3

21 2 0
                                    

Halte ini masih sama tak banyak yang berubah, kecuali cat biru yang membalut tempat tunggu kendaraan umum agar terlihat sedap dipandang ini telah terkelupas sana-sini, seolah meronta untuk segera dipercantik kembali. Selain itu, kiranya tempat ini semakin rusuh, ulah tangan-tangan usil yang tak bertanggung jawab. Beralibi butuh ruang untuk sekadar menuangkan ide fikiran.

I love you Rossa, cinta kita abadi sepanjang masa dan sederet kata ajaib lainnya, aku heran masihkah ini disebut ide atau malah curhatan massal? Atau mungkin keterbatasan dana menjadi kandidat utama, mengapa mereka banting setir tidak mengikat cinta di Heart Lock tepatnya Namsan Tower Korea Selatan. Atau malah orang Indonesia yang sangat menghayati peribahasa, Tak ada rotan akar pun jadi. Entahlah, pandai berkomentar tanpa menyajikan saran itu menyedihkan.

Diantara yang tak berubah lainnya, mungkin dua wadah berwarna kuning dan hijau itu masih dapat kujumpai jika menengokkan kepala ke arah kanan. Katanya tempat itu untuk menelan barang yang tak terpakai, tapi yang kulihat sekarang muntahan isinya diluar batas toleran. Tisu, kertas, botol air mineral, kaleng soft drink, bungkus snack berkerumun seolah ingin eksis di jalanan.

Ini petugas kebersihan yang lalai kewajiban atau manusia yang menunjukkan kemunduran moral, sih? Atau malah virus kacang lupa kulitnya telah menjangkiti manusia, sampai akhirnya amnesia kaki mereka menapak dimana. Sedikit lucu banyak mirisnya.

"Ah tapi, jika sampai bumi ini kecewa, mungkin pertemuanku dengan ia semakin cepat terlaksana." Fikiranku mulai ngawur, sepertinya aku benar-benar salah satu dari mereka.

Melirik arloji yang bertengger manis di pergelangan tangan, lantas mendongak menserasikan masa yang tertera dengan keadaan semesta. "Sepertinya senja absen untuk membersamai." Mendung di bumantara masih enggan kembali ke peraduan, awan hitam masih langgeng berkuasa sekalipun gerimis sudah tak wujud hadirnya.

"Key lemot ih. Aku tinggal ya," teriak satu suara dari arah kanan. Saat kutengok ada dua remaja  yang memakai seragam putih abu-abu sedang jalan kaki, mungkin pulang sekolah. Satu diantaranya adalah pria, dan dialah pemilik suara itu. Tidak buruk kualitas suaranya, hanya lebih baik disimpan saja.

"Keke aja yang enggak peka!"  Gadis yang diteriaki menjawab dengan teriakan yang sama.

“Ah mereka tidak belajar tentang polusi suarakah? Jika bukan untuk dunia buat telingaku sajalah,” keluhku sembari menghembuskan nafas lelah.

Si pria menimpali dengan nada pelan seolah memperpanjang usia kesabaran, "Aku gak peka yang gimana lagi sih Key?"

Duk duk duk
Suara sepatu si gadis sampai membuatku mengernyitkan dahi, menterjemahkan maksud kegiatannya mengangkat rok dan mendatangi si pria dengan wajah yang seharusnya itu milik emosi sebal, tapi kenapa jadi terlihat menggemaskan.

"Keke itu lho yang langkahnya terlalu panjang. Keke enak pake celana, sedangkan Key kan pakai rok panjang begini," jawab si gadis dengan suara manja yang kontras dengan tangannya yang berkacak pinggang.

Sekilas kulirik penampilan si gadis, lengan panjang sampai pergelangan tangan, rok panjang model span, dan kerudung putih untuk menutupi rambutnya. "Masih remaja sudah berani ambil keputusan berhijab, sedang diriku?” tersenyum kecut jika dibandingkan dengan kondisi diri sendiri.

"Key gak mau temenan lagi sama Keke,” ucap si gadis dengan memalingkan muka.

"Maafkan hamba tuan putri, jangan hukum hamba seperti itu," pinta si pria berlagak seperti pangeran hendak meminang putri kerajaan, hanya saja versi ngenesnya.

"Pokoknya jangan diulangin lagi. Janji ya?" jawab si gadis dengan tersipu malu sembari mengangkat kelingking yang ditanggapi serupa milik si pria.

"Jadi, apa perlu tuan putri kita ini memakai celana agar tidak lemot lagi?" gurau si pria.

"Keke!" bentak si gadis dengan dibarengi air mata.

Dari posisiku ini, terlihat pria itu bingung dengan respon si gadis. "Aduh, kok nangis sih, entar hilang lho cantiknya tuan putri. Loh kok malah digas? Enggak malu ya sama kakak yang di halte itu?" todong si pria dengan menunjuk ke arahku.

“Oh Tuhan, setelah menjadi penguping sejati sekarang jadi penonton gratisan?" rutukku dalam hati menyikapi kemalangan yang menimpa seharian ini.

"Mana?" ucap si gadis dengan masih sesenggukan, mungkin masih menangis. Aku tak peduli, sudah cukup urat maluku dipertanyakan hari ini.

"Itu disana, makanya jangan nangis ya?" jawab si pria masih setia menjadikanku terdakwa.

Bukannya mereda, tangis si gadis malah semakin membahana. "Tapi, Keke tadi bilang Key lemot,” kata si gadis terbata-bata dengan lengan yang berusaha menghapus entah air mata atau ingus disana. Kepalang Basah, aku sudah tak bisa menahan penasaran.

"Maaf, aku gak bermaksud gitu. Keyla gak lemot kok, dan ini sungguhan,” jawab si pria bernada tegas.

Yang nampak memang tangan si pria memegang bahu si gadis, menghadap lurus mata bertemu mata seolah dengan demikian tiap kata langsung mengena. Tapi yang kulihat memori tentang diriku sendiri dan lengan kokoh ia yang selalu sigap melindungi. Ada apa ini?

Lama waktu seolah berhenti berputar, meski nyatanya tidak. Dia terus berjalan tak peduli yang ada dalam pusarannya tertatih menyembuhkan kepedihan.

"Kalau begitu gendong. Ini hukuman buat kamu." Suara gadis itu mengembalikanku pada kenyataan.

"Ih apaan? Gak mau ah!" tolak pria itu tanpa pikir panjang. Seperti tak ingin menanggapi rengekan si gadis, akhirnya si pria membalikkan badan tepat menatapku seolah mengatakan Maaf atas ketidaknyamanannya. Tapi aku terlanjur tertarik dengan aksi kelanjutannya.

Mungkin karena kesal tak mendapat apa yang dipinta si gadis menghentak-hentakkan kaki persis anak kecil, pun melanjutkan aksi merengeknya.
"Key udah capek tau. Dan ini tuh hukuman buat Keke, harus mau." Gadis itu tetap memaksa.

"Tetep aja enggak mau. Kamu udah buat keputusan pakai kerudung lho," tegas si pria tak ingin dibantah. "hapus aja hukumannya, weekend kuajak jalan-jalan dan bebas minta apa aja deh. Tapiiiii, kalau bisa sampai rumah duluan," tawar si pria dengan langsung start lari.

"Hey, gak adil itu. Keke, tungguin," kejar si gadis dengan berteriak-teriak, sedangkan si pria terbahak-bahak.

Apa mereka hobi berteriak, dan akan terus mempertahankan itu? batinku terheran-heran karena interaksi mereka.

Tapi menarik. Kutebak mereka sahabat, yang bisa jadi berakhiran sama pada novel-novel romansa. Jatuh cinta tapi akhirnya tersesat diantara dua pilihan, tetap menjaga pertemanan atau meladeni rasa yang menyusup perlahan.

Tapi tidak, Manusia tak lebih dari perencana handal sedang Tuhan merupakan hakim Maha Ulung. Seperti lakonku, akhirnya kasih yang kudamba berpulang dan kenangan bersama biasnya sebagai masa depan. Ujung-ujungnya ia telah terkubur dan rasaku tak jua gugur. Walhasil udara tak lagi ia hirup dan asmanya masih membersamai tiap degup.

HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang