Mayla

17 1 0
                                    

Melakoni profesi sebagai tenaga kesehatan bukan suatu hal yang mudah. Entah saat menempuh masa pendidikan maupun setelah resmi menjadi tenaga kesehatan yang mengabdikan diri pada lembaga tertentu, seperti rumah sakit yang selalu siap 24 jam. Sudah tahun kedua untuk gue mengabdikan diri sepenuhnya pada salah satu rumah sakit terbesar di tanah Pasundan sebagai perawat, bertemu dengan pasien dan keluarga dari mulai matahari muncul sampai bulan menggantikan, bahkan terkadang persisnya matahari dan bulan bertukar posisi gue nggak tahu.

Masih tergolong perawat baru, setelah lulus dengan gelar sarjana keperawatan gue memilih mengikuti pelatihan dan pendidikan tambahan untuk menjadi perawat gawat darurat. Tepatnya, gue perawat yang menyambut kedatangan pasien-pasien yang baru masuk ke rumah sakit dengan berbagai keluhan, tidak sedikit pasien kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan kerja. Melalui hari dengan penuh harap cemas, kegaduhan dan raungan kesakitan pasien sudah menjadi sahabat, bergerak taktis di tengah kepanikan dan harus mampu berpikir diantara kekalutan pikiran.

Selama dua tahun ini, gue akan menyambut pasien pertama kali setelah turun dari ambulans atau saat keluarga pasien berteriak panik meminta anggota keluarganya segera ditangani. Mempersiapkan kelengkapan alat tempur seolah seperti mainan tiap hari. Berupaya keras menyelamatkan pasien, mengerahkan semua kemampuan analisis untuk berdiskusi bersama tenaga medis lain yang tengah bertugas. Tak jarang gue juga harus menyaksikan monitor menunjukkan garis lurus dengan suara lengkingan yang memekikkan telinga. Pasien tidak terselamatkan saat kami mengupayakan yang terbaik.

Hari ini setelah shift kerja selesai gue langsung memasuki ruang istirahat, berganti pakaian dan merebahkan diri sejenak. Memastikan setiap pasien dalam kondisi baik, mengevaluasi setelah pemberian terapi selama 8 jam dengan kesempatan untuk duduk hanya lima persen dari total waktu kerja. Sembari mencari posisi nyaman di tempat tidur yang disediakan, gue memeriksa tiap pesan yang masuk. Siapa tahu jodoh gue sudah menyadari keberadaan gue dan berniat memulai kedekatan.

"Kosong, May?"

Kehadiran mba Rara tidak sepenuhnya mengalihkan perhatian gue dari layar gawai.

"Udah selesai, mba. Baru aja beres tukeran, pengen rebahan dulu sebelum pulang."

"Kamu udah kaya orang gak tau peradaban. Gak tau kapan siang kapan malem. Kerjaan nerima pasien terus. Kalo gitu kapan mau dapet jodohnya, bocah?!"

Mba Rara mulai lagi dengan segala gerutunya. Mba Rara ini perawat senior yang tak jarang kami berada di tim yang sama saat upaya penyelamatan pasien berlangsung. Berbeda dengan gue yang masih melajang di usia 24 tahun, mba Rara sudah menikah saat usianya 21 tahun maka sudah menjadi suatu rutinitas mba Rara untuk menasehati gue atau bahkan mba Rara akan dibuat gemas karena kegiatan gue yang tidak pernah jauh dari ruang UGD dan tempat istirahat perawat.

"Masih 24 tahun ini mba, aku kan masih termasuk perawat muda disini."

"Iya kamu termasuk perawat muda disini, tapi yang seumuran sama kamu udah nikah atau minimal udah dapet pasangan. Lah, kamu apa, May? Pasangan aja belum ada, emang yang tugas di UGD ada yang bisa kamu lirik? Dokter dan perawat yang sering tugas disana udah berumur semua, bahkan Prof. Anjar udah mau punya cicit."

"Kok jadi bawa-bawa Prof. Anjar sih, Mba? Seperti mba bilang, aku itu masih bocah. Cuma bedanya aku bocah yang mainnya di rumah sakit. Banyak dokter muda juga yang bisa diliat, brond-brondong pinter, lumayanlah. Kalo emang udah jodoh nanti juga datang sendiri tanpa kita kejar kok, Mba."

"Tiap dibilangin pasti gitu jawabannya. Inget Mama kamu udah nagih cucu"

Mengingat hal itu gue jadi teringat ketika saudara gue nikah. Mama yang duduk disebelah gue tiba-tiba nangis ketika prosesi akad berlangsung. Katanya gak kebayang nanti kalo gue nikah tanpa dampingan kedua orang tua. Kesel ga sih kalian kalau orang tua udah nethink bikin khawatir. Ya, jelas gue mau menikah disaat Mama masih sehat, adek-adek gue jadi pendamping gue. Bahkan gue mau Mama bisa main sama cucu pertamanya. Suka ada-ada aja emang si Mama pikirannya.

"Mba suka khawatir sama kamu, May, tiap ada waktu istirahat malah ngurung diri juga di sini. Main game, nonton oppa-oppa korea, baca buku, lebih parahnya ngelamun kaya tadi. Kenapa gak jalan-jalan gitu? Siapa tahu kalo gak perawat atau dokter sini yang nyantol, keluarga pasien yang ngebesuk atau nganter keluarganya berobat. Kamu kan gak jelek-jelek amat."

"Males ah mba. Gak mau jadi bahan gosip senior di nurstation aku tuh. Lagian kan risiko kerja jadi perawat di rumah sakit apalagi di UGD ya gitu mba, konsumen kita pasien yang punya keluhan"

"Serah kamu lah, jadi mba yang gregetan kalo ngomong sama kamu"

Yang bahas duluan siapa mba?:)



Selamat datang di cerita yang selalu aku simpan dalam draft hehe..

Ada sedikit perubahan dari part awal yang pernah di posting. Terimakasih sudah sudi membaca

Still The SameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang