Siapa?

22 0 0
                                    

Menjelang libur panjang tahun baru bukan berarti suasana rumah sakit menjadi lenggang karena kebanyakan orang berpergian untuk liburan. Namun karena hal itu lah, rumah sakit menjadi lebih hectic. Ruang UGD menjadi jauh lebih ramai dengan pasien-pasien kecelakaan lalu lintas saat menuju tempat berlibur yang telah direncanakan atau pekerja yang mengalami kecelakaan dalam bekerja demi mencapai target dari sang mandor. Rindu pada sanak saudara dan keinginan untuk segera menghabiskan waktu bersama orang terkasih terkadang membuat seseorang menjadi lengah dalam melakukan sesuatu kegiatan.

Sama halnya dengan gue. Setelah menerima panggilan dari Mama terkait keluh kesah kerinduannya membuat gue membayangkan suasana rumah dan rasanya bisa berleha-leha dikasur kesayangan gue ditemani camilan tanpa ada gangguan. Hal itu lah yang buat gue beberapa kali kena teguran karena kurang fokus, syukurnya pasien anak dengan pneumonia bisa segera dipindahkan ke ruang perawatan untuk prosedur perawatan lebih lanjut.

Setelah selesai dengan langkah terburu gue langsung keluar ruangan dan masuk ke ruang istirahat. Menenangkan diri, minum dan mengatur napas mempersiapkan diri sebelum mendapat sebuah teguran yang akan keluar dari mulut kepala ruang UGD secara membabi buta.

Pintu ruang istirahat yang gue tutup secara kasar tadi, sekarang terbuka perlahan menampilkan mba Rara dibaliknya.

"Kok mba Rara yang muncul?" Tanya gue penuh keheranan.

"Memang harusnya siapa? Rasy?" mba Rara menjawab pertanyaan gue dengan pertanyaan pula.

"Ish enggak mba. Kenapa gak mas Farid yang masuk?" ucap gue kesal tanpa mengurangi rasa heran gue.

"Tadi mas Farid mau masuk sini tapi tiba-tiba dapat panggilan dari manajer rumah sakit."

"Aduh parah, gawat. Mba, ini gawat. Aduh aku harus ngomong apa nanti. Mba, bantuin nyari alesan dong." Gue menampilkan wajah panik, gerak tubuh yang tidak terkontrol karena resah.

"Gawat apanya? Alesan buat apa?" mba Rara kebingungan dengan sikap dan omongan gue.

"Mba, aku ngga ngelakuin kesalahan kok mba. Cuma tadi emang kurang fokus aja, kenapa mas Farid sampe dipanggil manajer. Aduh mba, kalo sampe ada apa-apa sama mas Farid gimana dong mba? Aku masih baru disini, aku gak mau di—"

Belum selesai omongan gue dengan cepat mba Rara potong.

"Tenang dulu, May. Duduk, minum dulu."

Gue menuruti perintah mba Rara. Duduk, mengatur napas, dan minum segelas air putih yang gue minum tandas satu gelas penuh. Setelah dirasa tenang, gue mulai berbicara.

"Jadi mba, tadi pagi aku di telfon Mama. Gak ada kabar buruk sih, semuanya baik-baik aja."

"Terus masalahnya dimana?" mba Rara mengitrupsi cerita gue.

"Belum beres ih mba, ceritanya" timpal gue kesal.

"Oke oke lanjut"

"Mama nanya kapan aku pulang, libur tahun baru. Mama kangen dan adik cowokku yang menagih untuk liburan bersama. Setelah itu aku kepikiran rumah, jadi beberapa kali aku dapat teguran waktu persiapan mau kasih treatment ke pasien. Mana pasiennya ternyata anak ketua yayasan rumah sakit ini, tapi semuanya berjalan lancar kok."

"Memang siapa tadi dokter yang tugas?"

"Dokter Rudi, Mba" cicit gue.

"Aduh, May. Kamu kok bisa sih sempet-sempetnya mikirin rumah di saat kamu berada di ruangan yang sama dengan Dokter Rudi, ketua badan pengawas rumah sakit."

"Iya mba, aku harus gimana dong sekarang? Aku gak mau jadi pengangguran." Rajuk gue ke mba Rara.

Saat mba Rara berusaha menenangkan gue, seseorang masuk ke ruangan dengan dua botol minuman dingin. Rasy datang dengan wajah penuh Tanya.

"Kenapa suasananya suram banget sih?" Tanya Rasy setibanya di depan gue yang terduduk lemas dengan kepala tertunduk.

"Nih, si bocah main-main di ruang UGD depan kepala dewan pengawas RS"

"Kok bisa?"

"Mikirin jodoh di depan pasien." jawab Mba Rara sekenanya yang seketika gue respon dengan pukulan pelan ditangannya.

"Ngapa lo?" akhirnya Rasy bertanya pada pelaku terlibat.

"Kangen rumah. Kurang fokus tadi waktu ngasih treatment, dapet teguran. Tapi lancar kok" jawab gue melas.

"Gue tau lo konyol, tapi gue gak tau kalo nyali lo segede itu untuk bertingkah konyol di ruang UGD, bukan cuma nyawa lo taruhannya, nyawa orang lain itu. Nyawan pasien."

Gue diem Cuma bisa diem dengan pandangan yang mengabur, bendungan air mata disudut mata gue sukses tumpah ruah seketika menundukkan kepala. Mba Rara menghela napas dan menepuk-nepuk pundak gue penuh rasa keibuan. Sedangkan Rasy mengusap puncak kepala gue dengan kalimat-kalimat penenangnya.

Pintu ruangan kembali terbuka dan sekarang menampilkan Mas Farid dengan sebuah berkas ditangannya yang sukses membuat tangisan gue semakin menjadi. Wajah keterkejutan Mas Farid tidak bisa ditutupi sesaat setelah melihat gue yang menangis sampai napas tersengal-sengal.

Mba Rara selaku responden pertama akan kegelisahan gue sejak tadi menjelaskan dengan detail apa yang terjadi pada rekan kerja sekaligus suaminya tersebut. Terdengar helaan napas mas Farid setelah mba Rara selesai mejelaskan perihal yang terjadi, berlanjut dengan mas Farid yang duduk dikursi depan gue.

"Tadi semua kepala ruangan memang sudah jadwalnya untuk dipanggil direktur, terlepas dengan tadi kamu kurang fokus atau tidak saat ngasih treatment. Tapi itu memang yang salah, May. Untung pak Rudi tidak membahas itu tadi."

Kepala gue mulai terangkat mendengar penjelasan mas Farid. Rasa sesak di dada gue akibat tangis kekalutan sedari tadi sedikit mereda.

"Setelah itu direktur bagian medik dan keperawatan menitipkan ini ke Mas untuk kamu. Selesai jam tugas nanti kamu diminta untuk datang ke ruangannya." Mas Farid memberikan berkas yang tersimpan rapi dalam map yang sejak tadi dibawanya.

Gue menerimanya dan segera membuka untuk tahu isi berkas tersebut. Surat permohonan pindah kerja. Gue belum pernah mengajukan surat ini sebelumnya, dan rasanya mustahil gue mengajukan surat ini.

"Tapi, mas. Aku gak pernah mengajukan surat ini."

"Mas tau, tapi ada seseorang yang minta kamu untuk pindah kerja. Mas kira sudah ada obrolan orang tersebut dengan kamu. Dia bilang ingin kamu bekerja di rumahnya sebagai perawat keluarga, khususnya sebagai perawat neneknya yang sakit."

"Kenapa gak pake care giver aja? Kenapa harus ngambil perawat dari rumah sakit, aku lagi yang diminta kan jauh banget. Ngelantur ini orang" Sungut gue kesal

"Semua perawat itu care giver, gue ingetin kalo lo lupa. Mau dia perawat gerontik atau perawat UGD sekalipun kaya lo." Rasy menimpali.

"Udah-udah, lebih baik kamu mempersipakan diri sebelum ketemu direktur. Ohya orang yang minta kamu pindah kerja juga ada di ruangan direktur, terlihat mapan dan masih muda."

"Wah.. May siapa tau itu jodoh kamu yang sering kamu sebut-sebut jodoh bakal datang sendiri, bahkan jemput kamu dalam waktu tak terduga." Mba Rara terlihat sangat antusias.

"Apa sih, mba?!"

Gue semakin dibuat penasaran sekaligus aneh sama orang yang minta gue buat jadi perawat keluarganya. Gue jarang bersosialisasi di tempat kerja kalau bukan dengan rekan kerja yang berada di states yang sama dengan gue, apalagi mempromosikan diri sebagai perawat teladan untuk sekedar mencuri perhatian para petinggi rumah sakit biar bisa naik jabatan. Di luar tempat kerja pun kenalan gue tidak terlalu banyak, teman semasa sekolah dan kuliah gue rasa itu pun tidak seberapa. Lalu kenapa orang ini berani sekali?



Cuap-cuap Aruna

Saha cik?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 06, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Still The SameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang