4

21 3 0
                                    

Hari itu, gerimis tipis menyambang bumi pertiwi. Tidak berlangsung lama memang, tapi cukup untuk membuat tanah menghitam pun udara sore kian segar. Begitu banyak pesona semesta yang tak bisa kujabarkan keindahannya, entah karena aku tak bisa menyebut hari itu sebagai kemalangankah, keberuntungankah, atau ada hal yang lainnya, aku tak tahu.

Saat itu Pak Yono, sopir yang biasa mengantar dan menjemputku memberitahu bahwa mobil yang dikendarainya harus masuk bengkel lantaran dihantam mobil lain dari arah belakang, nasib baik Pak Yono tidak mengalami luka yang serius. Kufikir itu adalah ulah pengendara yang ngantuk namun ngeyel memaksakan keadaan. Tapi usut punya usut, ternyata mobil yang menyebabkan jemputanku rusak itu dikemudikan oleh anak dibawah umur dan lebih parahnya ikut balapan liar.

"Apa mereka fikir nyawa miliknya ada sembilan, jadi aman karna punya serepan? Atau mereka fikir jalan ini milik dirinya sendiri sedang yang lain sekadar numpang, makanya nyawa yang lain tidak diperhitungkan? Huh, fasilitas masih disokong orang tua saja banyak gaya,” decihku kala itu dan terus muncul pada masa kini jika menemui hal yang sama. Aku juga sangat sebal dengan pengendara yang tak punya adab dalam menggunakan lampu jarak jauh terlebih di kegelapan malam. "Oh tolonglah, aku juga manusia yang punya hak setara di bumi Indonesia.”

Dan aku juga tak habis fikir bagaimana bisa orang tua mereka rela memberi mobil kepada anak di usia belia, apa mereka tak memikirkan keselamatan anaknya? Sebagai manusia yang masih mewarisi darah muda tentu aku marah, karena ulah anak tak bertanggung jawab itu aku harus naik kendaraan umum untuk pertama kalinya. Jujur saja awalnya aku takut, berfikir apa yang harus kulakukan? Apa yang harus aku katakan? Aku harus turun dimana? Banyak pertanyaan yang bergelayutan manja, membuatku mengkerut duluan sebelum mencoba.

Tapi, bagai air di daun talas pada akhirnya aku ikut berdiri diantara kerumunan siswa-siswi yang sedang menunggu kendaraan umum, dan menjadi aktris dadakan lebih tepatnya. Aku juga tahu bahwa tiap pasang mata termasuk ia melihatku aneh seolah bertanya, "Ngapain gadis manja ikut berdiri disini?” Tapi pasang muka tembok aja, toh aku tak mengganggu pula. Kuharap mereka mengerti hukum fisika aksi dan reaksi, jadi tak main hakim sendiri. Tapi hebatnya, diantara sekian banyak yang kuyakini bergemuruh benaknya, hanya ia yang tak bisa menahan penasaran sampai memutuskan memulai percakapan. Dimulai dari kenapa, dimana, hingga bagaimana yang kujawab ogah-ogahan, anehnya ia tetap take it easy aja. Ia yang mungkin bertanya demi kesopanan dan aku yang menjawab karena kebutuhan, siapa yang sangka berangkat dari simbiosis mutualisme itulah segala hal berubah, sampai sekarang kukira.

Harus kuakui percakapan itu gerbangnya, rasanya aku jadi ketagihan untuk naik kendaraan umum lagi. Sebab aku tak punya teman di sekolah, atau karena ingin mengobrol dengannya lagi, aku belum bisa memastikannya saat itu. Jika disejajarkan dengan masa sekarang, jelas pilihan kedua yang kuinginkan. Namun sayang, Tuhan bukan memberi yang diinginkan melainkan yang dibutuhkan. "Tapi aku butuh ia Tuhan, tidakkah Kau mengerti itu?" Jika mendebat Tuhan itu diperbolehkan, kiranya seperti itu yang akan kudemonstrasikan. Tapi sedetik kemudian aku tersadar, apa yang hendak kukatakan jika Tuhan berkenan menjawab, “Sudahkah kau tahu alasan duri tak pernah menyesal meski harus menjadi yang terbuang, sekalipun berada di pelukan mawar. Akukah atau dirimu yang berkuasa atas kehidupan?"

Hingga akhirnya aku memberanikan diri meminta persetujuan Papa dan Mama agar boleh naik bus saja. Jelas awalnya permintaanku ditolak dengan keras, namun berkat aktingku yang melas ditunjang air mata buaya beralibi ingin mandiri, akhirnya izin itu kukantongi. Ternyata ia tak sependiam kelihatannya, ternyata ia asik diajak ngobrol juga, ternyata ia baik tak seperti yang kukira awalnya, dan segerombolan fakta yang baru kuketahui adanya. Benar apa kata orang. Dont judge book by cover dan jangan percaya dengan sesuatu yang berlabel katanya.

Lambat laun kita semakin akrab lantaran kita kerap pulang bersama, ah lebih tepatnya aku yang sering melewatkan bus untuk bisa dengannya. Dan sore itu, situasi semesta seperti awal kita bercengkrama. Dengan ditemani gerimis tipis ia memberi satu diantara sekian banyak ihwal yang tak bisa kulupa secara semena-mena.

"Kamu sedang apa?" tanyanya ketika melihatku mencium bau buku yang baru kubeli kemarin, entahlah sejak aku menyukai membaca aku juga menyukai aromanya, rasanya seperti ada kebahagiaan tersendiri begitu, “book sniffer ya?" tebaknya kemudian.

Lama aku terdiam karna pernyataannya barusan, mencoba menyambungkan kabel-kabel yang ada di otakku. Book sniffer adalah sebutan bagi mereka pecinta buku dan suka mencium aroma buku itu baik baru atau sudah lama, begitulah kiranya yang pernah aku baca di artikel.

"Aneh ya?" tanyaku pelan.

"Enggak." jawabnya terlalu singkat.

Menghela nafas lega dan tersenyum tipis "Syukurlah.”

Sreeet

"Eh ada apa nih," kejutku ketika dengan tiba-tiba ia merebut buku yang hendak kubaca. "Ih balikin bukuku!" jeritku kesal karna ia tidak kunjung mengembalikan bukuku. Tak sabar, aku mencoba merebut tapi aku lupa ia bukan tandinganku. Dengan sengaja ia mengangkat bukuku seolah mengejek "Ayo ambil bukunya kalo bisa.” Ah, ia benar-benar menguras tenaga dan kesabaranku, terang saja saat kita berdiri berdampingan tinggiku tak mencapai pundaknya. "Ih jahat deh, itu kan bukuku." Terakhir, ini puncak perjuanganku setelahnya aku tak tahu harus bagaimana.

"Aduh, jangan nangis dong princess manja. Ini aku balikin deh bukunya." Berhasil. Berkat derai air mata akhirnya buku itu kembali kedekapan tuannya. Bersyukurlah bagi mereka yang terlahir sebagai wanita, yang tak segan menangis saat bahagia ataupun duka.

"Tapi jangan karena jawabanku lantas memotivasimu berlaku begitu," ujarnya yang tak dapat kumengerti arti dibaliknya.

Aku mengerjabkan mata mencoba meminang faham. "Kita ini makhluk sosial, secara alamiah kita saling bergantung terhadap sesama. Jangan karna kecintaanmu terhadap buku, membuatmu abai terhadap sekitarmu. Sudah pasti kita semua akan mati, hanya perihal waktu saja yang tak ada satupun orang mengerti. Dan sekalipun itu perpisahan kita tetap membutuhkan kebersamaan, maksudnya ya saat mengahantar kita ke tempat peristirahatan. Kan serem kalo orang mati mandi sendiri, pake kafan sendiri, ngubur diri sendiri hahaha." Seolah mengerti dengan kebingunganku ia menjelaskan ditutup senyum berlesung pipit khasnya yang membuatku terpesona lengkap dengan candaan garing andalannya.

Rupanya ia salah tingkah karna aku tak ikutan ketawa. Lucu. "Ah, aku sok bijak ya. Haha maaf deh maaf." Ini salah satu raut yang tak pernah kulupa dan selalu berhasil memperanakkan lengkung kala mengingatnya.

Ya. Kita semua akan mati, satu pasti yang jelas akan terjadi. Memang begitu, selalu ada kefanaan dalam pertemuan, namun akankah itu berlaku juga untuk perpisahan? Aku selalu berfikir, akankah dia tahu bahwa aku selalu mengingat setiap kebersamaan yang kita lakukan dan menganggap semua ucapannya adalah titah untuk meneruskan kehidupan. Tetapi sungguh belakangan ini aku menjadi sangsi, sampai kapan tubuhku dapat bertahan terpanggang bara kerinduan yang mengharamkan pertemuan?

HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang