Part 7 Kunci

249 35 3
                                    

Pulang malam dari pekerjaan sudah menjadi hal terbiasa untuk seorang pekerja kantoran sepertiku. Jangan ditanya bagaimana rasa lelah yang hinggap di tubuh ini. Pekerjaan yang menumpuk memaksaku untuk lembur hari ini.

"Besok aku mau tidur seharian." Aku berucap pada diri sendiri.

Sekilas aku melihat rekan kerja yang bersenandung kecil sambil membereskan semua barang miliknya.

"Waktunya pulang, Runi." Arini bersorak senang ketika dia akan pulang.

Aku tersenyum menanggapinya. Memang ada sedikit iri hati melihatnya pulang terlebih dulu. Namun apa daya lembar demi lembar nota belum aku selesaikan, karena siang tadi ada acara di kantor sehingga kutunda dulu.

"Kau tidak pulang, Runi? Pak bos lagi di luar kota, 'kan," kata Arini memberitahu.

"Setengah jam lagi, deh. Ini aku masih selesaikan satu tugas lagi," ujarku mengedipkan mata.

"Ya sudah aku pulang."

Arini segera meraih kunci sepeda motornya yang tergantung dekat pintu masuk.

"Di luar hujan, kamu tidak mau menunggu dulu," imbuhku sambil melihat arah jendela.

"Kan, ada jas hujan," kekehnya sembari menyambar tas.

"Hati-hati, Rin."

Arini hanya menjawab ala kadarnya dan menutup pintu kantor. Kini tinggal aku sendiri sambil menunggu dentingan jam.

Aku sampai lupa waktu jika menyangkut pekerjaan dan tahu-tahu matahari sudah tertidur.

"Wah sudah jam delapan. Pulang deh." Sambil merapikan meja, aku bergumam sendiri.

Aku bernyanyi kecil mengusir rasa takut. Setelah selesai beberes, akhirnya aku bisa pulang dengan rasa senang karena tugas selesai. Riangnya hati berganti menjadi panik ketika kunci yang kucari tidak ada di gantungan.

"Loh, di mana kunci pagar kantor, ya?"

"Di mana, sih?"

Aku mengacak rambut karena belum menemukan kunci pagar. Kantorku berada di ruko di mana kunci lantai satu dipegang oleh pegawai. Memang pegawai sini memiliki kunci sendiri untuk masuk maupun keluar kantor. Bos mempercayai kami.

"Aduh, aku lupa taruh di mana," gerutuku yang menyesali kecerobohan ini.

Tiba-tiba aku teringat sewaktu Arini pulang. Mungkinkah dia tanpa sengaja membawa kunciku? Lalu bagaimana aku mau pulang jika kuncinya terbawa Arini? Bisa-bisa bos marah besoknya.

["Jika salah satu dari kalian membawa kunci teman tanpa sengaja maka kalian harus menginap di sini sampai esok. Saya tidak mau kantor ini tidak di kunci."]

Aku merosot ke lantai mengingat perkataan bos. Jadi malam ini aku harus menginap di kantor? Tidak bisa aku bayangkan jika bermalam seorang diri.

Aku mengambil ponsel di dalam tas lalu menekan tombol nomer Arini. Sial tidak terhubung. Kutunggu beberapa menit mungkin saja Arini masih diperjalanan menuju rumahnya.

"Ya... ampun, Tuhan. Kaget aku."

Dentingan jam kuno milik bos menambah kesan seram di kantor. Rumornya ruko ini dulunya bekas pembantaian.

"Duh, apa itu yang jatuh?"

Aku beringsut mencari sumber benda yang jatuh. Ternyata hanya buku terjatuh dari atas meja. Namun, ada yang aneh. Bukankah tidak ada angin lalu mengapa buku ini jatuh? Jendela sudah terkunci.

"Arini, cepat angkat dong," kesalku dengan nada gelisah.

Suara gemerisik pepohonan di belakang ruko membuatku merinding dan si Arini tidak mengangkat telepon dariku.

"Ah ... mengapa aku sial, sih?" Aku meraung di tempat yang sepi.

"Tahu begini, aku tidak akan pulang larut malam."

"Aku, kan takut di sini. Tidak ada satpam lagi."

Bersamaan lampu di kantor mati dan hidup, tiba-tiba telepon berdering sendiri. Bukan hanya satu melainkan semua telepon memekikkan telinga.

"Gara-gara kunci, aku terjebak sial di sini." Aku mencoba menghidupkan senter di ponsel.

Loh ... apa itu? Aku mengucek mata memastikan sesuatu yang terlihat di jendela. Di belakang ruko hanya ada lahan kosong. Tidak mungkin ada yang terbang. Kuperhatikan sekali lagi dengan memicingkan mata. Oh ... tidak Tuhan. Sepasang mata sedang menatapku.

Tanganku gemetar saat berupaya menelepon Arini. Akan tetapi, yang terdengar hanya nada sambung. Peluhku kian bertambah dan dingin sekali.

"Bos tugas di luar kota dan yang lain nomernya tidak aktif. Kalian ke mana semua, sih?"

Teman-teman lainnya jika sudah berada di rumah dipastikan tidak akan mengangkat telepon dari kantor. Aku sebal kepada diri sendiri yang begitu ceroboh dan tidak menyimpan kunci di dalam tas. Kini, aku harus berhadapan dengan penunggu ruko.

Tiba-tiba saja semua lampu mati dan menyisakan sedikit cahaya dari senter di ponselku. Telepon tak berhenti berdering. Sebenarnya aku ingin keluar, tetapi di luar masih hujan deras. Terpaksa menahan diri dulu untuk tetap di sini.

"Argh.... "

Sungguh malam ini membuatku ingin menangis. Apalagi ada sentuhan dingin mengenai bahu. Aku meringkuk di lantai dan tidak berani menghadap ke belakang mencari tahu siapa yang telah menyentuhku.

"Jangan ganggu aku. Sebentar lagi aku akan pulang dan menunggu hujan berhenti," kataku kepada mereka yang tak tampak.

Aku menutup telinga ketika terdengar rintihan kemudian berganti menjadi tertawa mengerikan.

"Aku tidak mau di sini!" jeritku ketakutan.

Aku meraih tas, menutup pintu dengan tergesa dan belari menuju lantai satu. Aku tak memedulikan suara tawa yang bergema. Lebih baik kedinginan di luar daripada mati ketakutan di lantai atas.

Aku duduk bersandar di depan ruko dengan kedinginan. Biarlah menunggu seseorang yang sadar jika aku terjebak di ruko sial ini. Jalanan tampak lenggang dan sepi. Maklum ruko bos berada di perumahan. Jadi menyebalkan, bukan? Jika upahnya tak besar maka aku tak akan mau bekerja di sini.

Dari kejauhan aku menyipitkan mata. Ada sesosok yang aku kenal. Ia menyunggingkan senyuman seraya melambaikan tangan ke arahku.

"Runi, aku baru tahu kalau kuncimu terbawa olehku." Arini lalu memberikan benda putih tipis itu kepadaku.

Aku bisa bernapas lega ternyata Arini datang untuk menjemputku.

"Untung dirimu datang, Rin. Aku takut dan kedinginan di sini," kataku sambil merapatkan jaket karena dinginnya menusuk tulang.

"Aku tunggu di tempat parkir," jawabnya sambil mengedipkan mata. Kebiasaan Arini yang suka meledekku.

Aku mengacungkan jempol menanggapinya karena ada telepon berdering dari ponsel. Aku tidak kenal nomer ini.

"Halo ... "

"Saya dapat nomer ini dari ponsel wanita yang saya bawa ke rumah sakit, Mbak."

Telepon iseng, pikirku.

"Mungkin bapaknya salah sambung," selaku sambil berjalan menuju tempat parkir.

"Temannya Mbak namanya Arini, bukan? Pegawai dari PT. Aksara Jaya? Dia mengalami kecelakaan."

"Jangan bercanda, Pak. Teman saya ada di sini, kok."

"Saya tidak bercanda, Mbak. Sekarang kondisinya kritis. Saya harap anda bisa ke rumah sakit Mitra secepatnya."

Aku menjatuhkan ponsel dan tak percaya dengan perkataan orang itu. Aku berjalan cepat menuju tempat parkir.

Kosong. Sepi. Sepeda motor yang terparkir hanya milikku.

"Ini tidak mungkin terjadi. Jelas-jelas aku tadi melihat Arini memberikan kunci kepadaku."

Segera kantong celana kutelusuri mencari keberadaan benda itu. Kunci milikku yang tadi diberikan Arini ada digenggamanku sekarang.

Aku tak dapat berpikir lagi. Jika memang Arini ada di rumah sakit, lalu siapa yang datang memberikan kunci ini?

=Selesai=

"Jiwa-Jiwa Yang Lain"   ( KUMPULAN KISAH MISTERI 3 )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang