Pertiwi adalah gadis yang cantik, wajar saja karena ia lahir dari rahim seorang ibu yang memiliki paras tercantik. Meski ibu Pertiwi sudah berusia kepala tujuh namun kecantikannya masih seperti gadis 25 tahun hanya saja belakangan beliau mengidap sakit sering muntah dan batuk-batuk, dokter bilang itu hal lumrah untuk orang seusia dia. Sudah dimakan umur katanya, terus terang ibu Pertiwi bukan wanita sembarangan ia gadis keturunan setara ningrat dengan harta warisan yang takkan habis bila dibagi tujuh turunan kecuali bila harus menutupi hutang ayah Pertiwi di luar negeri mungkin harta ibu Pertiwi akan habis. Benar, ayah Pertiwi sering berhutang kepada kawan-kawannya di luar negeri entah untuk alasan apa. Hampir setiap kesempatan ia berjumpa dengan kawan luar negerinya ia langsung meminjam hutang. Aku ingat betul bagaimana Pertiwi sangat frustasi ketika menceritakan itu kepadaku.
"Sudah berapa lama kenal Pertiwi?"
"Satu minggu pak", jawabku sopan.
"Satu minggu? Besar nyali juga kamu"
Aku tersenyum malu.
"Jadi, kamu punya apa berani melamar anakku?"
"Kamu tahukan dia gadis tercantik dan jelas dia masih perawan", tukasnya sebelum aku menjawab pertanyaannya.
"Saya punya sebidang tanah, dan seamplop senja peninggalan ayah saya."
Ayah Pertiwi mengenyit.
"Jadi kamu anaknya Sukab, sang legenda yang selalu diceritakan oleh warga gorong-gorong?", Tanyanya dengan posisi tubuh agak maju memandang setiap lekuk wajahku.
"Iya pak"
"Saya tanya dulu ke Pertiwi, semoga saja anak saya tidak segila ayahmu yang rela hidup menderita makan cinta dengan suguhan pemandangan senja"
Di luar dugaan Pertiwi menerimaku menjadi suaminya, ibu Pertiwi mengiyakan dengan senyuman, ayah Pertiwi mengiyakan dengan sedikit kesal. Mungkin ia kecewa sebab anaknya ternyata juga gila. Iya, hanya orang-orang gila yang percaya senja bisa dimasukkan ke dalam amplop. Kami hidup berdua, setiap hari kami duduk di dipan sambil memandang senja dengan sebungkus pop corn. Hingga tiba saatnya anak kami lahir, ia kunamai Rakyat suaranya riuh seperti kerik jangkrik. Saya ingat betul saat ia pertama kali menangis suaranya memantul di dinding-dinding rumah kami hingga menyebabkan retak sana-sini. Beranjak dewasa ia menjadi anak yang cerdas, sering turun ke jalanan dan pasar untuk menyuarakan keadilan namun sayang meski suaranya riuh seperti kerik jangkrik banyak orang yang memilih menuli ketimbang memikirkan orasinya.