[3]

44 6 0
                                    


Setelah acara memasak yang sedikit dibumbui dengan drama mellow, kami akhirnya sarapan bersama. Makanan sederhana lainnya terhidang apik di atas meja dan berhasil menggugah seleraku.

"Makan yang banyak, ya?" Ibu Hendry mengambilkanku sepiring nasi goreng.

"Jangan banyak-banyak Ma, nanti dia jadi gendut!" seru Hendry. Apa-apaan matanya itu, menyebalkan. Kugigit baru tahu rasa!

"Hendry!" Aku tersenyum puas melihat bibir cemberutnya saat ditegur sang ayah. Rasakan!

 "Sudah-sudah, jangan ribut di meja makan!" tegur ibu Hendry. Kami akhirnya bisa makan dengan tenang dengan sedikit candaan juga.

Hangat. Aku suka berada di tengah-tengah mereka. Kapan lagi sarapanku memiliki teman? Papa dan Mama sangat sibuk dengan urusan mereka. Haha, sudah berapa kali aku membahas kesibukan mereka?

"Setelah ini, kalian mau ke mana?" Ibu Hendry menyanggah kepalanya dengan tangan kanan, menatap bergantian padaku juga Hendry.

"Maksud Mama?"

"Ck, tidak usah sok bingung begitu," cibir wanita berparas cantik itu. "Ini weekend, Sayang. Jalan-jalan bersama kekasih bukan sesuatu yang aneh, bukan?"

Aku tersedak, menatap tidak percaya pada ibu Hendry. Rasanya ingin tertawa keras mendengar ucapannya. Apa dia bermaksud menyuruh kami untuk berkencan?

"Hati-hati!" Hendry memberikan segelas air putih yang dengan segera kuminum sampai setengah isinya.

"Kalian imut," komentar ayah Hendry. "Andai saja kita masih muda," keluhnya.

"Sayang, jangan membuat mereka merasa geli," kekeh ibu Hendry.

Kulihat, Hendry memutar bola matanya malas. Aku tersenyum tipis. Kedua orang tua Hendry sangat romantis menurutku. Ayah yang menggoda ibu atau memaksa untuk menyuapi istrinya, keduanya sangat manis.

"Jangan dilihat, nanti mual," bisik Hendry yang langsung kuberi hadiah sebuah cubitan di pinggang. Dasar anak tidak sopan!

 "Jadi, kalian mau ke mana hari ini?"

Hendry mendengkus pelan. "Mau bersih-bersih rumah. Hari Minggu 'kan waktunya bersih-bersih!" jawabnya sedikit ketus.

Ibu Hendry berdecak sebal, memberikan tatapan maut pada anaknya. "Hari ini berbeda karena ada Arina di sini, kalian pasti belum pernah kencan, kan?"

"Setiap hari bertemu di sekolah, bahkan kelas kami juga sama. Buat apa kencan-kencan segala?" jawaban Hendry sangat menyebalkan! Dia memang sangat kaku.

 "Anak ini!" keluh ibu Hendry. Aku hanya menjadi pendengar saja, tidak berani ikut campur percakapan mereka walau ini ada sangkut pautnya denganku. "Hari ini kalian harus keluar, titik!"

"Kalau gak mau?" tantang Hendry. Kulihat, pipinya sedikit memerah. Apa dia malu?

"Kalau tidak mau, jangan harap Papa akan membelikan buku baru untukmu!" Hendry membolakan matanya. Menatap terluka pada sang ayah.

Di saat anak lain berharap bisa memiliki ponsel baru atau seperangkat alat untuk bermain game, Hendry malah khawatir tidak bisa mendapatkan buku baru. Dia memang agak—menuju sangat—unik sebenarnya.

"Itu tidak masuk akal," dengkusnya. Memalingkan wajah dengan cepat, bibirnya bahkan maju beberapa sendiri ke depan.

"Pokoknya kalian harus punya waktu bersama seperti pasangan lainnya!" kukuh ibu Hendry.

Baiklah, aku akan sangat berterima kasih kepada mereka jika kami berhasil kencan. Jujur saja, melihat pasangan lain membuatku merasa sedikit iri.

"Mama!" Hendry membuang napas kasar. "Hari ini waktunya bersih-bersih rumah, bukan kencan! Lagipula Arin juga gak bawa baju ganti, pasti gak nyaman memakai baju yang sama."

"Arina bisa mengambil baju ke rumahnya dulu atau memakai baju kamu?"

Ide yang buruk. Pulang ke rumah sama saja mencari masalah. Dari Bibi Ney, aku tahu jika Mama dan Papa baru akan pergi sore nanti. Memakai baju Hendry? Tubuhku terlalu mungil untuk baju-bajunya.

"Tidak ada bersih-bersih rumah hari ini. Astaga, kepala Mama bisa pecah!" Ibu Hendry berucap gemas.

Aku tahu, Hendry sangat menyayangi orang tuanya. Dia baik di pelajaran juga sikap. Tubuhnya cukup atletis dengan wajah yang sangat rupawan.

Membersihkan rumah? Hendry tidak pernah menceritakannya padaku sebelum ini, tapi aku sangat yakin jika itu keinginannya sendiri. Tidak ada paksaan dari orang tua, melihat bagaimana keduanya memaksa Hendry untuk keluar rumah.

Mungkin, mereka takut jika Hendry kurang pergaulan. Dari semua analisis, dapat kupastikan jika Hendry bahkan belum pernah mengajak temannya ke rumah sebelum ini.

 ...

"Tunggu, kau yakin?"

"Apa?"

"Soal pergi berdua." Aku memainkan jari, terlalu gugup berada di hadapan Hendry.

"Kenapa tidak? Hanya jalan-jalan, bukan? Atau ... kau berharap ini menjadi kencan?" Senyuman jahil menghiasi wajahnya. Aku mendengkus kesal.

Hanya jalan-jalan? Tidak menganggapnya sebagai kencan? Hendry memang paling ahli soal merusak suasana hati orang lain.

Tentu saja aku berharap ini akan menjadi lebih dari jalan-jalan bersama! Aku ingin kencan!

Huh, andai saja aku memiliki keberanian untuk berteriak tepat di depan wajahnya.

"Auh, tentu saja ini hanya jalan-jalan!" dengkusku. Kami sedang dalam perjalanan menuju rumahku. Baju Hendry tidak ada yang pas ditubuhku. Kemeja paling kecil miliknya saja terlalu besar di tubuh ini. Aku bahkan memakai peniti agar celana yang kupinjam tidak melorot.

Hendry menghentikan langkahnya, aku mengikuti apa yang dia lakukan. "Kenapa?" Dahiku mengernyit bingung.

"Apa aku harus ikut?"

"Apa kau akan menunggu di sini?" balasku. Hendry mengedikkan bahunya. "Mungkin itu bukan ide yang buruk jika aku harus menunggu di sini," jawabnya.

Dia memang menyebalkan. Aku menarik napas panjang, jangan sampai emosi atau kencan—hanya aku yang menganggapnya kencan—ini bisa batal. Aku ingin menikmati waktu bersama Hendry setelah semua waktu yang cukup menguras emosi kemarin—walau Hendry salah satu penyebabnya.

"Ayo masuk," ajakku.

"Apa kau yakin?"

"Kenapa tidak? Ayo, masuk." Aku menarik paksa tangannya.

"Hei!" Hendry terlihat kesal, tapi dia tetap membiarkanku menyeret tubuhnya masuk.

"Masih tahu tempatmu pulang, Nona?" Bulu kudukku seakan meremang. Ini baru lima langkah kami memasuki rumah dan teguran tidak menyenangkan dari Mama sudah menyapa

"Auh, apa Nyonya Andrea berharap saya tidak kembali lagi ke rumah ini?" Aku memberikan tatapan tajam, biar saja jika terlihat tidak sopan.

"Arina!" pekik Mama. Sepertinya, dia sudah habis kesabaran. Huh! Aku juga sama dengan Mama, tidak bisa berpura-pura lagi sekarang.

"Tenang saja, saya tidak akan berada di rumah ini sampai jadwal keberangkatan Tuan dan Nyonya."

"Arina!" Mama berteriak marah.

"Iya, Nyonya?" Aku memberikan senyuman terbaik. "Ada yang bisa saya bantu?" Suasana semakin tegang? Biar saja, aku tidak peduli.

"Arina," desis Hendry. Haha, aku bahkan hampir melupakan keberadaannya karena terlalu emosi.

 "Ayo, pergi!" Aku menarik cepat tangan Hendry, tidak ingin berada di situasi tegang terlalu lama.

Seharusnya hari ini kami bisa menikmati waktu dengan nyaman tanpa ada gangguan, kalau saja Papa dan Mama sudah pergi sedari pagi, seperti biasanya. Hah! Kenapa mendadak memiliki waktu untuk berdiam diri di rumah? Aku yakin, pasti ada hubungan dengan Sera. Entahlah, aku tidak berani berpikir mereka sengaja menungguku pulang, untuk memperbaiki hubungan kami. Haha, aku bahkan tidak berpikir kalau mereka ingin membahas ulang tahunku yang hancur. Mereka tidak pernah memiliki waktu, jika itu untukku.

"Kau—"

"Apa?" Aku memberikan tatapan garang pada Hendry.

"Kau ingin menangis?"

"Tidak. Aku bukan gadis lemah, jangan berpikir seperti itu!" hardikku.

"Auh, terserah saja." Hendry mengedikkan bahunya.

Dasar tidak peka! Kenapa tidak mengerti juga? Aku butuh pelukan, bodoh!

Haha, lucu bukan? Aku menggerutu di dalam hati, bagaimana si cuek Hendry bisa mengerti? Tentu saja dia tidak tahu.

"Aku masuk dulu, tunggu seben—eh?" Aku membulatkan mata. Suara detak jantung Hendry terdengar jelas karena kepalaku menempel di dada bidangnya. Hendry memeluk erat tubuhku.

"Menangislah," bisiknya.

Seperti mendapatkan mantra sihir, aku menangis seperti satu kata tadi adalah perintah mutlak yang tidak boleh ditolak. Aku mencengkeram baju Hendry dengan erat, menangis sesenggukan.

Ya Tuhan, ini sangat menyakitkan. Terima kasih sudah memberikan Hendry sebagai tempatku bersandar. Mungkin, aku akan mulai percaya pada orang yang mengatakan jika jatuh cinta merupakan kekuatan penyembuh paling baik di dunia.

Aku jatuh cinta padanya, pada Hendry yang sering bersikap dingin, tapi nyatanya paling peduli dengan keadaanku. Aku jatuh cinta pada si dingin bermulut pedas yang tanpa sadar telah menjadi penyemangat hidupku.

"Ngomong-ngomong." Hendry melepaskan pelukan kami. Menyelipkan anak rambutku ke belakang telinga. Dia mendekatkan bibirnya pada indera pendengaranku. "Selamat ulang tahun, maaf baru mengucapkannya." Setengah berbisik, dia berucap.

Oh Gosh! Aku semakin jatuh dibuatnya. Bagaimana cara menahan air mata ini agar tidak meluncur dengan lancar? Aku tidak punya alasan untuk membenci orang sebaik Hendry, kecuali kenyataan bahwa aku sudah terlalu jatuh ke dalam pesonanya. Aku jatuh cinta.

...

Next to Part 4


You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 19, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

DANDELIONWhere stories live. Discover now