Matahari masih terik, menyengat kulit meningkatkan produksi melanin, setidaknya dua jam yang lalu. Hingga kondisi terkini, rona hitam di petala langit telah berjaya menggeser pesona manis senja. Mendung. Sore ini mendung. Hal yang sangat biasa bagiku, maksudnya hatiku. Tak ada lagi pagi yang cerah, siang yang terang, atau senja yang memesona. Mendung hanya mendung atau terkadang hujan badai sekalian.
"Hufffh," keluhku bersamaan rinai hujan yang turun. Awalnya setitik kemudian disusul jenderal, panglima, prajurit, dan kerabatnya yang lain. Ahh, rupanya dia penakut, sendiri saja tak berani bukan sepertiku. Sendiri dan hanya sendiri terkadang sepi berkawan sunyi menyambang sekalian.
"Kita selalu seirama bukan? Hari itu kau tinggalkan aku, dan hari ini kan kutinggalkan dirimu," ucapku sembari menengadah ke awan yang memuntahkan isinya. Semakin deras, tapi aku memilih tetap tak bergeming, tidak juga melawan, enggan pula menghindar, atau menepis serbuan gerimis.
"Buat apa? Bukankah kita ini kawan, kau basah dengan rahmat Tuhan dan aku kuyup dengan pertentangan alam," ucapku sambil menunduk.
Tes tes tes
Kembali terjadi, mataku tak bisa diajak negosiasi. Tanpa dipinta, cairan bening keluar dengan egoisnya. "Ku keluarkan segala keluh di dadaku lewat mata, dan kau yang bantu menyamarkannya. Betapa so sweet-nya hubungan kita," lanjutku lirih, lebih memilih khusyuk menunduk menatap tanah merah yang kian basah. Tak kupedulikan lagi bajuku yang kotor bercampur lumpur, ataukah gelungan rambut hitamku yang tersiah diterjang basah.Keheningan semakin terasa sampai akhirnya buyar. "Vera," panggil satu suara di belakangku, bersama keteduhan yang siap siaga diatas kepalaku. Menghalangi laju kawan yang bertandang. Jelatang.
"Sudahkah waktunya," kataku dalam hati, sembari menekuk siku meminta jari mengusap lembut wajahku. Daerah mata , lebih jelasnya. Bekas egoisku berkuasa.
Kumulai dengan berusaha berdiri. Susah. Kebas terasa, mungkin kram kakiku. Berjongkok lebih dari 2 jam cukup untuk membuat tubuhku kehilangan keseimbangan.
"Aku bisa sendiri!" bentakku sembari menggeser bahu yang sempat direngkuh lengan itu. Kutahu dia berniat membantu, tapi dia bisa menghapus bekas peluknya yang dulu. Dan aku tak mau itu, sungguh tak mau!
Berhasil! Aku berhasil berdiri dengan usahaku, belum sempurna tegak memang, karna rasanya sedikit ngilu tapi kubiarkan saja, sakit yang dirasa tulangku ini tak sebanding yang hatiku dera. Kini kudongakkan kepala menatap wajahnya, kulihat dia berdiri kikuk karena responku. “Kagetkah dia? Biarlah,” batinku mencoba meraba. Kemudian kulihat dia menggaruk rambut yang kuyakini tak gatal, "Gerakan lama,” cemoohku dalam hati.
"Mmm ayo." Tangannya memilih mengayun mencari aman tidak sembrono menggenggam, mengisyaratkanku untuk mengambil langkah.
"Huff kenapa dia tinggi sekali, seperti ia." Fikirku ngelantur mengabaikan perintahnya, kugelengkan kepala kemudian memilih menatap obyek yang sedari tadi kutunggu.
"Baiklah, aku duluan." Tutupnya terdengar putus asa sembari melangkah perlahan.
Kakinya berhenti melangkah, mungkin dia menengok padaku. Aku tak tahu, lebih memilih membelakanginya berjaga-jaga mataku yang tak beretika mengeluarkan amunisi "Vera, ikhlaskan," katanya lirih tapi masih dapat kudengar, kemudian beranjak pergi.
Tak kuhiraukan ucapannya, akan berbuntut panjang. Aku yang masih belum rela, dan mereka yang semakin muak melihatku dibuai duka. Kupilih menajamkan telinga guna memperjelas bahwa semakin lama gesekan antara sepatunya dengan bentala tak lagi kuindra. Kusambung ucapanku yang awal. "Tapi kita juga berbeda, aku pergi untuk kembali. Tidak sepertimu, pergi tanpa kembali, khianati janji bersama, mencipta lara menganga. Dan dia salah, aku lebih daripada ikhlas," lirihku menggantung kata selanjutnya, kembali mengusap wajah. Amunisi ini belum habis ternyata, banyak juga.
"Aku ikhlas menanti masa agar mentakdirkan kita bersama, di tempat yang menyediakan restu seikhlas surya,” lanjutku setelah menghela nafas panjang.
Kututup mata bersiap melangkah dengan mantap, seperti hari-hari sebelumnya setiap berkunjung. Dan masih seperti biasa, sebelum melangkah pergi kutatap sekali lagi bilik pribadi kasih yang telah berpulang. Bukan pada pelukanku tapi kepada pemilik sejatinya alam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hilang
ChickLitCerita tentang seorang perempuan yang belum dapat menerima sepenuh hati keputusan semesta yang membuatnya kehilangan "Aku ikhlas menanti masa agar mentakdirkan kita bersama, di tempat yang menyediakan restu seikhlas surya"