[1] I'll sit in the evening window and look at you

1.2K 85 40
                                    

Di atas sini terasa sangat tenang. Aku tidak dapat mengatakan 'entah mengapa' karena aku sendiri sudah tahu alasannya. Bunuh diri. Itu dia. Jatuh dari gedung sepuluh lantai pasti akan membuat kepalaku pecah. Otak manusia ini tidak akan berfungsi lagi. Semua impian dan harapan yang ada di dalamnya akan lenyap.

Apakah aku benar?

Kakiku selangkah lagi akan jatuh dalam lubang kematian. Hatiku sudah siap jauh sebelumnya. Kedua mataku terpejam dan tanganku terentang. Aku menyambut malaikat pencabut nyawa yang berada di bawah sana. Dengan senang hati, akan kusambut neraka mengerikan di alam baka nanti.

"Setelah semua ini--," tahan seseorang di belakangku. Napasnya terengah-engah sehabis berlari. Mungkin ia terburu-buru mengejarku. Untuk apa bersusah payah melakukan itu? Ia tidak perlu membuatku menunda kematian. Aku senang berada di sana, tanpanya.

"Apa kau akan benar-benar terjun dari sana dan meninggalkanku--," ia mengambil jeda napas di tengah kalimatnya, "--lagi?"

Kata-kata itu menghipnotisku, membuatku membeku di tempat. Bila aku pulang ke neraka sekarang, entah berapa ribu tahun lagi aku akan bertemu dengannya. Aku telah menyia-nyiakan sebuah pertemuan langka yang kutunggu sangat lama.

Aku membiarkan sosok itu melihat ekspresi frustasiku, mungkin untuk yang terakhir sebelum kepergianku ke neraka.

"Tuhan memang kejam, bukan?"

Angin berhembus kencang di atap gedung. Aku bisa melihat surainya berkobar jingga sewarna api. Di pipinya aku menemukan air mata. Lututnya melemas dan jatuh ke lantai.

"Kau yang kejam, Lucifer."

.

.

.

Shining Stars

.

.

.

Satu minggu berlalu sejak ulang tahunku yang ke-20. Aku termenung di depan jendela, memandangi langit biru. Awalnya pemandangan itu tampak menenangkan. Ada awan yang berarak di sana, juga sinar matahari yang tidak begitu terik. Namun mimpiku setiap malam mengubah perasaanku pada langit itu.

Aku pernah jatuh dari atas sana. Di mimpiku, aku melihat diriku sendiri melewati atmosfer dengan sobekan di kulit dan darah di sekujurnya. Aku menjadi amat takut dan memeluk lututku sendiri.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Aku, manusia ini bahkan belum pernah sekalipun menyentuh bandara. Tidak mungkin aku mengalami kecelakaan pesawat ataupun terjun bebas layaknya olahragawan. Sekalipun kemungkinan itu ada, tapi mereka memakai pengaman dan punya parasut di punggung. Aku tidak memiliki apapun dalam mimpi itu.

Suara ketukan terdengar dari balik pintu. Aku tersentak dan segera beranjak dari ranjang. Tidak baik membiarkan tamu di luar sana. Ketika pintu itu terbuka, aku mendapatkan sebuah pelukan hangat.

"Chuuya!" serunya memanggil namaku.

"Ah, Yuzu," balasku menyudahi pelukan gadis bersurai merah muda itu, "Kau tidak seharusnya mengunjungi kamar laki-laki. Shirase akan memarahimu karena--,"

shining stars | soukokuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang