Cerita ini ditulis berdasarkan cerita nyata. Tempat, waktu kejadian dan narasumber akan dirahasiakan
Namaku Ayu. Aku lahir dan besar di desa kecil dengan pemandangan asri nan hijau dengan udara minim polusi. Pegunungan yang menjulang tinggi, hamparan sawah, hutan dengan pepohonan lebat dan sungai dengan aliran debit air yang besar sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Desa tempat tinggalku memang terletak berdekatan dengan beberapa gunung yang sering dijadikan tempat pendakian beberapa pecinta alam. Dan aku juga sering mendaki gunung sendirian tanpa ada yang menemani. Di beberapa gunung yang aku daki, aku selalu bertemu penunggu tak kasatmata yang menjaga tempat itu. Mungkin terdengar aneh namun sejak kecil aku memang peka dan bisa berkomunikasi dengan yang tak kasatmata.
“Ayu. kamu ke desa sebelah. Antar ini ke rumah Bude Dewi yaa.” Nenek memintaku mengantar semur ayam yang baru saja dibuatnya. Aku memang hanya tinggal dengan nenek dan ibu. Ayah sudah lama meninggal karena sakit sejak usiaku menginjak empat tahun.
Aku bergegas mengayuh sepeda dengan membawa makanan dalam rantang. Jika sedang membawa makanan, aku selalu memasukkan daun sirih sebagai syarat agar tak diganggu apapun. Itu sudah menjadi tradisi di desaku. Dan nenek juga selalu melakukannya. Aku mengayuh sepeda dengan cepat. Melewati beberapa jalan setapak dan curam dengan sepeda butut berwarna biru pemberian Bude Dewi. Ini adalah satu-satunya alat transportasi yang aku miliki.
“Ayu, hati-hati di jalan.” Seorang perempuan berambut panjang nan hitam, penunggu pohon nangka menyapa sambil tersenyum. Perempuan paruh baya berbaju hitam cantik itu memang sudah lama menunggu pohon nangka yang berbuah lebat di desa. Namun anehnya dia tak pernah mengganggu warga dan hanya selalu duduk memerhatikan orang yang melewatinya.
“Iya, terima kasih.” Aku menjawabnya dengan lembut. Setidaknya aku harus menjawab untuk menyenangkan hatinya. Yaa tak ada salahnya untuk berbuat baik kepada sesama makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Aku mengayuh sepeda lebih cepat, melewati sebuah sungai besar dengan debit air deras membuatku berhenti sejenak. Sekedar menghirup udara di sekitar sungai yang masih terasa sangat sejuk. Namun arus sungai yang deras membuatku tertarik ingin masuk dan berenang di dalamnya.
“Masuklah ke dalam air. Maka dirimu akan menemukan kenyamanan.” Sebuah suara lembut berbisik di telingaku. Aku mulai terhipnotis dan berjalan mengikuti suara itu dan masuk ke dalam air. Perlahan aku mulai melangkah, masuk ke dalam sungai yang alirannya cukup deras.
“Iya, begitu sayang. Masuklah lebih dalam ke dalam aliran sungai. Datanglah padaku. Aku akan membuatmu bahagia.” Suara itu kembali berbisik di telingaku. Suara yang semakin membuatku tak sadar dan terus masuk ke dalam sungai yang dalam dan beraliran cukup deras.
“Ayu! Berhenti!” Si cantik penunggu pohon nangka menarik tanganku. Aku menatapnya dengan bingung dan baru merasakan dingin di kedua kakiku. Aku masuk ke dalam sungai yang cukup dalam setinggi lutut dan baru sadar setelah si cantik menarik tanganku. Aku bergegas ke luar dari sungai dengan bantuan si cantik. Si cantik mengawasiku saat ke luar dari sungai dan tak sedikitpun mengalihkan pandangannya sampai aku tiba di tepian sungai. Entah kenapa saat itu suasana sangat sepi dan tak ada siapapun di sekitar sungai. Dan aku melihat wajah laki-laki pucat di sungai yang nampak tersenyum ke arahku.
“Sungai ini sering meminta nyawa sebagai tumbal. Dia penunggunya!” Si cantik mulai bercerita tentang apa yang dia ketahui. Aku terdiam sesaat dan masih merasa bingung.
“Maksudmu, laki-laki berwajah pucat itu yang sering meminta tumbal?”
“Iya, betul. Dan kamu hampir saja mati gara-gara masuk ke dalam sungai itu.” Si cantik mulai mengomel. Aku hanya tersenyum dan bergegas kembali menaiki sepeda menuju rumah Bude. Samar-samar aku kembali mendengar bisikan namun aku tak menggubrisnya. Hari ini aku hampir mati dan membuatku jera melewati sungai ini.