Tiga - detektif

158 10 4
                                    

"Fanny!! Coba liat gue bawa siapa??" Kejut Vanya dari arah pintu. Aku tak menggubris. "Ih, Fanny, liat dulu dong.." Vanya berjalan cepat, memegang pipi dan menolehkan wajahku ke seseorang yang saat ini ada di dekatnya.

Aku tersontak, "Yama! Mau apa lo kesini!? Belum puas buat malu gue di depan banyak orang, huh!!?" ketusku kasar kepada Yama.

"Saya minta maaf,"

"Apa? Maaf lo bilang?? Gabisa. Kesalahan lo sama gue itu besar!"

"Saya harus buat apa biar kamu maafin saya?"

Berfikir sejenak, "oh gue tau, lo harus bayarin ongkos naik bis gue selama satu bulan" pikirku picik.

Yama terdiam.

"Heh, kok diem? Mau apa kagak?"
"Oke, setuju"
"Nah, jadi lo harus udah stay di halte dan harus nungguin gue sampe jam pulang sekolah. Inget, gaboleh ngaret! Ngerti?"

Yama mengangguk.

"Nah, gitu dong, dah sana balik lo."

Tanpa berkata apapun, Yama keluar dari kelasku dan bergegas kembali lagi menuju sekolah asalnya. Tidak jauh sih, sepertinya sekolahnya dekat sini.

Hening.

"Eh, Fan, lo masih nyimpen gantungan boneka yang dulu Angga kasih ke lo, kan?" Ucap Vanya memecah keheningan.

"Hum? Iya, emang kenapa?" Jawabku sambil membolak balik halaman buku.

Vanya menceritakan kejadian yang beberapa menit lalu ia lalui di kantin—termasuk tentang Yama dan gantungan boneka kecil itu. Aku masih tidak percaya dengan apa yang Vanya katakan, karena setahuku Angga adalah anak yang normal dan tidak cacat seperti Yama. Lagi pula namanya juga berbeda. Aku terus menolak keras pernyataan Vanya bahwa gantungan boneka dan Yama itu tidak ada hubungannya.

"Kalo lo tetep ngga percaya sama gue kalo si Yama itu adalah Angga, lo boleh selidikin dia pas pulang sekolah.." jelas Vanya. "Oh, gue punya ide. Gimana kalau kita jadi detektif?" Usulnya.

"Detektif, ya..?" Aku mengernyitkan kening. "Oke, gue setuju"

"Deal?"

"Deal!"

Pukul 14.30, bel pulang sekolah berbunyi dengan lantang, semua murid berhamburan keluar gerbang sekolah untuk segera pulang ke rumahnya. Penasaran akan perkataan Vanya tentang gantungan itu, aku pun tak bisa tinggal diam dan akhirnya aku dan Vanya mulai menjalankan misi layaknya detektif untuk menyelidiki siapa Yama sebenarnya.

Sesampainya di halte, aku bergegas untuk menghampiri Yama yang sepertinya sudah sedari tadi duduk menungguku—tidak, itu kan memang sudah kewajibannya untuk memenuhi janji.

"Ciee, pangeran udah nunggu tuh," goda Vanya.

"Apaan sih"

Vanya terkekeh.

Aku melihat Yama yang tengah tertunduk diam, "mana sini duit lo, buat gue naik bis" aku berlagak layaknya seorang preman yang sedang mencegat mangsanya.

Tanpa berkata apapun, Yama meraba dan merogoh saku almamaternya  untuk mengambil uang dan memberikannya kepadaku.

"Okesip, gue balik dulu, ya. Bye, Vanya n Yama"

"Tunggu" tahan Yama saat aku hendak naik masuk ke dalam bis. "Saya ikut"

"Ohh, boleh, boleh, silahkann~" ujarku mempersilahkan Yama masuk terlebih dulu.

Seperti biasa aku duduk di samping dekat dengan kaca jendela sedangkan Yama di sebelahnya. Vanya melambai dari arah bawah, memberikan kode bahwa semuanya akan berjalan dengan lancar.

"Yes, rencana gue berhasil. Akhirnya, Yama ikut juga naik bis bareng gue. Sekarang tinggal ke rencana selanjutnya" batinku.

Dilihatnya pada tongkat yang Yama kenakan tidak ada gantungan berbentuk boneka beruang sama sekali. Hanya ada tongkat yang biasa orang buta pakai pada umumnya. Apa Vanya menipuku?

"Engga, Vanya ngga mungkin gitu. Gue harus pastiin.." gumamku.

"Ada apa, Fanny?" Kata Yama mengejutkan.

"Ah, engga kok! A-apaan si lo ge-er banget"

"Ohh, kirain"

Yama, si pria buta misterius yang ku temui di halte kemarin. Entah dengan cara apa dia bisa tahu apa yang sedang ku lakukan, bahkan ia tahu kalau sedari tadi diriku tengah memperhatikannya—bukan dia sih, lebih tepatnya memperhatikan tongkat miliknya, dan namaku bagaimana dia bisa tahu namaku?

"Turun dimana, Fan?" Ucap Yama.
"Bentar lagi"
"Ohh"
"Ya"

Hening.

"Boleh liat tongkat lo ngga?" Kataku memastikan.

"Hm? Oh, Iya, boleh"

Saat itu, aku benar-benar memutar balikkan tongkat tersebut namun sama sekali tidak ada boneka yang menggantung disitu. Sudahlah, lagipula aku masih tidak yakin kalau Yama ini adalah Anggaku yang pergi 9 tahun yang lalu. Bisnya sudah sampai di halte pemberhentian terakhirku, tinggal jalan sedikit lalu sampai di rumah. Seperti biasa aku membayar ongkos naik bis, dan soal uangnya pastilah uang pemberian Yama sebagai kesepakatan yang sudah dibuat tadi.

Aku meninggalkan Yama sendiri dalam bis, entah dia mau kemana karena sebenarnya bis yang ia tumpangi adalah bukan bis tujuannya untuk sampai di rumah, sepertinya begitu.

Waktu menunjukkan pukul 20.30 malam, entah kenapa aku mencemaskan Yama. Aku takut dia tersesat. Segera aku mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja, aku ingin menghubungi Yama.

"Eh iya, dia kan gapunya hp"

Aku merebahkan tubuhku diatas kasur, entah kenapa malam ini aku kepikiran terus sama Yama. Besok adalah hari minggu, sekolah libur dan aku tidak bisa bertemu dengannya.

"Ahh, apaan sii. Mikirin orang mesum kayak gitu! Biarin aja dia kesasar, biar tau rasa" geramku.

Cahaya rembulan masuk menyelinap menyinari sebagian kamar yang gelap. Hanya ada keheningan yang terasa begitu keras bergema di dalam pikiran. Ia memenuhi isi kepalaku yang kosong dan hampa akan sebuah kerinduan.

Malam yang sunyi kulalui seorang diri. Bersama sepi yang selalu setia berada disisi. Sungguh, aku tidak sanggup bila harus ditanya soal rindu. Rindu ini memberontak, rindu ini seakan angkat suara untuk mewakili isi hatinya yang lara. Angga, aku berharap kamu mendengarnya. Rindu yang perlahan membisikkan sesuatu yang indah tentang dirimu.

Sudah dulu, ya, Angga. Aku lelah terus memikirkanmu. Aku mau istirahat, selamat malam Angga.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 09, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang