Pintu pengemudinya terbuka, dan dari dalam mobil keluar seorang pria penuh luka di seluruh tubuhnya. Pistol di tangan dan senapan di punggung, mata pria itu menatapnya. Pistol dikokang dan diarahkan ke kepalanya, pelatuk siap ditekan.
"MANUSIA??" teriak pria itu. Ia bingung, tentu saja dirinya manusia. Ingin berkata sinis namun yang keluar hanya, "Ya, aku manusia."
"Tak ada luka apapun?" Tanya pria itu lagi.
"Tentu saja," BalasnyaDengan pistol masih terarah ke kepalanya, pria itu memasuki bangunan dan berjalan ke arah mesin pendingin, mengambil sekaleng soda lalu menghabiskannya dalam satu tegukan. Pistolnya entah ia taruh mana, dirinya tidak terlalu memperhatikan saat tangan pria itu membuka kaleng soda. Pria itu duduk di lantai, sambil membuka lembaran besar kertas kusam. Robek di beberapa bagian. Begitu dibentangkan, terpampang peta yang cukup rinci. Coretan silang di mana-mana. Arah panah dari satu tempat ke tempat lain. Bercak kecoklatan di bagian atas. Dengan cahaya penerangan seadanya dari lampu jalan di depan gedung, pria itu membaca petanya.
"Anderston penuh, bahkan tidak bisa dilewati. Hedgehill terlalu curam, cuaca disana selalu mendung, hingga sekarang, lumut di mana-mana, licin jika basah." Pria itu bergumam pelan. Apa maksudnya?
"Hey Nak, dimana ini?" Tanya pria itu menatapnya. Nah baru sekarang ia memikirkan itu. Dimana ini? Ia merasa familiar dengan tempat ini, padahal ia tidak tau apapun. Tangannya mengambil potongan koran di sakunya, dan membukanya. 'Granger' tertera di pojok kanan atas, tempat biasa kota terbit koran tercetak.
"Granger," ucapnya.
"Begitu." Balas pria itu singkat. Kepalanya kembali menunduk ke arah peta. Lidahnya menyuarakan pikirannya. "Agak sedikit dekat dengan Housevent, disana cuma ada beberapa yang lolos. Mengebut dari Westeros ke sini dalam waktu tiga hari? Kuat juga mesin mobil itu. Hampir tak ada makanan kaleng tersisa untuk ku makan. Granger ini kota yang ditinggalkan, hampir tak ada makanan. Juga hampir tak ada 'Mereka Yang Kembali'. Kebanyakan pergi ke Auroa, tempat penampungan. Dan orang-orang kaya dan berpengaruh pergi ke Greenie, mereka membangun tembok yang sangat tinggi di sana. Mengunci diri mereka. Semoga saja mereka berhasil mengembangkan vaksinnya. Kalau begitu, sebaiknya aku pergi ke--" suaranya terdiam begitu mendengar suara ledakan keras. "Ke atas." Nadanya memerintah, pria itu buru-buru merapihkan petanya dan memasukkannya ke saku, lalu berjalan ke dalam gedung, ia mengikutinya dari belakang.
Begitu sampai di lantai tiga, pria itu menyuruhnya mendekat ke arah jendela. "Jangan bersuara sedikitpun," ucap pria itu dengan nada memerintah.
Ia melihat ke jalanan, di sisi jalan yang lain, ada satu orang berjalan di sana, berjalan pelan menyeret kakinya. Dibawah sorot lampu jalan, terlihat beberapa bagian tubuhnya hilang dan terbuka, ditambah seluruh kulitnya memerah. Semakin dilihat kulitnya semakin memerah. Orang itu berhenti, jika hal itu masih bisa disebut orang. Tubuhnya mengejang, kulitnya semakin memerah, dan detik berikutnya seluruh tubuhnya meledak. Meninggalkan lubang selebar tiga meter disana. Ia menatap pria di sampingnya. Pandangannya mengatakan 'Apa itu?'.
Mengerti arti tatapannya, pria itu menjawab. "Mereka yang kembali. Kau tau apa yang terjadi beberapa bulan yang lalu?." Ia menggeleng dan pria itu meneruskan. "Kau tau jam berapa ini? Jam satu siang. Lalu kenapa gelap? Satu hal yang pasti, matahari meledak. Makhluk-makhluk yang hanya aktif di malam hari bisa bebas melakukan apapun yang mereka mau, membawa virus-virus aneh. Lalu dengan ladang? Hampir tak ada yang bisa ditanam. Kekeringan, gagal panen, dan ratusan masalah lainnya. Bahkan untuk bernafas saja sudah susah. Karena pohon sudah tidak dapat sinar matahari lagi. Sebulan kemudian muncul makhluk-makhluk yang meledak tadi. Orang-orang yang kembali dari kematian. Kita semua menyebutnya begitu. Mereka orang-orang yang mati karena virus baru yang tak dikenal sama sekali. Bahkan sumbernya tak diketahui. Semakin lama mereka semakin banyak. Entah bagaimana pula mereka bisa meledak seperti itu. Salah satu dari mereka hampir meledakkanku. Dan astaga-" Pria itu melihat keluar jendela, ia mengikutinya. "Setiap ledakan akan memancing yang lainnya untuk datang, dan satu ledakan bisa memancing ratusan dari mereka. Dan sepertinya ini hari yang paling sial. Karena ketika banyak dari mereka berkumpul, mereka bisa merasakan makhluk lain selain mereka." Ia melihat keluar, ada ratusan makhluk itu bergerak ke arah gedung yang ia tempati saat ini. Ratusan makhluk berkulit merah siap meledak menghampirinya. Kakinya melemas, dan sepertinya pria di sampingnya juga sudah pasrah karena satu dari makhluk itu sudah memasuki gedung, diikutin dengan yang lainya. Dan hal terakhir yang ia ingat adalah, ketika satu makhluk itu mencapai mereka di lantai tiga, makhluk itu langsung meledak.