Semesta urung sempurna pulih, awan hitam belum bersedia menghilang, masih setia bertahta di bumantara. Tetes air nampak berjatuhan dari dedaunan hijau, sedang yang berubah warna kuning sudah tergeletak damai dipelukan tanah. Genangan ada dimana-mana, menghapus bau aspal bercampur air hujan saat pertama membumi. Pun akhirnya egoku menyerah, memilih meladeni pintanya untuk memasuki mobil hitam yang terparkir diluar pemakaman. Meski sesekali terkena gerimis yang belum resmi berpulang, langkahku tetap saja pelan atau sebenarnya enggan?
Kendati demikian, perlahan namun pasti kiprahku menghampiri mobil itu juga, membuka pintunya dan langsung duduk persis disamping pengemudi tanpa mengucap sepatah katapun. Kemudian secara otomatis keheningan merayap dan menguasai seluruh sudut kendaraan ini.
Aku yang gagu dan dia yang diam atau aku yang lebih tertarik melihat kaca mobil dialiri air hujan dan dia yang fokus menyetir agar tidak terjadi sesuatu diluar keinginan.
Aku yang mulai merasa kedinginan karena baju basah yang kukenakan terpapar AC meskipun pelan dan dia yang masih khusyuk menatap jalanan depan atau lidahku yang terlalu kelu untuk sekadar mengatakan, "Bolehkah kumatikan AC-nya?" dan dia yang sudah lelah dengan segala bisu yang kupertontonkan. Apapun itu, aku tak tahu.
"Apa kau kedinginan Vera?" Rupanya aku salah Deva menyadari keadaanku, meskipun tanpa suara dan lebih memilih menyilangkan lengan kemudian mengusap perlahan berharap dari kegiatan inilah kehangatan tercipta.
"Kumatikan saja ya AC-nya biar gak dingin, oh ya pakai Jas ku saja ya biar lebih hangat," putusnya setelah menunggu suaraku yang tak kunjung menunjukkan eksistensinya.
"Tidak perlu Deva, aku baik-baik saja," balasku pelan lebih dominan rasa kasihan dan bersalah sebenarnya.
"Aduh, nanti kalo masuk angin gimana? Atau pakai jaketku saja, tenang masih bersih kok dan sepertinya ada di jok belakang deh. Aku ambilkan ya," ucapnya panjang lebar membuatku semakin bersalah.
"Deva, please," larangku dengan membalikkan badan mengahadap padanya.
"Baiklah kalau begitu," ucapnya terdengar pasrah.
Ya, nama pria yang duduk di balik kemudi tepat disampingku ini Deva. Lebih tepatnya Deva Mario Aditama, pria dengan segudang prestasi dan keberuntungan. Terlahir dari keluarga kaya dan terpandang, otak cerdas dan perilaku yang baik. Sejauh aku mengenalnya belum pernah tersiul kabar buruk tentangnya, yang ada hanya prestasi dan pencapaian yang terus disorot media. Dan mungkin inilah yang membuat papa sangat menyukainya, dan berat memberi izin untuk ia. Mengingat itu semua membuatku semakin nelangsa saja "Sudahlah, Vera," bisik lembut satu suara, entahlah milik siapa.
Menghela nafas sembari membuka perlahan mata yang sempat kututup, karena secara tiba-tiba kilas balik itu muncul ke permukaan. Lantas menyadari bahwa keheningan kembali bertandang. Namun kali ini aku sudah malas untuk berdebat tentang siapa yang menyebabkan, juga masih egois untuk tidak buka suara memecah keheningan.
"Mmm Vera." Lagi-lagi dia yang perasa dan memecahkan keheningan, apakah mungkin dia tidak suka suasana yang mencekam? Jika normal jawaban yang semestinya adalah tidak, dan aku bertaruh bahwa Deva manusia normal. Otakku terkadang memang butuh perbaikan.
"Ya?" Aku lebih memilih berinvestasi amal lewat jawaban, katanya menyenangkan orang lain bernilai pahala bukan? Meskipun menurutku ini sungguh menyusahkan, melakukan sesuatu yang bukan mutlak keinginanmu.
"Ah maaf." Deva yang sudah bersiap mengatakan sesuatu harus tertunda karna ponsel yang tiba-tiba berdering meminta perhatian. Kupalingkan wajah kembali memandangi air pada kaca yang mengalir tak beraturan, maksud hati menghindar dari sebutan penguping. Meskipun masih terdengar dia menyebut kata Om. Dari sini sudah dapat ditebak bahwa lawan bicaranya adalah Papaku.
Begitu percakapan itu telah usai, tanpa persetujuan lidahku ingkar. "Dia menyuruhmu kembali ke kantor?" tanyaku. Lalu tersadar. Kugigit lidahku tanda menyesal telah lancang. "Oh Tuhan, aku sudah menjadi penguping sejati," rutukku dalam hati.
Dengan sedikit salah tingkah dan kikuk yang tercermin dari nada suaranya Deva menjawab, "Anu, itu ada kolega bisnisku bersama Papamu datang. Jadi, ya begitulah."
Mungkin aku memang sudah lupa tata karma dan sopan santun, karena mendengar jawabannya hatiku bersorak kegirangan. Berfikir ini adalah kesempatan emas agar aku segera terbebas dari kecanggungan dan perasaan bersalah. "Kalau begitu, turunkan aku," titahku padanya tak ingin mengecewakan peluang.
"Eh, tidak-tidak aku akan mengantarkanmu baru setelah itu pergi ke kantor," tolak Deva.
"Kau sudah faham bagaimana tabiat Papaku, kantormu berlainan arah dengan jalan rumahku. Akan memakan banyak waktu jika terus bersikeras mengantarku," kataku keukeh tak mau kalah.
"Ini masih separuh perjalan-" belum sempat dia menyelesaikan ucapannya. Dengan tegas kusela dengan intonasi tak ingin dibantah. "Didepan ada halte, turunkan aku disana." Debat ini resmi ditutup dengan helaan nafas panjang dari Deva dan kemenangan atas keegoisanku.
Dan benar saja, begitu sampai didepan halte, mobil itu berhenti untuk selanjutnya kubuka dan langsung keluar. "Terimakasih," ucapku tulus dan ditanggapi dengan anggukan beserta tatapan kecewa. Maksud dari tatapannya mengena, dan aku menyadari itu, namun memilih acuh tak acuh atasnya. Sedari dulu, aku memang selalu mendapatkan apa yang kupinta kecuali ia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hilang
ChickLitCerita tentang seorang perempuan yang belum dapat menerima sepenuh hati keputusan semesta yang membuatnya kehilangan "Aku ikhlas menanti masa agar mentakdirkan kita bersama, di tempat yang menyediakan restu seikhlas surya"