Prolog

33 6 0
                                    


Didalam temaramnya ruangan yang hanya diteragi lampu hias berwarna kuning yang tergantung didinding, seorang perempuan berambut pendek duduk meringkuk dijendela besar.

Jika dilihat dari dekat dia terlihat sangat sedih. Bahunya bergetar dan ada isakan kecil terdegar.

Setelah sekian lama akhirnya dia meluruskan punggungnya menghapus air matanya dengan kasar. Tisu terakhir di gunakannya untuk menyeka ingus lalu melemparkan tisu itu sembarangan.

Wajahnya benar-benar berantakan dengan mata yang sembab dengan mascara dan make upnya berantakan, rambut aut-autan, hidung memerah. pokoknya benar-benar berantakan.

"Haahhh" Hembusan nafas kecil terdengar untuk menetralkan emosinya.

"Gue nggak boleh kayak gini."

Dia mencoba untuk menguatkan dirinya bahwa dia tidak boleh seperti ini. Mana dia yang dulu? mana dia yang bandel? mana dia yang berandal? mana dia yang kuat menghadapi masalah yang besar sekali pun? kenapa kali ini dia terlibat dengan drama menye-menye ini?

Ini bukan levelnya.

Setelah bergulat dengan batinnya akhirnya dia memutuskan untuk turun dari jendela, tapi setelah menginjakkan kakinya dilantai Entah sial atau apa. Tak sengaja dia menginjak tisu bekas yang ada ingusnya.

Bruukk

"Adawww"

Anti mainstream_-

"Aduuhhh.. Mamaaa.." Dia meringis kesakitan.

Sumpah demi apapun ini sangat sakit. Tulang ekornya sangat sakit dan menyebabkan pusing luar biasa. Mungkin orang lain tidak tau kalau tulang ekor terhubung dengan penglihatan dan jika itu patah itu bisa mengakibatkan kebutaan. Oleh karena itu dia berdoa semoga semuanya tidak berakibat fatal.

"Aduh pantat gue anjir.. iss rese banget sih. nggak boleh apa gue lebai dikit? Anti mainstream banget sih. Aaaggrrhh"

Bukannya berdiri atau apa dia malah mengomel sendiri padahal dia tau kalau itu tidak berpengaruh apapun. Salahnya sendiri membuang tisu bekas sembarangan.

"Uhh.. kapok deh gue." Sesalnya kemudian berdiri dengan susah payah lalu berjalan bertatih-tatih menuju toilet.

Setelah sekian menit dia keluar dengan wajah yang lebih baik walau matanya yang bengkak masih kentara.

Dia berjalan kearah jendela tadi sambil memungut tisu yang berserakan di lantai.

"Duhh.. gue sedih  kok gini amat ya? lebai banget deh." Setelah bermonolog sendiri dia terkehek geli. Astagah kalau ada yang melihatnya sedari tadi pasti akan mengira dia gila. Bagaimana tidak tadi dia menagis lalu merengek kesakitan dan sekarang? oh... ayolah belum saatnya dia gila karena dia harus melanjutkan cerita ini.

Tapi yang sebenarnya adalah prinsipnya. Dalam prinsipnya menagis boleh, marah boleh, ketawa boleh, apapun emosinya semuanya boleh selama kita masih manusia, Tapi semua harus ada kontrolnya. Nggak mungkin kan kalau kita terpuruk akan berada dalam keadaan terpuruk selamanya. Hanya orang bodoh yang nggak akan keluar dari zona itu.

Dia membuka jendela setengahnya dan yang lain dibiarkan tertutup angin pun segera berhembus di wajahnya. Dia menggigil merasakan hembusan angin yang dingin dan membungkus dirinya dengan kedua tangannya.

"Coklat panas kayaknya cocok deh." Dia turun dari jendela menganbil sendal bulunya di kolong ranjang tak lupa mengambil syal bulu berwarna coklat susu yang tergantung dan melilitnya di leher.

Dia menuruni tangga menuju dapur sebelum itu dia melirik jam dinding besar diruang tamu ternyata baru setengah delapan lewat.

"Bi... Bibi.. Bibi kemana sih? buatin coklat panas dong."

"Iya Non Bibi masih di belakang. nanti Bibi buatin. Tunggu sebentar ya." Teriak Bik Ina dari halaman belakang.

"Saya maunya sekarang." Dia berdecak kesal kemudian menghembuskan nafasnya. "Yaudah deh, saya buat sendiri aja." Dia berjalan kearah dapur.

Bi Ina mendengarnya pun teringat dengan sesuatu dia langsung meninggalkan pekerjaanya dan berlari kearah dapur.

"Non.." Dia mendengar Bik Ina memanggilnya tapi dia mengabaikannya dia berjalan terus sampai...

"Non  lantainya---"

"Aaaaa..."

Bugghh

Belum selesai Bi Ina bicara Dia langsung terpeleset 'lagi. Kepala belakangnya terbentur di sudut pintu. Bik Ina gelagapan karena panik. Tadi itu sebenarnya dia mau bilang kalau lantainya baru di pel.

"Non Yaallah Non nggak papa? tadi itu Bibi mau kasi tau kalau lantainya licin." Bi Ina langsung membantunya yang sudah pucat pasih.

"Awww.. sshhh" Ringisnya kemudin memegang kepalanya yang pusing bukan main dan berat seperti ditumpuk dengan barang yang berat. Dia merasakan sesuatu yang cair dan lengket saat dia meraba kepala belakangnya. Pandangannya seperti dipaksa ditutupi kain hitam. Dia melihat Bi Ina yang sangat khawatir bahkan sudah pucat. Pendengarannya sudah tak jelas dia hanya mendengar Bi Ina mengucapkan kata "Darah"

____
Happy your day💐
09.07.2019

AkilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang