Sepeda Tua

6 1 1
                                    

Aku tersentak seketika kala teringat semua penjelasan dari seorang ustadz peraih peringkat terbaik di Nurul Huda, Pondok Pesantren naungan abah yang konon tersohor itu

"Allah telah menakdirkan anak adam sebagian dari zina yang pasti akan dialaminya.Zina mata adalah pandangan, Zina mulut adalah ucapan, Zina hati adalah harapan dan keinginan.Dan farji akan membenarkan atau mendustakannya" (Al-Hadits)

Memandang, mengucap, dan mengharap sesuatu yang tak seharusnya, sesuatu yang tak semestinya, sesuatu yang tak sepantasnya serta sesuatu yang tak halal baginya.Bentuk-bentuk zina majazi dalam uraian ustadz muda nan cerdas itu kini terus terngiang di telingaku

"Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya itu adalah perbuatan yang keji dan jalan yang buruk"

"Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka"

"Apakah engkau memerintahkan kepada orang lain agar melakukan kebaikan dan kau lupakan dirimu sendiri, sedangkan engkau (adalah seseorang yang dapat) membaca kitab?"

Ayat-ayat dari beberapa juz hafalanku seakan turut menghakimiku.Membuat sekujur tubuh terasa kaku, panas dingin dengan keringat yang terus mengucur mengingat siksa yang Allah ancamkan pada diriku

Sepertinya aku harus mereset otak lalu menutup dan mengunci rapat pintu hati.Biarlah ku jaga mata, hati serta kesucian rasa ini, me-remove lalu mengabadikan namanya dalam do'a yang kan tercatat di langit selamanya

Malam semakin dingin dan sunyi , ku lihat jam yang berdiri kokoh disamping almari telah menunjukkan pukul 20.45 WIB yang artinya aku harus segera mengunci kantor diniyah Himmatul 'Ulya karena jam pulang telah lewat seperempat jam yang lalu tepatnya

Aku berjalan keluar dari pintu ndalem sambil memainkan seonggok kunci yang telah berada di genggaman, menyusuri halaman Himmatul 'Ulya yang kini telah kehilangan cahaya yang terpatri di setiap sudutnya

Hanya tinggal satu kelas di sudut samping tempat wudlu yang hingga kini masih benderang.Mungkin sebagian santri masih setia dengan kegiatan takror bersama

Ku tunda niat untuk mengunci pintu kala melihat arsip diniyah berisikan foto dan data diri seluruh santri tergeletak di atas meja guru

Tak pernah terbesit sekalipun di pikiran untuk membukanya.Namun kini hati bersikeras memerintah membuka buku setebal mushaf Al-qur'an itu untuk sekedar mencari sebuah nama pengacau pikiranku belakangan ini

Seutas senyum kini terukir kala ponselku berhasil memotret biodata serta foto gadis berseragam santri yang ku pinjamkan baju kokoku beberapa hari  untuk melindungi beberapa kitab yang nilainya pastilah setara dengan separuh jiwa bagi kami yang  berstatus santri

Azkiyatul Khauro'

Seketika pelajaran bahasa arab lengkap bersama nahwu shorofnya muncul dalam ingatan menerjemahkan nama tersebut

'Nama yang indah, sesuai dengan pemiliknya bukan'

Ujarku dalam hati sekejap setelah otak beralih profesi menjadi google translete

Setelah ku pastikan bahwa pintu kantor tlah benar-benar terkunci, ku putuskan untuk duduk di teras ndalem sambil menunggu santri di kelas itu pulang.Bukan apa-apa sebenarnya, hanya memastikan agar mereka tetap baik-baik saja dan tak lupa mematikan lampunya.Inilah contoh sekilas sisi perhatian di balik wajah galakku yang tak pernah mereka ketahui.Hehe

Ku menyisir halaman Himmatul 'Ulya dengan mata elangku yang kerap kali berhasil memergoki santri yang mencoba kabur dari  jadwal semestinya.

Hingga ku temukan sebuah sepeda tua yang rasanya tak asing lagi sedang terparkir sendirian tepat di bawah pohon rindang yang rutin berbuah setiap musimnya.

Belum sempat ku temukan jawaban atas tanda tanyaku akan pemilik sepeda itu, ku lihat seseorang mematikan lampu kelas lalu berjalan menghampiri sepedanya, menuntun sepeda tua itu menuju gerbang dimana plang besar bertuliskan Madrasah Diniyah Himmatul 'Ulya terpasang.

Rasa itu kembali menyeruak dalam hati, sedetik setelah saraf motorik megirim sinyal balasan atas pesan gambar dari saraf sensorik ketika sebuah bayangan beberapa saat tadi tepat jatuh di retina mata.Rasa yang kini harus ku netralisir untuk membungkam rapat hati yang tak terkendali setiap kali aku melihatnya.

Ya, dia pemilik kitab qosidah yang terjatuh dan kotor sebab ulahku, pemilik sepeda tua yang selalu terparkir tepat di bawah pohon rindang itu, dan tentunya pemilik senyum teduh yang semenjak beberapa hari lalu rutin menyiksaku.

"Gerbang diniyah telah kau lalui, lalu mengapa sepeda itu masih kau tuntun juga Azki?"

Sontak ia kaget dan spontan menengok ke arahku meski tetap dengan kepala tertunduk

"Sejak kapan njenengan berada disana dan memperhatikanku? Darimana juga njenengan mengetahui namaku?"

Aku hanya tersenyum kecil menahan tawa yang pasti masih terlihat dengan jelas oleh mata sayunya

"Kau hanya buang-buang waktu dengan pertanyaan itu.Katakan saja apa yang terjadi dengan sepedamu?"

Ia terlihat berpikir dan ragu menjawab pertanyaanku yang kini sudah seperti wartawan dadakan

"Ban sepedanya bocor kang"

"Ini sudah terlampau malam, parkir saja sepedamu di garasi ndalem dan pulanglah dengan sepeda motorku"

"Tapi..."

"Tapi apa Azki?"

"Tapi saya tidak bisa mengendarai sepeda motor kang"

Pernyataan itu kini menambah daftar alasan mengapa aku begitu mengaguminya.Ia masih tetap benar-benar menjadi dirinya yang polos dan lugu itu di zaman milenial dimana semuanya telah terjamah teknologi.Sampai-sampai mengendarai sepeda motor pun tak bisa.

"Baiklah, parkir sepedamu disini, biar aku yang sekarang juga memompanya"

"Jangan kang, saya tau njenengan pasti tak pernah melakukannya, maka biar aku sendiri saja yang memompanya"

"Aku tau kau adalah gadis yang begitu tegar atas apapun yang menimpamu Azki.Tapi jika Allah mengirimku untuk sekedar meringankan beban kecilmu, lantas apa kau akan menolaknya juga?"

Aku ambil alih sepeda itu darinya, lalu ku pompa sekuat tenaga karena memang benar aku tak pernah melakukan ini sebelumnya.Tak apa, apapun akan ku lakukan jika itu untuk dirinya.Eak...wkwkwk.Duh, lelah aku menahan tawa yang semenjak tadi meledak dalam hati.

"Pulanglah Azki, hati-hati dan pastikan dirimu selalu baik-baik saja"

"Terima kasih kang"

Segera ia tuntun sepeda tuanya hingga gerbang diniyah tempat dimana aku memergokinya tadi, lalu sejenak menengok ke arahku yang masih mempertahankan ukiran senyum yang sedari tadi ku tutupi dengan wajah seram bak keamanan pondok itu.

Ia tersenyum membalas senyumku atau mungkin sekedar sebagai ungkapan terima kasih sebelum ia mengayuh sepedanya dan benar-benar pulang seperti apa yang aku perintahkan.Apapun motifnya aku tak peduli,  yang terpenting senyum teduhnya kini benar-benar menentramkan hatiku.Menyudahi siksa yang berhari-hari mengacaukan hati dan pikiranku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 08, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rasa dalam Untai Do'aTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang