keheningan, Pak Sarip hanya bisa membawa mobil ke tempat tujuan sementara hati kecilnya sedikit berdoa. Semoga ada sesuatu yang dapat membuat Erga... jadi lebih baik. []

 []

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
RECTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang