[2]

25 7 0
                                    

Kupikir, orang tua Hendry cukup aneh. Dia membiarkanku menginap tanpa bertanya alasannya, yang penting orang tuaku sudah tahu (yang ini tentu saja berbohong, Papa dan Mama tidak akan peduli ke mana pun aku pergi).

"Aku tidak sebodoh itu, mereka tidak akan membiarkanmu menginap jika tahu kau sedang kabur dari rumah."

Huft, apa Hendry cenayang? Kenapa bisa menjawab sebelum aku bertanya?

"Terlihat jelas di wajahmu." Hendry memutar bola matanya malas. Aku ingin mencoloknya sekali-sekali. Kenapa dia tetap terlihat tampan dengan sifat jeleknya itu?

"Ini kamarku, kau bisa memakainya."

"Kita sekamar?" Aku reflek memekik.

Hendry menyipitkan matanya. Berjalan mendekatiku. Wajahnya bahkan terlihat sangat jelas kini. Aku segera memalingkan wajah, tidak mau bertatapan dengannya. Dia menarik wajahnya, terkekeh geli entah karena apa.

"Tentu saja tidak, bodoh!"

Mataku membola sempurna. Bodoh? Apa dia mengataiku? Bibirku mengerucut karenanya.

"Iya, kau tidak bodoh. Tapi stupid!" ejeknya.

"Yak!" Aku berteriak tidak terima. Hendry malah semakin tergelak. Apa orang ini tidak waras?

"Aku hanya bercanda, tidurlah."

Aku masih menampilkan raut cemberut. Enak saja dia bilang begitu. Dengkusan kesal terdengar. Aku memalingkan wajah lagi.

"Hei, aku lebih suka melihatmu yang marah-marah daripada menangis. Tapi, aku tidak berharap kau menahan tangisan saat berada di dekatku. Selamat tidur." Hendry mengusak kepalaku sebelum beranjak pergi. Hangat. Hendry yang sering berkata jahat padaku bisa berubah menjadi semanis itu? Apa aku mimpi?

Auh, hentikan imajinasimu, Arina! Hendry hanya merasa kasihan padamu. Yeah, jangan berharap lebih.

Aku membuka pintu, menjejalkan kaki untuk menapak ke dalam. Kamar Hendry sangat kecil, lebih kecil dari kamar mandiku dulu. Ouh, lupakan. Aku sangat tidak sopan sepertinya, haha. Maaf.

Bagaimana, ya? Kamar ini sangat rapi. Buku-buku berada di tempatnya, tidak ada barang yang berserakan. Khas sekali dengan murid paling pintar di sekolah, bukan? Aku tidak ingin menjelaskan kamar Hendry lebih detail karena saat ini tubuhku harus diistirahatkan. Setelah semua adegan air mata, sepertinya istirahat sejenak tidak buruk juga. Besok hari Minggu, haruskah aku pulang ke rumah? Kalau kalian ingin tahu, orang tuaku tetap super sibuk di hari Minggu. Mereka memang tidak pernah memiliki waktu untukku.

Jangan merasa kasihan. Aku bahkan tidak memikirkannya lagi sekarang. Aku ingin egois seperti mereka, walau akhirnya aku tetaplah Arina yang tidak bisa apa-apa dan bergantung pada uang Papa dan Mama.

Memalukan sekali.

Aahh, sudahlah. Aku mengantuk. Selamat malam. Semoga saja hari esok masih berbaik hati untuk menyambut gadis sepertiku.

...

Aku tidak tahu harus memulainya dari mana karena yang pasti saat membuka mata aku hampir saja berteriak kencang. Berlebihan? Maaf saja, aku hampir tidak pernah menginap di rumah orang selama 17 tahun dalam hidup. Melihat suasana yang sangat baru tentu membuatkan jantungku serasa ingin copot dari tempatnya, beruntung ingatanku memutar kejadian semalam dengan baik. Helaan napas lega kukeluarkan.

Sekarang masih jam 4 pagi, pantas saja cuaca cukup dingin. Aku menarik selimut sampai menutupi bagian dada. Sedikit menggigil kedinginan.

Huh! Seharusnya aku mengambil jaket bulu sebelum lari dari rumah. Mataku menyusuri kamar Hendry, kesan rapi masih melekat di kepala. Hendry benar-benar gambaran pria yang sempurna kalau saja dia tidak bersikap buruk—padaku.

DANDELIONWhere stories live. Discover now