Rumah di Pertigaan Jalan - D

12 0 0
                                    

Karena siang hari itu panas dan aku tidak suka bangun pagi, akhirnya aku sering kali bersepeda di malam hari. Seperti malam ini, aku mulai mengayuh sepeda tepat di jam 19.30.

Entah mengapa, malam ini begitu sunyi, tidak ada yang berlalu lalang di sekitar komplek. Barangkali karena sibuk bekerja para penghuni komplek menjadikan malam sebagai waktu istirahat penuh.

Wajahku basah, tubuhku basah. Aku berkeringat setelah menghabiskan 20 menit bersepeda mengelilingi komplek sekitar tempat tinggalku. 100 M di depan sana tepat di pertigaan jalan komplek, aku melihat rumah berwarna abu-abu tua yang dindingnya telah berlumut ditumbuhi tanaman merambat. Aku yakin sekali, rumah itulah yang sering diceritakan tetanggaku, rumah kosong yang sering menjadi tempat anak muda mangkal bersama pasangannya. Di halaman rumah tersebut pernah terlihat bungkus kondom, botol minuman beralkohol, suntikan, bahkan celana dalam entah milik siapa.

Rumah itu tampak suram, suasananya temaram hanya disinari oleh bias cahaya lampu jalan dan lampu halaman rumah di sebelahnya yang berjarak 5 m. Semakin dekat dengan rumah tersebut, semakin terasa sunyi dan dingin. Mungkin karena aku yang sedang berkeringat, sedikit saja angin malam menerpa, aku sedikit menggigil. "Ciiiiiiiiittt......" Tepat di depan rumah kosong itu seketika aku menarik tuas rem dan menimbulkan bunyi berdecit nyaring memecah keheningan malam. Ban bergesekan begitu keras dengan aspal, sedikit menerbangkan debu jalanan. Sebelumnya aku memang ngebut untuk segera melewati rumah kosong itu. Sosok berbuntut panjang berkaki 4 lewat begitu saja menyebrang jalan di depanku. Baiklah, karena terlanjur berhenti, aku turun dari sepeda mengambil minum yang tersemat di plang sepeda. Sejuk perlahan memenuhi mulutku yang memang sudah kering, kurasakan air mengalir ditenggorokan memberikan efek segar.Ku lirik rumah tanpa penghuni itu, rumput setinggi lutut memenuhi halamannya yang cukup luas, tapi jika diperhatikan, dari jalan hingga ke pintu rumah tersebut ada rumput yang rebah seperti sering dinjak dan dilalui orang, lebarnya hanya setapak kaki.

Mungkin gosip itu benar, rumah tersebut memang sering menjadi tempat ngumpul anak muda. Pikirku.

Setelah melihat jejak rumput, mataku malah penasaran berkeliaran ke setiap pojok rumah. Jendelanya ada 6, kaca jendelanya pasti ada yang pecah, ada seperti kaca runcing bersinar terkena sorot lampu jalan. Hipotesisku bekerja. Semakin lama aku memperhatikan jendela rumah yang pecah, aku seolah mendengar suara seperti mendesah. Jarak rumah tersebut dari tempatku berdiri sekitar 10 meter.
Mungkinkah itu desahan orang di dalam rumah itu ? dan, bukankah itu rumah kosong ? Apakah mungkin ada anak muda yang iseng disana ? sedang apa mereka ? rasa penasaran menyerangku.
Ku pertajam tatapanku pada jendela yang kacanya pecah, pantulan sinarnya tajam namun karena jarak yang cukup jauh, sinarnya tidak menyilaukan.
Ku pasang telingaku baik-baik apakah desahan itu masih ada. "shhhh....phheerr....." aku mendengar suara desahan itu lagi. Kali ini rambutku ku semat kebelakang telinga, hedset kulepas dan ku masukan dalam kantong celana.
Udara semakin dingin, angin berhembus menggoyangkan rerumputan, buluku meremang. Kemudian terdengar lagi desahan yang sangat pelan, hembusan nafas dari desahan itu seolah menyentuh leherku. "sssshhhhhh...ghiiii...." Mataku menyipit, kaca jendela yang pecah memantulkan cahaya jalanan itu tiba-tiba berkedip.
Tangan ku terlepas dari sepeda yang sedari tadi menyender padaku. Sepedaku jatuh. Aku berlari tunggang-langgang sekencang-kencangnya.

Terasa Tapi Tak NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang