chapter 1

411 10 3
                                    

"Tiiinn.. Tiinnn.." suara klakson mobil semakin keras terdengar, cahaya lampu sangat terang menghalangi pandangan ku dan tiba-tiba saja dunia ku menjadi gelap. Aku berharap semua masalah ini dapat hilang. Rasa sakit dan penderitaan yang kurasakan dapat musnah begitu saja. Walau mungkin hanya sesaat tetapi aku tetapi ingin merasakannya.

**

Semua berawal dari aku terlahir di keluarga yang bisa di bilang kurang beruntung. Bukan kurang beruntung tapi dunia ku memang berbeda dari yang lain. Banyak anak diluar sana terlahir dengan kedua orang tuanya, sedangkan aku hanya dengan seorang perempuan yang bersusah payah mempertaruhkan nyawa nya untukku. Ya, dia adalah ibuku. Bahkan aku tidak tahu dimana ayahku dan apa yang dia lakukan saat itu.

**

"Aku tidak akan mengurus anak ini!"triak seorang perempuan yang memenuhi setiap sudut ruang di lantai 2. "Tidak peduli! Aku masih sanggup untuk mengurusnya sendiri!" Dibalas triakan dengan suara berat. Tangis seorang bayi mulai terdengar dari lantai 1. Seorang perempuan tidak mempedulikannya dan tangannya bergerak kearah kiri. "Praangg!" Suara kaca pecah terdengar. Ibuku membanting sebuah hiasan yang terletak diatas meja persis di sbelah kirinya. Ayah ku bergegas pergi dengan darah yang menetes dari kakinya karena terkena pecahan kaca tersebut.

Saat aku berumur 2 tahun, ibuku pergi meninggalkan aku dan ayahku. Disaat itulah semua berawal menjadi suatu hal yang harus aku tanggung. Ayahku yang sibuk dengan pekerjaannya setiap hari untuk kebutuhan sehari-hari, aku yang ditinggalkan dirumah bersama nenek ku yang sudah cukup tua.

**

6 tahun sudah berlalu, sekarang aku duduk di kelas 2SD. Bagiku hidup akan selalu menjadi sebuah pelajaran. Setiap hari nya kita harus belajar, bukan hanya belajar dalam sekolah. Tetapi kita menemukan banyak hal dimana pun yang menjadi sebuah hal yang harus kita pelajari.

Anak perempuan yang tingginya kurang lebih sama denganku, rambutnya yang terlahir cokelat dan panjangnya sebahu, matanya yang berwarna cokelat muda, dan kulitnya yang putih menyelimuti seluruh tubuhnya, berjalan menghampiriku. Nama perempuan itu adalah Echa, sahabatku.

"Hai Ren," sapa Echa yang segera ku balas dengan senyuman.

"Ke kantin yuk, aku laper" ajaknya yang segera ku balas dengan anggukkan. Bukan aku sombong karena tidak menjawabnya dengan satu atau dua kalimat tetapi aku lebih senang diam. Mungkin karena pengaruh aku terlahir dan besar dengan sendirian.

**

Pagi hari menyapaku dengan langit yang mendung. Perasaan ku tidak enak. Saat langkah ku memasuki selasar sekolah banyak mata memandangku dengan sinis. Apa hanya perasaanku saja? Tidak. Aku berjalan cepat memasuki kelas dan ketika ingin menempati tempat dudukku, meja ku hilang. Echa sahabatku yang duduk di sebelah ku,segera menatapku dan meneterwakanku. Wajah manis yang biasa dia pancarkan kepada ku musnah begitu saja tergantikan oleh wajah benci yang sudah terpendam selama ini. Aku terdiam tidak mempedulikannya, aku segera berjalan menghampirinya dan menarik meja miliknya. Aku duduk di tempatku dan mengeluarkan buku bacaan yang ku bawa hari ini.

Satu pelajaran yang ku dapat, tidak boleh mempercayai orang dengan sepenuhnya. Sakit pun terpendam

**

Hari-hari ku berjalan seperti biasa. Dengan hal-hal buruk yang selalu menghantui.

Kapan dunia ku akan berubah? Aku sangat ingin sesuatu yang baru. Sesuatu yang bahagia. Sempurna mungkin? Tidak ada yang sempurna tentu. Setidaknya bahagia.

Kutatap langit-langit diatas kamar sambil membaringkan diri diatas kasur. Teringat soal waktu, hari ini sudah malam. Diluar sudah mulai gelap, matahari tidak terlihat dan bertukar dengan bulan.

Huuufftt..

Lelah rasanya. Jam menunjukkan pukul 06.30. Ku bangunkan diri dengan paksa, memutar ganggang pintu dan segera beranjak turun ke ruang tamu. Hingga langkah terakhir di anak tangga, tiba-tiba saja sesuatu menghantam kaki ku. Sakit rasanya. Aku pun terjatuh. Seperti ada sesuatu yang menancap di kaki ku.

Astaga. Darah? Kaki ku berdarah. Perih.

Tanpa sadar air mata ku mengalir dengan sendirinya. Tiba-tiba saja ada yang menarik rambut ku dengan kencang dan memaksa ku untuk berjalan mengikutinya. Ku langkahkan kaki ku yang terasa sakit. Darah yang mengalir membuat jejak langkah ku.

"Heh! Anak gatau diri! Apa yang kau kerjakan dirumah?! Hah?! Hanya tidur dikamar?! Keterlaluan! Kau tau? Semua ini salah mu! Kalau kau tidak ada, tidak akan seperti ini!" Ucap seorang lelaki separuh baya mengenakan jas hitam dan celana panjang yang senada. Di dalam jas terdapat kemeja putih yang kancing atasnya sengaja terbuka. Dia adalah ayahku.

Sekuat tenaga aku berlari ke kamar yang terletak di lantai dua. Kaki ku terasa perih, tapi perasaan ku lebih menyakitkan. Di dalam kamar aku hanya bisa menangis. Tidak tahu apa yang harus ku lakukan.

Mengapa dunia begitu kejam?

Terlintas di pikiran ku untuk kabur. Aku segera beranjak dari kamar ku dan keluar melalui balkon kamar.

Tidak terlalu tinggi, pikir ku.

Aku mengambil pakaian dan beberapa barang keperluan. Ku masukan ke dalam ransel yang cukup besar. Aku menarik seprai yang menyelimuti kasur ku dan selimut lainnya yang berada di dalam lemari. Tanpa berpikir panjang ku ikat setiap ujung selimut dengan ujung selimut lainnya yang menjadikan simpul mati. Ku kenakan ransel ku dan segera berjalan kembali ke balkon membawa semua selimut yang sudah terikat. Ku kalungkan selimut itu ke pagar yang membatasi balkon ku. Ku ikat berkali-kali agar kuat. Tidak lucu jika ternyata ikatan itu lepas dan membuat ku mati. Tidak keren jika tertera di koran "Seorang anak remaja perempuan mati di belakang rumahnya karna coba melarikan diri dan ikatan selimutnya tidak kuat" atau apalah itu. Tidak jelas? Yap, tapi setidaknya aku berusaha menghibur diri sendiri.

Menarik napas dalam-dalam dan segera ku hembuskan. Sekali lagi mengecek ikatan selimut dengan pagar sudah cukup kuat. Semoga ini bukan kesalahan yang akan ku sesali. Dengan ujung lain selimut yang tidak terikat, ku ikatkan ke perut ku. Aku pun memanjat pagar balkon dan perlahan menurunin rumah itu dari lantai dua. Beberapa menit bersusah payah akhirnya aku bisa menginjakkan tanah. Aku berlari kearah pagar yang membatasi rumah ku. Melihat sekitar sampai berasa aman, langsung ku panjat pagar itu.

Aku sudah berada diluar. Sekarang... Aku akan kemana?

Akhirnya aku berjalan mengikuti jalan kearah kanan. Dengan luka di kaki ku yang mulai mengering. Aku terus melangkah dan ku lihat sebuah kerdus yang mengalasi pinggiran jalan.

Aku lelah. Sebaiknya aku beristirahat.

Aku duduk diatas kerdus itu dan beristirahat. Tangis ku mulai menjadi lagi. Tiba-tiba saja seseorang membangunkan ku. Mukanya kusam tetapi tatapannya sungguh mengerikan. Sepertinya dia marah. Aku segera bangun dan berlari pergi dari tempat itu.

Aku lapar.

Aku merogoh kantong jaket yang ku kenakan. Ku keluarkan kertas yang tertera 20rb. Senyum ku mulai menghiasi.

Sepertinya cukup.

Aku melihat sekitar mencari tempat makan yang amat sangat sederhana. Setidaknya bisa mengenyangkan perutku. Mata ku berhenti, menatap ke seberang jalan. Terdapat tempat makan kecil. Aku segera melangkahkan kaki ku untuk menyeberang jalan dan tiba-tiba saja dunia ku menjadi gelap.

when i was bornTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang