LINE 2

25 1 0
                                    

Lagi-lagi kami bertemu disini.

Meskipun berada di area kampus, mesjid ini tetap ramai didatangi orang-orang dan warga sekitar. Karena memang masjid ini memiliki jalan masuk lain yang tidak perlu melewati gerbang kampus.

"Thanks," kuterima minuman dari tanggannya.

Perempuan mana yang tidak akan salah tingkah didekati laki-laki setampan ini. Tapi bukan Aluna namanya kalau tidak bisa mengendalikan diri agar tidak salah tingkah.

"Lagi di dealer?" lanjutku, pura-pura tak terkejut.

Dia hanya mengangguk pelan lalu duduk di sebelahku dengan santai menenggak minumannya. Kudengar Hega adalah rider dari tim balap dealer besar itu. Dia sengaja datang jauh-jauh dari tempat tinggalnya di Jakarta untuk persiapan kejuaraan. Dan kebetulan yang manis kampusku dan dealer motor itu bersebelahan.

"Ga?"

"Lun?"

Suara kami hampir bersamaan.

"Eh? Kenapa Ga?" aku segera menyambar.

"Hm? Enggak. Kamu mau ngomong apa?" dia balik bertanya.

"Semalam kenapa nelpon?" kutanyakan mengingat pesan terakhirku hanya dia baca.

"Gak apa-apa," sahutnya. "Teman-teman apa kabar?"

Teman-teman SMA? Kenapa tanya padaku?

"Kamu, kan udah gabung duluan di grup, kenapa tanya?" tukasku sedikit jengkel karena tidak mendapat jawaban.

"Aku juga baru gabung, belum nyimak grup," ucapnya santai lalu menenggak lagi minumannya.

Aku ikut menelan ludah melihat jakunnya bergerak seksi. Eh? Segera kupalingkan wajah dan menenggak minumanku sebelum dia menyadari mataku memerhatikannya.

Beberapa saat batinku berperang ingin menanyakan apa Hega mengatakan sesuatu, sampai Viola mengira aku dan Hega pacaran lagi. Apa tidak canggung kalau kutanyakan?

Seketika aku tersadar sedang apa dia di sebelahku.

"Lagi nunggu siapa, Ga?"

Uhuk! Tiba-tiba Hega tersedak minumannya. Untuk beberapa saat dia terbatuk. Tanganku refleks menepuk cepat punggunya.

"Kamu gak suka balapan?" tanyanya, masih menyisakan batuk. Lagi-lagi dia menggantungkan pertanyaanku tak memberi jawaban.

"Enggak juga. Kadang-kadang nonton balapan motoGP di tv," sahutku enggan, mulai merasa kesal dengan sikapnya yang selalu melalaikan pertanyaanku.

"Mau nonton langsung?"

"Hm... panas," jawabku asal. Padahal sekalipun aku tidak pernah menginjakan kaki di sirkuit, apalagi menontonnya balapan.

"Lagian, lain dunia," aku melanjutkan.

"Maksudnya?"

"Cuma buat orang-orang tertentu," aku berpendapat begitu. Terbayang bagaimana arogannya dunia balapan.

Hega hanya mengernyitkan dahi lalu terdiam cukup lama. Seketika matanya menatapku lekat.

"Minggu ini aku balapan di Sentul. Kamu harus nonton," perintahnya datar tanpa menanyakan persetujuanku.

"Eh?"

**

Kulirik cermin untuk kesekian kalinya, memastikan tidak ada yang salah dengan wajahku. Tak ada angin tak ada badai, tiba-tiba saja Hega mengirimiku pesan dan bilang akan datang ke rumah malam ini. Membuatku terperanjak.

Di masa lalu, dia hanya akan menghampiriku di sekolah jika memerlukan bantuanku atau ada hal penting. Sekalipun tidak pernah dengan sengaja datang ke rumah.

Aku segera turun saat mama memanggilku. Alan mengedikkan dagu seakan penasaran, siapa yang mendatangiku malam minggu begini.

"Temen," ucapku santai melenggang ke teras menghampiri Hega.

"Nyasar gak?" aku berbasa-basi mencoba bersikap biasa setelah duduk di kursi sebelahnya. Jaketnya sedikit basah karena gerimis halus yang turun malam ini.

"Enggak," kemudian tangannya merogoh sesuatu dari dalam kantong jaketnya dan menyodorkannya padaku. Kuambil benda seperti tanda pengenal bertuliskan 'PIT CREW', dari tangannya.

"Apa ini?"

"Besok nonton, ya?" pintanya tanpa menghiraukan pertanyaanku.

"Eh?" aku belum memikirkan akan pergi menonton balapannya atau tidak.

"Pake itu biar bisa masuk pit," lanjutnya. Telunjuknya menunjuk tanda pengenal di tanganku.

Aku manggut-manggut meski belum mengiyakan. Dia masih sama, terlalu pendiam dan tidak banyak basa-basi.

"Tidur dimana?" kutanya karena memang penasaran bisa sampai secepat ini.

"Di Havana," sahutnya singkat. Hotel samping sirkuit, jaraknya tidak sampai setengah jam dari rumahku.

Tak lama dia langsung pamit. Aku serius menahannya. Selain karena belum kusuguhi apa-apa, langit masih gerimis. Tapi dia menolak tetap tinggal lalu mencari mama. Kupanggil mama agar Hega bisa berpamitan. Tanpa canggung dia mencium tangan mama, pamit untuk pulang.

Aku terpaku menatapnya. Dia sudah sedikit berbeda. Kenapa dulu saat berstatus pacar, kami tidak sedekat ini?

---bersambung

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 15, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

LATE BRAKINGWhere stories live. Discover now