Dandelion,
Untuk sebagian orang, Dandelion sering dipandang sebelah mata. Bahkan, dianggap sebagai rumput tak berguna. Namun, aku tidak begitu. Dandelion, lebih terlihat seperti kisah hidupku.
Well, jika kalian tidak keberatan, aku akan menceritakannya. Tenang saja, ini bukan kisah menyedihkan seperti Little mermaid atau pun Mulan. Ini hanyalah kisahku, perjalanan panjang dalam menemukan kebahagiaan. Haha, jangan berharap ini akan menjadi kisah sedih, tapi aku juga tidak menjanjikan kisah yang bahagia.
Semuanya dimulai saat aku masuk ke dunia remaja menuju dewasa, duduk di bangku SMA. Terdengar klasik, bukan? Karena memang itu adanya, haha.
Aku bukan murid yang mudah bergaul sebenarnya, tapi dengan nama Naufal di belakang nama serta wajah yang mirip Papa, orang-orang akan mendekatiku tanpa diminta. Penjilat? Yeah, anggap saja seperti itu.
Auh, tunggu dulu. Aku seorang perempuan, kalau kalian penasaran. Namaku, Arina Fauzi Naufal. Aku hanya gadis biasa, sungguh, kecuali fakta jika aku merupakan anak tunggal dari keluarga super kaya dan terpandang. Semua tentangku sangat luar biasa membosankan.
Ehm, bagaimana menceritakannya, ya? Ini benar-benar terdengar klasik, tentang dua orang berbeda latar belakang yang tengah menjalin hubungan. Terdengar mainstream, bukan?
Namun, kami sedikit berbeda. Jika orang lain menjalin hubungan karena cinta, kami benar-benar tidak memilikinya. Hubungan kami tidak dilandasi cinta, tapi kebutuhan.
Namanya Hendry. Dia sangat tampan juga cerdas, mirip seperti tokoh cerita di platform dengan background berwarna orange. Dingin dan sangat irit bicara—kalau yang ini hanya kepadaku, sepertinya. Bukan bad boy, maaf mengecewakan. Dia anak yang baik juga sopan, walau mulutnya sedikit pedas—lagi-lagi ini hanya khusus untukku.
Aku lupa bagaimana awal mulanya, tapi kami menyandang status sebagai sepasang kekasih sekarang. Dia pacarku, namun bukan pujaan hatiku, dulunya. Kalau sekarang? Entahlah, aku masih cukup tidak yakin.
Kami memulai hubungan karena Hendry yang bosan diejek dengan sebutan gay oleh keluarganya karena jarang berinteraksi dengan perempuan dan aku yang tidak tahan dengan para lelaki penjilat itu. Yeah, dengan alasan konyol itu kami memulai hubungan.
Jangan membayangkan kisah cinta penuh lovey-dovey di antara kami. Hendry sangat dingin. Dia bahkan tidak pernah mau untuk sekadar menarikkan kursi jika kami ke kantin bersama.
Aku seharusnya tidak merasa kesal karena hubungan kami tidak dilandasi perasaan, tapi bayangkan saja jika orang yang menyandang status sebagai pacarmu malah memperhatikan gadis lain tepat di depan matamu! Yeah, Hendry tidak bersikap manis kepadaku, tapi dia tanpa perasaan malah melayani Erna dengan senang hati. Aku cemburu!
Aish, aku aneh bukan? Seharusnya ini tidak pernah menjadi masalah. Auh, hubungan seperti ini sangat menyebalkan, sungguh!
Aku ingin balas dendam. Saat pulang sekolah, aku sengaja mengacuhkan Hendry. Berjalan tidak beriringan dengannya. Sama sekali tidak menatap ke belakang walaupun dia memanggil. Biar saja, aku sedang kesal!
"Arin!" Itu panggilan ke lima belasnya. Sepertinya, dia sangat kesal sekarang. Aku sedikit bergidik ngeri karena selain tampan, Hendry juga memiliki tubuh yang atletis.
"Arina Fauzi Naufal!" suaranya terdengar mengancam. Baiklah, sepertinya aku harus menghentikan langkah sekarang. Hendry mencekal tangannya, memaksa tubuh ini agar berputar untuk menghadapnya.
"Kau mau apa?" Suaraku terdengar sangat bergetar sekarang.
"Kau cemburu?"
"Enggak!" bantahku sambil menyembunyikan wajah.
YOU ARE READING
DANDELION
Teen FictionKuat tidak selalu tentang bertahan, terkadang melepaskan adalah jalan terbaik untuk menjadi kuat.