Janette terdiam dan menundukkan kepala. Wajahnya terlihat sendu tak seperti biasanya yang selalu ceria.
"Kamu kenapa? Tumben pendiam?" Aku duduk disampingnya. Janette tak menjawab dan hanya mendesah berat."Ini makhluk tumben gini, biasanya ceria," batinku.
"Gue ketemu Kemuning Cha." jawabnya sambil mengayunkan kedua kakinya. Matanya menatap langit. Ada kegelisahan dalam wajahnya.
"Siapa tuh?"
"Teman gue dulu waktu masih hidup tapi dia pribumi.""Lho yang kamu tunggu itu?"
"No, tapi hati gue hancur saat melihatnya."
"Kenapa?"
"Dia berwujud kuntilanak Cha."
Aku terdiam. Hening sejenak.
"Namanya Kemuning. Dia cantik sekali dengan wajah ayunya itu. Kami hanya sering bertegur sapa. Tidak terlalu akrab. Tapi gue suka sikap sederhananya dia."
Janette mulai bercerita tanpa aku harus bertanya."Terus apa yang terjadi pada Kemuning sehingga dia berakhir menjadi kuntilanak?" aku bertanya dengan bingung. Janette menggeleng lalu menangis. Aku berusaha menghiburnya namun Janette memilih menghilang terbang ke arah pepohonan di depan rumahku.
******
Aku menatap satu sosok perempuan berambut panjang dengan wajah penuh goresan pisau. Perempuan berbaju putih berlumuran darah itu menatapku dengan marah.
"Apa maumu? Kenapa masuk ke rumahku tengah malam begini?" Aku bertanya dengan rasa marah yang luar biasa. Seandainya kalian jadi aku, ditengah malam dan diganggu sosok jelek ini pasti kalian juga akan marah.
"Membunuhmu. Aku perlu nyawamu!" Jawabnya dengan marah. Dia berusaha mendekatiku namun Janette datang dan berteriak "Kemuning, stop. Jangan ganggu anak ini."
Kuntilanak itu terdiam dan berhenti bergerak.
"Lo ingat gue kan? Gue Janette teman sekolah lo dulu." ucap Janette sambil berusaha mendekatinya. Kemuning terdiam tak menjawab.
"Mun, ini gue Janette. Noni Belanda yang sering lo bilang otaknya agak geser karena gue gak kayak cewek. Inget kan?"
Kemuning tak menjawab dan langsung pergi menembus jendela kamar.
"Tuhan, ada apa dengan Kemuning?" Janette terlihat lemas setelah melihat reaksi temannya itu."Nette itu Kemuning? Kuntil itu?" Aku setengah tak percaya dengan apa yang baru kulihat. Janette hanya mengangguk mengiyakan.
"Kamu yakin? Kok bisa jadi kuntilanak?"
"Itu yang gue bingung Cha."
"Waktu lo meninggal, dia masih hidup?"
"Iya masih hidup. Dia nangis waktu gue metong." ucap Janette sambil melihatku dengan tatapan sedih.
"Wajahnya itu penuh goresan. Kayak disiksa. Apalagi dia mau bunuh aku." jawabku sambil menghela napas.
"Gue tahu. Yang jelas dia pasti kembali buat ngincer lo. Gak usah takut, ada gue. Gue yang ngadepin dia. Tenang aja."
"Aku gak takut. Lagian cuma kuntilanak doang." aku nyengir sambil menarik selimut dan memilih tidur karena tubuhku sudah sangat lelah.Beberapa hari berlalu, namun Kemuning tak muncul juga. Namun tepat malam jumat dia datang. Dia datang dengan wajah penuh dendam.
"Hei cantik, boleh aku berteman denganmu?" tanyaku sambil tertawa. Sebenarnya aku hanya ingin memancingnya.
"Aku cuma perlu nyawa kamu!" jawabnya dengan marah. Aku tertawa.
"Kamu itu aslinya cantik. Ngapain jadi kuntilanak, jelek banget." jawabku dengan seenaknya.
Kemuning nampak marah.
"Kemuning, tolong jangan begini. Jangan jadi hantu jahat. Gue mohon." Janette muncul sambil berteriak nyaring. Kemuning langsung menatap Janette dengan tatapan marah."Kalo lo nyentuh Icha sedikit saja, gue gak bakal tinggal diam. Lo bakal berurusan sama gue!" Janette mulai bersikap tegas pada Kemuning.
"Kenapa kamu mau melindungi manusia ini?" Kemuning mulai berbicara. Matanya menatap Janette dengan tatapan marah.
"Bukankah lebih baik berbuat kebaikan? Gue tau lo disuruh salah satu dukun di daerah Kalimantan Barat sana. Buat apa lo jadi budak iblis? Jadilah diri lo sendiri!"
"Bukan urusan lo!!!"
Kemuning menghilang dengan cepat dalam kegelapan malam. Hanya tersisa aku dan Janette yang saling pandang dengan perasaan bingung.
Beberapa hari berlalu, Kemuning tak pernah muncul lagi. Aku berusaha mencarinya namun tak ada hasil. Janette juga tak pernah mau mengatakan apa tujuan dukun itu mengirim Kemuning untuk membunuhku. Dari beberapa informasi yang kudapat, sasaran utama dukun itu adalah adikku tapi dia lebih memilih membunuhku dulu. Namun usahanya tak ada yang berhasil. Hanya kegagalan yang didapat.
Hari ini aku pergi ke rumah sakit untuk mengambil obat bulanan ibuku. Ibuku memang sudah lama mengidap diabetes dan setiap bulannya wajib mengambil obat di rumah sakit.
Rumah sakit menjadi tempat yang penuh dengan pasien. Energi yang carut marut terkadang membuatku harus membentengi diri dari gangguan astral usil.
Tiba giliranku masuk ke ruang praktik dokter. Seperti biasa dokter cantik itu selalu ramah. Begitu juga astral yang menjadi pelindung gaibnya. Selalu menyapaku dengan ramah dan tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang putih.
Sialnya, tepat disampingku duduk seorang Bapak berumur 35 tahun yang separu tubuhnya tiba-tiba susah digerakkan. Utamanya bagian bahu dan tangan. Duduk disamping beliau, kurasakan hawa panas seperti api. Padahal kami tak bersentuhan, hanya duduk berdampingan. Namun, sangat panas. Aku sempat melirik ke arah satu makhluk dengan wujud mak lampir berbaju robek yang menempel erat padanya."Sihir hitam, luar dan dalam." gumamku sambil berusaha menetralisir keadaan.
*******
Dokter cantik mulai menjelaskan hasil lab si Bapak. Hasilnya bagus tak ada yang tak normal. Dokter cantik bahkan mulai bingung dengan bapak ini."Semua pemeriksaan normal Pak, tak ada yang salah. Semuanya bagus. Tapi kok bisa gini ya, aneh." ucapnya sambil menggelengkan kepala.
"Ya iyalah orang ada si buruk rupa yang nempel makanya gitu." Janette berkomentar sambil matanya melirik ke arah mak lampir yang terus menempeli si Bapak.
Mak lampir itu terlihat tak suka melihatku. Sesekali dia menakutiku dengan tawanya yang melengking atau melotot namun aku tak peduli. Bagiku dia hanyalah iblis.
Ingin rasanya ku tangkap dan kumusnahkan namun aku tak boleh ikut campur. Ada batasannya. Lagipula aku yakin ada dukun yang berada dibelakang makhluk itu.Rumah sakit memang menjadi tempat makhluk astral yang usil. Terkadang aku jera, apalagi kalau harus melewati lorong kamar mayat yang kebanyakan wujud tak sempurna. Terkadang menakutkan. Terkadang aku pura-pura tak melihat apapun.
Kemuning tak pernah terlihat lagi. Misteri kematiannya pun hanya menjadi misteri. Janette juga tak tahu apa yang terjadi pada temannya itu. Namun aku percaya, suatu saat kami akan bertemu lagi.